Dakwah Bil Qalam-nya Buya Hamka yang Menakjubkan

 Dakwah Bil Qalam-nya Buya Hamka yang Menakjubkan

Buya Hamka (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – “Dakwah bil kalam” yang sejak lama digaung-gaungkan tak dilewatkan begitu saja oleh Buya Yahya, ulama dengan pemikiran yang luar biasa di jamannya. Pemilik nama lengkap Prof DR H Abdul Malik Karim Amrullah ini merupakan penulis produktif, hingga tak kurang dari 113 buku lahir dari pemikirannya.

Buya Hamka lahir di Sungai Batang, Tanjung Raya, Agam, Sumatera Barat pada tanggal 17 Februari 1908. Ia dikenal sebagai wartawan, penulis, dan pengajar.

Perjalanan karir sastra Buya Hamka dimulai ketika ia kembali ke Tanah Air setelah tujuh bulan bermukim di Makkah. Ia tidak pulang ke Padang Panjang, tetapi pulang ke Medan dan di sini Buya Hamka bekerja sebagai guru agama di Perkebunan Tebing Tinggi.

Di Medan itu juga Buya Hamka memulai kariernya dalam dunia jurnalistik dengan menulis artikel. Ia menuliskan pengalamannya menunaikan haji untuk Pelita Andalas, surat kabar milik orang Tionghoa.

Buya Hamka juga menulis untuk pertama kalinya mengenai Sumatra Thawalib dan gerakan reformasi Islam di Minangkabau yang kebetulan dipimpin oleh ayah beliau sendiri. Dari situlah, Hamka menemukan jati dirinya sebagai seorang jurnalis.

Pimpinan majalah Seruan Islam kemudian mengirimkan permintaan kepada Hamka untuk menulis di majalahnya. Buya Hamka pun memenuhinya, ia juga mengirim tulisannya ke Suara Muhammadiyah dan Bintang Islam.

Sederhana sebagai Sastrawan

Meski kini dikenal sebagai sastrawan nasional, Buya Hamka tidaklah bermegah-megah. Bahkan ia harus tetap mengandalkan honor mengajarnya untuk memenuhi kebutuhan hidup karena honor yang diterima seorang penulis masih belum cukup.

Buya Hamka juga masih memenuhi permintaan mengajar dari para pedagang kecil di Kebun Bajalinggi. Waktu itu beliau berkesempatan melihat kehidupan kuli hingga akhirnya mendorong beliau untuk menulis “Merantau Ke Deli”.

Saat masih di Medan, kerabat dan ayahnya berkali-kali memintanya untuk pulang. Buya Hamka baru memutuskan pulang setelah dibujuk oleh kakak iparnya yang bernama Sutan Mansur.

Hamka pulang ke Padang Panjang dan disambut dengan bangunan yang luluh lantak akibat gempa bumi setahun sebelumnya. Setelah bertemu dengan Buya Hamka, ayahnya baru mengetahui bahwa ia telah berangkat haji dan pergi dengan ongkos sendiri.

Penerimaan ayahnya membuat Buya Hamka sadar betapa besar kasih ayahnya terhadap dirinya. Beliau pun merasa bersalah tak kunjung pulang, dan untuk menebus rasa bersalahnya, Hamka rela dinikahkan dengan Sitti Raham pada 5 April 1929 oleh ayahnya.

Karya Roman Hamka yang Laris di Pasar

Pertama kali Buya Hamka membuat roman berjudul “Si Sabariyah” dengan bahasa Minangkabau di Sungai Batang. Akan tetapi, roman ini telah disusun saat Hamka berada di Medan.

Buya Hamka menunjukkan “Si Sabariyah” di depan ayahnya, dan dibacakan oleh Abdullah Ahmad sewaktu mereka berkumpul dalam Rapat Besar Umat Islam di Bukittinggi pada Agustus 1928. Ketika terbit, “Si Sabariyah” laris di pasaran hingga dicetak tiga kali.

Hal itu membuat Buya Hamka makin semangat dalam menulis dan memasukkan nilai-nilai dakwah melalui tulisannya. Malik pun sadar akan kualitasnya sendiri dalam menulis karena menguasai dengan baik teknik-teknik lisan dan tulisan.

Dari honor “Si Sabariyah”-lah Buya Hamka membiayai pernikahannya kelak. Selepas menikah, Hamka menulis kisah “Laila Majnun” yang dirangkai dengan khayalannya setelah membaca hikayat Arab “dua halaman”. Pada 1932, Balai Pustaka (Penerbit) menerbitkan “Laila Majnun” dengan ketentuan perubahaan ejaan dan nama tokoh.

Buya Hamka semakin melambung namanya sebagai sastrawan ketika novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah” dan “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” diangkat ke layar lebar. Karya sastra yang mengundang takjub banyak orang, dimana ia konsisten dengan nilai-nilai dakwahnya dalam menulis.

Alfatihah untuk Buya Hamka.

Akhmad Luthfi Iqbalul Khaq

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *