Cukupkah Belajar Alquran dari Terjemahan?

 Cukupkah Belajar Alquran dari Terjemahan?

HIDAYATUNA.COM, Jakarta – Pendiri Pesantren Property Indonesia Bambang Ifnurudin Hidayat mempunyai program beasiswa untuk para santri di pesantrennya. (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – Pasuruan geger dugaan aliran sesat yang tetap mempercayai Alquran dengan proses pembelajaran melalui Alquran terjemahan. Aliran tersebut tidak mempercayai hadis dan syahadat sebagai rukun Islam.

Aliran ini hanya berguru pada Allah, tidak mengakui rukun iman dan rukun Islam serta menganggap Nabi Muhammad sebagai manusia biasa dan rasul hanya jabatan. Sebagaimana pengakuannya di beberapa media massa, pendiri aliran ini tidak memiliki guru atau ustaz sehingga pendasarannya langsung pada Alquran.

Pendiri aliran sesat juga mengakui pengetahuan agamanya diperoleh melalui Alquran terjemahan itu karena ia merasa belum fasih membaca bacaan (Arab) Alquran sejak dulu. Meskipun begitu, ia mengaku tetap meyakini dan tidak juga meragukan keautentikan Alquran yang berbahasa Arab.

Atas dasar itu pulalah ia menganggap rasul hanya sebagai jabatan, dan kalau belajar, ya langsung ke Allah. Bahkan sang pendiri dan pengikutnya ini menemukan dalil teologis yang menurutnya didasarkan pada surat al-Rahman dan al-Baqarah.

Menurutnya, Allah mengajarkan setiap manusia, tanpa menyebut dan menjelaskan ayatnya.

Bagaimana Memahami Ayat Berbahasa Arab?

Persoalannya bukan dengan menjadikan Alquran sebagai rujukan utamanya, namun apakah setiap dari kita mampu memahami Alquran yang berbahasa Arab? Terlebih Alquran juga bersifat prosa yang begitu kaya makna.

Dibutuhkan seperangkat alat metodologis yang digunakan tidak cukup hanya mengandalkan bisa berbahasa Arab untuk dapat memahaminya. Bagaimana jika ditemukan kebertolak-belakangan (seolah bertentangan) ayat satu dengan yang lain atau dari ayat dengan hadis?

Lebih-lebih hanya mengandalkan terjemahan, yang terkadang maknanya tereduksi. Apalagi sebagaimana dikabarkan “menolak hadis”.

Bagaimana mungkin Alquran dapat dipahami jika menghilangkan komponen penting dan vital dalam memahaminya? Sebut saja misal dalam Alquran tidak begitu dijelaskan mengenai tata cara salat beserta gerakan-gerakannya.

Justru yang ada hanya perintah salat yang berbunyi aqim al-salah, (dirikanlah salat!). Namun akan ditemukan penjelasannya ketika melihat redaksi hadis yang berbunyi berikut:

صلوا كما رأيتمونى أصلى

“Salatlah kalian sebagaimana aku salat!”

Dari hal yang mendasar ini saja telah banyak mengalami kesalahan besar dalam memahaminya. Belum lagi soal ayat-ayat dzanni yang memiliki beberapa kemungkinan arti yang lain.

Memahami Ayat dengan Asbabul Nuzul

Bagaimana jika dihadapkan dengan ayat-ayat yang bernada perang? Apa lantas seketika itu juga akan mengambil parang dan pedang tanpa memahami konteks sejarah (asbab nuzul) yang melatar belakanginya?

Apa iya, akan berlomba-lomba menjadi martir karena dianggap sebagai perintah dariNya? Betapapun ada ayat yang mengandung kekerasan, bukan berarti melanggenggkan kekerasan atas nama Alquran dan Islam.

Saya tidak ingin menjustifikasi kelompok tersebut sebagai sesat atau kata yang sepadan dengan itu. Upaya yang dilakukan pendiri dan pengikutnya itu mungkin adalah langkah awal dalam proses pembelajaran agama dan harus diberi banyak catatan dan koreksi.

Hal ini tak ubahnya seperti mahasiswa filsafat semester awal yang begitu gagahnya menyebut-nyebut diktum dari mendiang Nietzsche atau Karl Marx. Contoh lain seperti anak kecil yang baru saja mengetahui sesuatu lalu memproklamirkan dengan gagah kepada teman-teman sejawatnya.

Mencari Sosok Panutan sebagai Ijtihad

Intinya dalam proses belajar itu baik, asal jangan berhenti dan terus-menerus mencari tahu karena langkah awal pembelajaran. Tentu saja, perlu diberikan arahan sebanyak dan semasif mungkin dengan dialog interaktif.

Hal ini sebagai jalan untuk memberikan pemahaman yang seharusnya bahwa tidaklah cukup memahami samudera ayat Alquran hanya mengandalkan terjemahan semata. Akan tetapi butuh komponen-komponen lain agar memperoleh pemahaman yang utuh.

Selain hal itu, kita tidak boleh menutup diri untuk mempelajari hal apa pun dari siapa pun, apalagi persoalan agama. Sekali lagi saya tegaskan, memahami Alquran tidak cukup sekadar terjemahan. Boleh jadi ayat-ayat (berlaku pula untuk hadis) yang bernada perang memiliki konteksnya tersendiri.

Daripada membuat kesimpulan yang tidak-tidak karena tidak memiliki ilmunya, bukankah akan lebih baik bila mengacu pada ulama yang lebih mumpuni? Jika seorang ulama berijtihad dengan ilmu, maka kita yang awam berijtihad dengan mencari sosok ulama panutan.

Tentu ulama yang cocok dengan kondisi dan keadaan kita untuk dijadikan pedoman dalam laku keberagamaan sebagai ittiba’an (jalan untuk mengikutinya). Wallahu a’lam bi al-shawab.

Ali Yazid Hamdani

https://hidayatuna.com/

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *