CISFROM Tegaskan Media Wajib Mengarusutamakan Narasi Kemaslahatan Umat

 CISFROM Tegaskan Media Wajib Mengarusutamakan Narasi Kemaslahatan Umat

CISFROM Tegaskan Media Wajib Mengarusutamakan Narasi Kemaslahatan Umat (Foto/Nayla Syukria)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta –  Era teknologi informasi saat ini membuat media seringkali menyuguhkan informasi yang tidak bertanggung jawab.

Bahkan tak jarang media digunakan untuk memproduksi konten hoax, fitnah, ujaran kebencian dan ghibah.

Tujuannya mencari perhatian, memprovokasi masyarakat untuk memilih atau menerima sesuatu, baik yang berkaitan dengan politik maupun ekonomi, hingga berdakwah.

Kasus penyerangan imam masjid Jatiwaringin, Pondok Gede, Bekasi yang terjadi pada Kamis (01/12) lalu misalnya, penyerangan yang dilakukan oleh seorang pria berinisial SK seperti dilansir dari CNN Indonesia mengalami depresi.

Namun beredar meme dalam grup WhatsApp bahwa pemukulan imam masjid adalah tanda kebangkitan PKI.

Dalam selembar meme, kabar kebangkitan PKI, juga disertai ajakan untuk menyebarkan berita bohong dengan dalih menjaga ulama dari rezim komunis yang saat ini berkuasa.

Dengan semangat berdakwah, masyarakat Indonesia yang notabene merupakan masyarakat religius, cepat sekali memberikan atensinya dengan mengirimkan ke grup-grup WhatsApp yang mereka punya.

“Banyaknya informasi yang diterima oleh masyarakat dengan konten yang tidak menggunakan nalar berfikir yang baik, mengakibatkan masyarakat tidak lagi bisa membedakan mana itu hoax, fitnah atau ghibah. Padahal dalam dunia media, memang ada orang-orang yang sengaja mencari perhatian, memang pekerjaannya memproduksi konten hoax agar mendapatkan uang, ada juga yang memang provokatif”, ujar Saptoni Centre for the study of Islam and Social Transformation (CISFROM) dalam Lokakarya MUI DIY dengan tajuk “Menjadi Pahlawan Digital untuk Moderasi Agama” yang di gelar pada Jumat (03/12/2022).

Dengan dalih berdakwah, semua informasi seolah mendapat legitimasi tanpa perlu dibuktikan kebenarannya.

Padahal limpahan informasi yang beredar di masyarakat merupakan produk dari produsen informasi atau pekerja media.

Informasi yang muncul ke permukaan tersebut bisa berasal dari peristiwa, fakta sosial, fakta kelas, sejarah, termasuk wahyu.

Wahyu di tangan manusia bisa menjadi hoax, pun hadis. Manusia sebagai penafsir bisa membuat konten dari wahyu dan hadis menjadi maslahah (kemanfaatan) atau mafsadah (kerusakan).

Oleh karena itu, Saptoni meminta kepada para pengelola website dalam lokakarya untuk berhati-hati dalam memproduksi dan menyebarkan informasi.

Pihaknya menegaskan bahwa seharusnya pekerja media sekaligus yang mengukuhkan diri sebagai muslim harus menjadikan hikmah (kebijaksanaan) serta maslahah (kemanfaatan) sebagai basis dalam bermualah termasuk dalam bermedia.

Sebab laku tauhid atau keimanan teologis secara horisontal sangat mengedepankan “al-muslimu man salima al-muslimuna min lisanih” (muslim yang selamat adalah seorang muslim yang selamat dari lisannya).

“sehingga ketika ada teman kita, tetangga kita, saudara kita tidak selamat dari jari-jari kita, maka sebenarnya kita bukanlah seorang muslim dan keimanan teologis kita patut untuk dipertanyakan,” tegas Saptoni.

Berdasarkan pendapat Ibnu Qayyim al Jauziyah murid dari Ibnu Taimiyah, syariat itu bangunan dan pondasinya berada di atas asas hikam (hikmah-hikmah) dan masalih al-‘ibad (kemaslahatan-kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat).

Ibnu Qayyim juga menjelaskan syariat itu keseluruhannya adalah adl (keadilan), rahmah (kasih sayang), maslahah (kemaslahatan) dan hikmah oleh karenanya setiap persoalan yang keluar dari keadilan menuju jawr (kezaliman), rahmah menuju yang sebaliknya yakni kebencian, maslahah menuju mafsadat (kerusakan) serta hikmah menuju ‘abats (sesuatu yang bernilai sia-sia) maka itu semua bukanlah syariat, sekalipin dikategorikan sebagai syariat dengan cara mentakwilkannya.

Jika pendapat Ibnu Qayyim dijadikan rujukan untuk bermualah dalam media, maka hendaknya media berhati-hati dalam membuat narasi agama yang menyitir ayat dan hadis.

Memang, maslahah dan mafsadah itu tidak selamanya murni. Sebab ada maslahah dan mafsadah yang rajihah (relatif), sehingga diperlukan pengetahuan untuk memilah dan memilih untuk merajihkan ayat dan hadis agar dapat memuat narasi yang mengandung kemaslahatan. []

Nayla Syukria

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *