Cinta Tanpa Syarat
Cinta tanpa syarat. Hai! Namaku Juna, Arjuna tepatnya. Saat ini aku sedang terburu-buru menuju ke suatu tempat. Aku harus ke rumah sakit. Bukan karena aku sedang sakit, tapi aku harus pulang bersama Papaku. Papa seorang dokter senior disana. Aku harus memperlebar langkahku sekarang. Papa sangat tidak suka dengan orang yang tidak ‘on time’.
Aku seorang siswa di sekolah menengah atas. Aku adalah anak semata wayang. Aku hanya tinggal dengan Papaku. Hartaku satu-satunya, Mengapa? Seandainya saja aku tahu siapa Mamaku, mungkin harta berhargaku bukan hanya Papa.
Hari itu Papa membangunkanku. Ku lihat jam menunjukkan pukul 1 malam. Menyebalkan sekali!
“Ada apa sih, Pa? Tengah malem gini bangunin Juna.” protesku.
“Dasar pelupa! Hari ini kan ulang tahun kamu. Ayo bangun sekarang! Cepat! Atau Papa siram kamu pake air se-ember.” kata Papa sambil tertawa.
Kenapa aku bisa lupa ulang tahunku sendiri? Hmmm Papa benar, aku memang benar-benar pelupa.
Dengan mata setengah tertutup aku mengikuti langkah Papa menuju teras belakang. Papa memintaku duduk dan menutup mata. Hmmm sebentar lagi pasti ada kue dan lilin angka 17 di hadapanku. Benar saja, dugaanku tak pernah meleset. Ini terlalu mainstream Pa, please.
“Make a wish dulu dong, Jun.” cegah Papa saat aku akan meniup lilin. Malas sekali! Aku bukan anak kecil lagi, Pa. Lagipula harapan itu tak pernah jadi kenyataan. Setiap ulang tahunku aku selalu mengucapkan harapan yang sama. Tapi apa? Sia-sia saja Papa tak mengabulkannya, Tuhan juga tak mendengarnya.
Kalian ingin tahu apa harapanku ? “Aku hanya ingin bertemu Mamaku” sekali saja. Seumur hidupku aku tak pernah tahu tentangnya. Menyedihkan sekali bukan ?
“Jun, apa harapan kamu ? Sekarang kamu udah 17 tahun. Gak terasa ya, rasanya baru kemarin Papa nganter kamu ke TK” celoteh Papa dengan sedikit tertawa
“Pa, Papa mau tahu harapan Juna ?” Ku lihat Papa mengangguk pasti.
“Juna mau ketemu Mama.” ucapku tegas. Ku lihat air muka Papa berubah. Tawanya berubah menjadi murung. Maaf Pa, aku hanya ingin tahu. Itu saja.
“Jangan bercanda Juna! Papa serius, apa yang kamu mau ? Apa itu topi ? Baju ? Sepeda ? Oh iya, sepeda kamu rusak, kan ?” kata Papa mulai mengalihkan pembicaraan.
“Juna juga serius, Pa. Juna gak butuh itu semua. Juna cuma mau tahu mama. Selama ini Juna tersiksa, Pa. Juna bahkan gak tahu nama Mama.” ujarku kesal. Papa hanya terdiam.
Aku kesal sekali. Setiap aku bertanya tentang Mama, selalu saja Papa mengalihkan pembicaraan. Apa yang terjadi sebenarnya ? Apakah haram bagiku untuk tahu siapa Mamaku ?
“Papa bosan denger omongan kamu itu, Juna!”
“Juna juga bosan bilangnya. Apa salah kalau seorang anak menanyakan ibunya, Pa? Juna berhenti bertanya kalau Papa menjawabnya.”
“Udahlah, Juna! Jangan tanyain itu lagi. Kamu anak yang penurut, kan ?”
Ah, sial! Lagi-lagi seperti itu. Aku tak berani lagi menjawab jika Papa sudah berkata seperti itu. Bagaimanapun, aku sangat menyayanginya. Maafkan aku, Pa.
Keesokan harinya aku sudah melupakan kejadian malam itu. Rencananya hari ini aku akan pergi ke perpustakaan favoritku. Disana aku bisa bertemu sahabat-sahabatku. Aku mengenal mereka karena kami sama-sama menjadi member di perpustakaan itu. Ada tiga sahabat yang selalu ada dan mendengarkan ceritaku ketika aku bertengkar dengan Papa.
Yang pertama, Ren namanya. Ia seorang insinyur dan sudah memiliki dua anak. Usianya 33 tahun. Di sela-sela kesibukannya, ia selalu menghabiskan hari Minggunya di perpustakaan ini. Benar-benar sosok yang menginspirasi.
Yang kedua, Temai namanya. Usianya 30 tahun. Wanita yang cantik dan lembut hatinya. Ia juga sudah memiliki seorang anak. Ia hanya ibu rumah tangga biasa. Dulunya ia bekerja sebagai sekretaris, tapi setelah menikah ia memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga saja.
Dan yang terakhir, Shady namanya. Usianya 25 tahun. Ia seorang dokter muda dan belum menikah. Mereka sudah seperti kakakku. Persahabatan yang aneh memang, tapi kami saling menyayangi layaknya saudara. Seandainya saja kami adalah saudara, aku akan sangat bahagia.
“Kamu kenapa, Jun ? Berantem lagi sama papa kamu?” tanya Kak Temai mengagetkanku.
“Ah, ngga Kak. Cuma kurang tidur aja.” elak ku. Tiba-tiba Kak Temai mengeluarkan sebuah kotak. Disusul oleh kotak dari Kak Ren dan Kak Shady yang tiba-tiba muncul entah dari mana.
“Selamat ulang tahun, Juna!” kata mereka serempak.
“Tapi itu kemarin, Kak.”
“It’s okay, Jun. Ini masih bulan Juni, kan? Sah-sah aja kalau kami mengucapkannya sekarang.” kata Kak Ren.
“Iya, Jun. Lagian ini kan rezeki, masa ditolak sih?” kata Kak Shady tak ingin kalah.
“Terima kasih Kak. Kalian memang yang terbaik. Aku bukanya di rumah aja ya?”
“It’s okay terserah kamu saja.”
Setelah itu kami mulai sibuk membaca. Akhir-akhir ini aku menggilai buku astronomi. Itulah mengapa aku ingin puas menghabiskan waktuku membaca beberapa buku yang tebal itu. Tapi dimana mereka ? Kak Ren? Kak Temai? Kak Shady? Apa mereka sudah pulang ? Tidak, mereka pasti izin dulu padaku. Aku melangkahkan kaki ku mengitari ruangan yang cukup besar itu. Itu dia! Mereka sedang berdiskusi di meja pojok ruangan. Apa yang mereka bicarakan? Apa itu rahasia?
“Aku gak tahan lagi. Sampai kapan kita mau pura-pura jadi sahabatnya? Dia udah dewasa sekarang. Dia harus tahu yang sebenernya.” kata Kak Temai sambil berlinang air mata.
“Tenanglah, Kak. Kita harus menunggu intruksi dari Om Rio. Bukannya dia pernah janji akan memberitahu Juna jika usianya udah 17 tahun?” kata Kak Shady.
“Kita serahkan aja sama Om Rio. Jangan gegabah. Percayalah. Bagaimana kalau hari ini kita ke makam saja. Setuju?” kata Kak Ren dengan tenang.
Apa yang terjadi? Mengapa Kak Temai menangis? Mengapa mereka menyebut-nyebut nama Papa dan aku? Aku benar-benar tidak mengerti. Sudahlah, bukan urusanku juga. Aku segera kembali ke tempat duduk ku.
“Jun, kami harus pergi ke suatu tempat. Kamu gak apa-apa kan sendiri disini?”
“Kalian mau kemana, Kak? Boleh aku ikut?” pintaku sambil memelas.
“Lain kali saja ya, kami sedang terburu-buru.” kata Kak Ren sambil berlalu meninggalkanku. Hmm ya sudahlah aku teruskan membaca saja sampai jam 5 sore nanti.
Sesampainya dirumah aku mendapati Papa sudah berdiri di depan pintu rumah sambil memasang mimik kesalnya padaku.
“Darimana saja kamu? Jam segini baru pulang. Papa pulang lebih awal buat kamu tapi kamu malah keluyuran gak jelas!” seru Papa.
“Juna pulang dari perpustakaan, Pa. Juna keasyikan baca sampai lupa waktu. Maaf Pa, Juna gak tahu Papa pulang cepat hari ini.” kataku sambil menunduk. Aku segan pada Papa.
“Ya udah, ayo kedalam. Cepat mandi lalu makan. Papa udah masak banyak buat kamu.” kata Papa sambil mengusap kepalaku. Papa memang yang terbaik! Terima kasih, Pa.
Malam itu Papa sangat baik padaku. Papa membelikanku banyak hadiah. Tapi apa yang aku inginkan tetap saja tidak ada. Papa memintaku membuka hadiah-hadiah itu. Ada sepuluh kado. Dengan ukuran yang berbeda-beda. Papa menyuruhku membukanya dari kado yang paling kecil. Hmm tidak ada yang istimewa. Ku lihat kado kesepuluh. Kotak berwarna biru cerah dan bertuliskan ‘Some love stories live forever’. Aku penasaran sekali apa isinya. Sepertinya kotak itu sudah lama sekali disimpan. Warnanya sudah sedikit pudar.
Aku mulai membukanya. Disana terdapat tiga buku diary dan satu album foto yang tebal. Juga terdapat bunga, cincin, dan benda-benda cantik lainnya.
“Kamu mau tahu tentang Mama kamu, kan? Itulah jawaban Papa, Jun.” kata Papa sambil tersenyum tipis. Aku belum mengerti apa ini.
Aku membaca buku diary pertama. Disana tertulis nama ‘Karina’. Aku mulai membaca lembar demi lembar diary ini. Isinya sangat menyentuh hati. Tentang perasaan seorang wanita yang sangat mencintai kekasihnya. Sepertinya ia sangat bahagia. Kisah-kisah yang sangat manis, Karina. Lalu aku membaca diary kedua yang bertuliskan ‘Haris’. Rupanya ini adalah diary kekasih Karina. Mereka saling mencintai. Kisah cinta yang sangat indah. Siapapun yang membacanya pasti akan mengatakan hal yang sama.
Lalu tanganku mulai bergerak membuka diary ketiga yang bertuliskan ‘You are mine and I’m yours’. Aku mengerti sekarang diary ketiga ini adalah diary mereka berdua yang mereka isi setelah mereka resmi menikah. Mereka menuliskan semuanya disini. Dan yang membuatku terkejut adalah aku membaca bahwa mereka memiliki tiga orang anak, yaitu Ren, Temai, dan Shady.
Apa ini? Apa aku tidak salah baca? Ataukah mataku sedang terganggu? Tidak, ini nyata. Aku membaca nama-nama itu berkali-kali. Apakah mereka bersaudara? Mengapa mereka tidak memberitahuku. Dan pada lembar terakhir, mereka menuliskan bahwa mereka memiliki seorang anak lagi, Arjuna namanya. Tanggal lahirnya sama dengan tanggal lahirku. Mungkinkah…
“Pa, ini…” kataku terbata-bata.
“Iya, nak. Karina itu ibu kamu. Haris ayah kamu. Ren, Temai, dan Shady itu saudara-saudara kamu.” kata Papa sambil menahan tangis.
“Maafkan Papa, Nak. Papa bukan ayah kandung kamu. Maafkan Papa, Juna.” Aku hanya bisa terdiam. Bagai disambar petir aku mendengar kenyataan itu. Bagaimana mungkin?
“Maaf, Pa. Juna cape. Juna ingin istirahat. Selamat malam, Pa.” ucapku sambil pergi menuju kamarku. Badanku mendadak lemas dan kepalaku pusing. Ini hanya ilusi saja. Ini tidak nyata, Juna. Papamu hanya bercanda.
Di dalam kamar pun mataku sulit memejam, padahal aku mengantuk. Untungnya besok aku sudah libur semester, tak masalah meskipun malam ini aku tidak tidur. Karina dan Haris? Ibu dan ayah kandungku? Tidak mungkin. Aku percaya saja jika Karina adalah ibuku. Tapi tidak dengan Haris. Jika ia adalah ayah kandungku, lalu siapa Papa? Aku benar-benar sakit kepala memikirkannya. Ya Tuhan, beri aku penjelasan. Aku sedang kalut sekarang. Tolonglah hambamu ini Ya Tuhan. Aku menangis tanpa suara. Aku tak ingin Papa mendengarnya. Tak terasa akupun terlelap.
Aku terbangun di sebuah taman. Hei, aku kenal taman ini. Ini taman di samping perpustakaan itu. Indah sekali suasananya. Apakah aku sedang bermimpi? Tapi sepertinya ini nyata.
“Juna… Juna… Juna…” samar-samar kudengar seseorang memanggil namaku. Aku menoleh, tampak seorang laki-laki tersenyum kepadaku. Ia sangat bersih, memakai baju serba putih, wangi, dan wajahnya bercahaya. Ia melambaikan tangannya sebagai isyarat aku harus menghampirinya. Entah mengapa aku menurut saja.
“Kau mirip sekali denganku. Hahaha.” katanya sambil tertawa. Aku heran siapa dia? Mengapa dia tahu namaku dan mengatakan aku mirip dengannya? Apa dia Haris?
“Ya, aku Haris, Juna. Ayahmu yang selalu menyayangimu.” Apa? Apa dia bisa membaca pikiranku?
“Tenanglah, nak. Ini bukan mimpi. Ayah sudah lama sekali ingin menemuimu, tapi baru sekarang Ayah diizinkan. Ayah hanya ingin mengatakan Ayah dan Ibu sangat sangat sangat menyayangimu. Jika kamu tak percaya, baca kembali diary-diary itu dengan seksama. Maka kamu akan mengetahuinya. Ayah selalu mendoakanmu, Juna. Selalu…” kata Ayah sambil memelukku lalu menghilang.
“Ayah, Ayah, Ayah!” kataku sambil berteriak. Dan ternyata itu hanya mimpi. Tapi mengapa begitu terasa nyata. Harum tubuh Ayah masih melekat di bajuku. Aku bahagia sudah bertemu Ayah walau itu hanya dalam mimpi dan hanya sekejap saja. Terima kasih sudah menyayangi dan mendoakan aku, Ayah. Aku juga menyayangimu.
“Juna! Juna! Bangunlah sudah siang!” suara Papa memulihkan kesadaranku. Aku segera bangun dan menghampiri Papa yang sedang memasak di dapur. Aku ingin bercerita padanya. Tapi hatiku menolak. Itu pasti akan menyakiti hatinya.
“Hei, kenapa ngelamun? Kamu udah cuci muka, kan?” kata papa mengagetkanku.
“Eh iya, Pa. Aku lupa, hehe.” Kataku sambil menuju kamar mandi.
“Kamu persis ibumu, pelupa sekali.” gumam Papa, tapi aku masih bisa mendengarnya.
“Juna, kamu marah sama Papa?” tanya Papa memulai pembicaraan saat sarapan pagi.
“Kenapa Papa bilang gitu? Buat apa Juna marah sama Papa.”
“Kamu kelihatan marah. Jujur saja, nak.”
“Juna tidak marah, Pa. Hanya butuh waktu untuk berpikir. Coba bayangkan kalau Papa jadi Juna? Juna memang sedang kalut sekarang tapi apa pantas Juna marah sama Papa?”
“Tanyakanlah apa yang kamu ingin tanyakan. Jangan memendam itu sendirian. Papa berangkat dulu, Nak. Hati-hati di rumah.” kata Papa sambil berlalu pergi. Aku hanya bisa memandangi punggungnya yang kian menjauh. Nanti saja, Pa. Jika pikiranku sudah membaik aku akan menanyakan semuanya pada Papa.
Suasana rumah sakit cukup ramai siang itu. Tampak Pak Rio sedang terburu-buru menemui Shady.
“Shady, bisakah kita bicara sebentar?”
“Baik, Om. Ada apa?”
“Begini, seperti janji Om, Om sudah memberitahu Juna. Tapi dia tak banyak bicara sekarang. Om takut dia stress dan tertekan. Menurutmu apa yang harus Om lakukan?”
“Benarkah? Menurutku Om biarkan saja dia. Dia sedang terguncang sekarang. Ia butuh waktu untuk sendirian. Jika sudah membaik, Shady yakin dia akan berbicara. Om tenang saja.”
“Begitukah? Baiklah terima kasih, Shady. Om akan menghubungimu lagi nanti.”
Hmmm bosan sekali liburanku kali ini. Aku ingin pergi ke perpustakaan tapi sepedaku rusak. Tunggu, bukankah ada diary-diary itu? Aku akan membacanya lagi. Kali ini benar-benar menggunakan perasaanku.
Ayah benar, cinta Ayah dan Ibu tak pernah habis untukku. Meskipun mereka tak berada disampingku lagi tapi cintanya tak pernah mati. Aku bersyukur memiliki Ayah dan Ibu yang luar biasa. Tak terasa pipiku mulai basah oleh air mata.
“Juna…” terdengar suara Papa.
“Eh, Pa. Papa udah pulang? Tumben, ini kan baru jam 2.”
“Ayo ikut Papa, Nak.” kata Papa dengan lembut.
“Iya, Pa. Juna ganti baju dulu.”
Papa mengajakku ke sebuah pemakaman. Makam-makam disitu terlihat rapi dan hampir mirip. Tapi ada dua makam yang terlihat berbeda. Makam itu tidak ditumbuhi rumput liar dan berada di bawah pohon mangga yang rindang.
“Juna, ini makam ayah ibu kamu. Ayo ucapin salam dulu.” pinta Papa.
“Assalamualaikum, Ibu. Assalamualaikum, Ayah.” ucapku sambil tersenyum.
Kami pun membacakan doa untuk Ayah dan Ibuku. Tak lama Papa mulai bercerita.
“Juna, kamu tahu? Papa tanam pohon mangga ini 17 tahun yang lalu. Gunanya supaya pohon ini bisa melindungi makam ini dari panas matahari dan hujan. Dan mangga itu buah favorit ibu kamu.”
“Makam ini juga bersih karena Papa menyuruh seseorang membersihkannya setiap pagi.” lanjut Papa. Pantas saja makam ini terlihat berbeda dari makam-makam yang lain. Di sebelah kiri makam Ayah dan di sebelah kanan makam Ibu. Tertulis di batu nisan Ayah dan Ibu meninggal di hari yang sama. Mereka lahir di tahun yang sama. Ayahku 4 bulan lebih tua dari Ibu.
“17 tahun yang lalu kamu lahir di rumah sakit tempat Papa kerja. Ayah dan Ibu kamu senang. Kakak-kakak kamu juga. Hari itu gak ada yang gak bahagia dengan lahirnya kamu. Karina menamai kamu Arjuna karena kamu ganteng. Beda dari Ren dan Shady.” kata Papa sambil tertawa
“Tapi sehari setelah kamu lahir, ada kebakaran di rumah sakit itu. Kebetulan Papa sedang ada di lantai dasar, sementara kalian ada di lantai 5. Dan kebakaran itu asalnya memang dari lantai 5. Papa berusaha naik untuk menyelamatkan kalian. Saat itu lantai 5 sudah benar-benar penuh oleh asap, tapi Papa terus maju sampai akhirnya bertemu kalian. Tiba-tiba langit-langitnya runtuh dan menimpa Ayah dan Ibu kamu. Posisi Haris melindungi Karina, Haris pun meninggal. Posisi Karina melindungi kamu. Karina masih sadar dan dia sempat bilang sesuatu sama Papa.
Dia bilang ”Rio tolong jaga anak kami. Katakan padanya kami selalu menyayanginya”.
Papa menjawab “Tidak, Rin. Kamu harus bertahan. Kita jaga anak ini sama-sama. Kamu mau lihat dia tumbuh kan? Kamu pasti bisa bertahan, Rin.” Tapi Karina tidak menjawab lagi. Dia sudah menyusul suaminya.
“Sejak itu lah kamu jadi amanah terbesar dalam hidup Papa. Papa bersumpah sampai akhir hidup Papa, Papa akan menjaga dan menyayangi kamu seperti Ibu dan Ayah kamu.” Papa menghentikan ceritanya, ia menangis. Aku juga ingin menangis melihatnya.
“Terima kasih, Pa. Terima kasih.” kataku menghibur Papa. “Juna gak tahu harus gimana membalas jasa-jasa Papa.”
“Tidak, Nak. Papa cinta kamu dengan tulus. Kamu amanah di hidup Papa. Gak pernah sekali pun Papa berpikir kamu bukan anak Papa. Kamu adalah anak Papa, Arjuna.”
Aku langsung memeluk Papa. Terima kasih Tuhan, Kau telah memberiku malaikat yang tulus mencintaiku tanpa syarat, walaupun aku harus kehilangan dua malaikatku yang lain.
“Arjuna…” terdengar suara seorang wanita memanggilku. Taman di perpustakaan ini lagi. Sepertinya aku bermimpi lagi.
“Arjuna…” suara itu terdengar lagi. Aku mulai mencari asal suaranya. Dan kulihat seorang wanita cantik dan bercahaya duduk di bangku taman. Ia mulai memanggil namaku lagi. Aku menghampirinya dan duduk di sampingnya. Ia tersenyum, manis sekali. Tunggu aku kenal senyum itu. Itu mirip senyuman Ibu ku di foto. Apa wanita ini memang Ibuku?
“Arjuna, kesayangan Ibu. Ini Ibumu, anakku.”
“Ibu! Ibu! Ibuku!” kataku sambil memeluknya. Nyaman sekali pelukannya. Terasa hangat dan aku tak ingin melepaskannya. Orang-orang memang benar, tempat paling nyaman adalah dekapan seorang Ibu.
“Kamu rindu Ibu, ya?”
“Aku rindu Ibu setiap hari.”
“Alah rayuan gombal, persis Ayahmu.” kata Ibu sambil mencubit tanganku.
“Juna, kamu senang bertemu Ibu?” kata Ibu sambil mengusap lembut kepalaku.
“Senang sekali. Bagaimana dengan Ibu?”
“Lebih dari yang kamu tahu. Sudah lama sekali Ibu ingin bertemu kamu. Tapi Tuhan mengizinkannya sekarang. Ini bukan mimpi, Juna. Ini nyata. Kamu sedang bersama Ibu sekarang.” Aku mempererat pelukanku. Aku tak ingin Ibu pergi lagi.
“Juna, kamu tahu? Perpustakaan ini adalah rumah kita. Ayah, Ibu, Kak Ren, Kak Temai, Kak Shady, dan Papa Rio membangun perpustakaan ini. Dan Ayahmu membangun rumah kita di atasnya. Kapan-kapan kamu boleh berkunjung ke lantai atas. Ada banyak benda-benda kenangan kita disana. Ibu tahu Papa Rio menjaganya dengan sangat baik. Dan Ibu tahu Papa Rio menjaga dan menyayangi kamu dengan ketulusan hatinya. Jadilah anak yang baik untuknya.” ucap Ibu sambil mengusap kepalaku.
“Juna maafkan Ayah dan Ibu, ya. Kami tidak bisa merawat kamu, menjaga kamu, melihat perkembangan kamu. Kami sangat ingin melakukannya, tapi Tuhan berkata kami harus pulang. Kami …”
“Sudahlah, Bu. Jangan meminta maaf. Ayah dan Ibu tidak salah. Aku bahagia dan bangga memiliki orang tua seperti kalian. Aku baik-baik saja kan sekarang?”
“Satu hal yang harus kamu tahu Juna. Kami selalu menyayangi kamu. Selalu. Papa Rio dan kakak-kakakmu juga sangat menyayangi kamu. Kamu juga pasti merasakannya.”
“Iya, Bu. Aku juga menyayangi Ayah, Ibu, Papa Rio, Kak Ren, Kak Temai, dan Kak Shady selamanya.” kataku sambil terisak. Aku sangat bahagia bertemu Ibuku. Wanita yang aku rindukan selama 17 tahun hidupku. Tuhan, jika ini mimpi jangan bangunkan aku dulu, aku ingin bersama Ibuku lebih lama lagi.
Keesokan harinya, ketiga kakakku datang berkunjung. Kak Ren dan Kak Temai membawa keluarganya sedangkan Kak Shady membawa kekasih barunya. Mereka membawakanku banyak hadiah, mereka juga memberiku pelukan. Bahkan Kak Temai tak berhenti menangis karena terharu.
Huh dasar wanita! Ibu benar, mereka sangat menyayangiku.
Aku sangat beruntung memiliki kakak sebaik dan setulus mereka. Ada rasa iri karena mereka sempat merasakan kasih sayang Ayah dan Ibu. Tapi aku juga merasakannya. Aku tahu Ayah dan Ibu selalu mendoakan yang terbaik untukku. Terima kasih, Ayah. Terima kasih, Ibu.
“Pa, kenapa Papa gak cari Mama buat Juna?”
“Apa sepenting itu Mama buat kamu?”
“Ngga juga sih. Bukan buat Juna, kan Juna punya Ibu Karina. Mama itu sosok yang akan melengkapi Papa.”
“Bicara apa sih kamu, Jun? Jangan ngawur.”
“Juna serius, Pa. Apa Papa gak punya seseorang yang Papa suka?”
“Kalau Papa jujur, nanti kamu marah.”
“Maksudnya, Pa?”
“Haha, Papa suka sama Karina, Ibu kamu.”
“Apa?” aku terkejut.
“Tuh kan kamu marah. Papa gak akan lanjutin ceritanya.”
“Juna gak marah kok, Pa. Lanjutin aja.”
“Papa suka sama Ibu kamu dari Papa seusia kamu. Sampai sekarang Papa masih suka. Tapi namanya bukan jodoh, Ibu kamu nikahnya sama sahabat Papa, ya Ayah kamu itu. Papa bisa apa? Tapi Papa gak nyesel, cinta itu gak harus memiliki ya, kan? Memiliki kamu aja itu udah cukup buat Papa, Jun.
Senyum kamu, sifat kamu, banyak yang mirip sama Ibu kamu. Tapi sayang, wajah kamu mirip sama Ayah kamu.” kata Papa sambil tertawa.
“Gitu ya, Pa?”
“Iya, apalagi sifat pelupa kamu itu.” kata Papa sambil menjitak kepalaku. Aku hanya meringis kesakitan.
“Sekarang giliran Papa yang nanya. Kamu gak punya seseorang yang kamu suka?”
“Juna belum kepikiran sampai situ, Pa. Tapi Juna mau cari yang mirip sama Ibu. Gak terlalu mirip wajahnya juga gak apa-apa asalkan perempuan itu tulusnya mirip Ibu.”
“Iya, semoga aja ada ya, Jun.” kata Papa sambil mengusap kepalaku.
Terima kasih Papa. Papa rela menjadi ayah, ibu, dan sahabat untukku. Papa menjadi semua yang aku mau. Terima kasih, Pa. Terima kasih sudah mencintai aku tanpa syarat apapun. Dan maafkan aku jika aku sering menyakiti hati Papa. Jangan takut, Pa. Aku tidak akan meninggalkan Papa. Aku akan menjadi anak yang baik untuk Papa. Aku akan menjaga Papa selamanya. Juna sayang Papa.