Childfree atau Banyak Anak Banyak Rejeki? Kajian atas Surah Al-An’am Ayat 151 dan Al-Isra’ ayat 31

 Childfree atau Banyak Anak Banyak Rejeki? Kajian atas Surah Al-An’am Ayat 151 dan Al-Isra’ ayat 31

Amalan Habib Abdurrahman Bilfaqih agar Punya Anak Hebat (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Memiliki keturunan adalah fitrah manusia, sekaligus anugerah terindah dari Allah yang selalu dinanti-nanti setiap pasangan suami istri.

Dalam sebuah pernikahan, anak merupakan pelengkap kebahagiaan dan perekat keharmonisan. Bahkan banyak yang harus bersabar selama bertahun-tahun demi menanti lahirnya sang buah hati.

Ada juga yang harus rela menerima takdir Allah tidak memiliki keturunan hingga akhir hayatnya. Maka sangat disayangkan, jika ada orang tua yang tidak menghendaki kehadiran anaknya.

Di dalam Alqur’an, Allah melarang siapa saja untuk membunuh anak-anaknya (termasuk keputusan pasangan suami-istri untuk tidak punya anak) hanya karena takut melarat atau dianggap menambah beban hidup.

۞ قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ ۖ أَلَّا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۖ وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ مِنْ إِمْلَاقٍ ۖ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ ۖ

Artinya:
“Katakanlah: “Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu yaitu janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua ibu bapak, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rizki kepadamu dan kepada mereka.” (Q.S. Al-An’am:151)

وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ ۖ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ ۚ إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْئًا كَبِيرًا

Artinya:
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rizki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.” (Q.S. Al-Isra’:31)

Kata “imlaq” menurut Abu Zahrah dalam Zahratu al-Tafasir adalah bentuk jama’ (plural) dari malaqatun yang artinya batu halus yang tidak dapat digenangi air dan tidak dapat ditumbuhi tanaman.

Kata tersebut merupakan kiasan (kinayah) untuk menggambarkan keadaan orang yang tidak dapat mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari.

Menurut Ibnu Abbas, Qatadah dan al-Suddi kata imlaq diartikan dengan kemiskinan atau kefakiran (al-faqru).

Maksudnya adalah kesulitan hidup dan kemelaratan sebagaimana terjadi pada kehidupan di masa Jahiliyyah yang keras dan zhalim.

Para orang tua dilarang untuk membunuh anak-anak mereka dalam kondisi tersebut.

Sedangkan menurut Mundzir bin Sa’id al-Baluthi artinya “nafkah” yaitu munculnya kekhawatiran para orang tua untuk tidak mampu memberi nafkah jika terlalu banyak anak.

Term al-Faqru dan al-Miskin dalam Alqur’an 

Untuk menyebut kata “melarat” Al-Qur’an menggunakan term al-faqru dan al-miskin, namun Al-Qur’an tidak mengemukakan definisi untuk kedua istilah tersebut.

Dalam bahasa Arab, kata miskin merupakan derivasi dari kata sakana yang bermakna tenang atau diam (tidak bergerak).

Ada juga yang mengatakan bahwa kata miskin pecahan (musytaq) dari kata maskanah yang artinya ketundukan dan kehinaan. Hal tersebut disebabkan karena kondisi ekonomi yang pas-pasan atau bahkan di bawah standar normal.

Sedangkan faqir terambil dari kata faqr yang pada awalnya bermakna tulang punggung.

Kemudian dalam bentuk isim fa’il, kata ini dimaknai sebagai orang yang patah tulang punggungnya. Makna metaforis ini untuk menggambarkan beban hidup yang dipikul si faqir sehingga mematahkan tulang punggungnya.

Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), kata “miskin” bermakna tidak berharta; serba kekurangan (berpenghasilan rendah). Sedangkan kata fakir dimaknai sebagai orang yang serba kekurangan atau sangat miskin.

Hukum Senggama Terputus dan Childfree

Penyebab turunnya ayat di atas terkait dengan tindakan orang-orang Jahiliyyah yang membunuh anak-anak perempuan mereka.

Kata al-aulad sebagaimana penjelasan Ibnu ‘Asyur bermakna banat (anak-anak perempuan), sebab ayat ini erat kaitannya dengan kondisi Jahiliyyah, dimana anak-anak perempuan dibunuh karena takut terhina dan melarat.

Kedua ayat tersebut di atas dipahami oleh sebagian ulama’ sebagai dasar tentang haramnya ‘azl atau senggama terputus (coitus interruptus), karena dianggap bagian dari pembunuhan yang tersembunyi atau terselubung (الوأد الخفي).

‘Azl bisa juga disebut dengan pull-out method, yaitu seorang suami saat bersenggama mencabut penisnya dari vagina sang istri sebelum ejakulasi, sekaligus mengeluarkan sperma di luar rahim pasangannya sebagai upaya untuk mencegah inseminasi (pembuahan). Definisi ini sebagaimana disebut dalam kitab Al-Minhaj.

Pasutri yang melakukan metode ini bertujuan untuk membatasi angka kelahiran anak. Atau juga bertujuan agar tidak memiliki anak (childfree). Baik anak biologis, adopsi maupun yang lain.

Imam al-Nawawi dalam al-Minhaj Syarh Sahih Muslimi menegaskan bahwa hukum ‘azl tidak sampai haram, tetapi hanya sebatas makruh (diperbolehkan meski tidak disarankan).

Kemakruhan ini berlaku dalam kondisi apapun. Baik si istri rela dengan adanya ‘azl tersebut atau tidak.

Alasannya, karena tujuan dari ‘azl adalah memutus keturunan (qath’u al-nasl).

Walhasil, ulama’ berbeda pendapat tentang hukum ‘azl dan childfree. Sebagian ulama’ di antaranya Ibnu Hazm mengharamkan, karena berhujjah dengan hadis riwayat Judzamah binti Wahab (tentang larangan ‘azl).

Sedangkan ulama’ yang lain seperti al-Ghazali, Abu Ja’far al-Thahawi, al-Nawawi, Ibnu Hajar dan lain-lain memperbolehkan, dan maksimal berfatwa makruh tanzih.

Setiap orang punya alasan tersendiri untuk memutuskan apakah ia memiliki anak atau tidak.

Bagi sebagian orang, memiliki anak apalagi dengan jumlah banyak tentu menjadi problem tersendiri bagi sebagian orang.

Terutama masyarakat yang kondisi ekonominya lemah, karena harus lebih banyak mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya mulai dari urusan makan, tempat tinggal, pakaian, pendidikan, kesehatan dan kebutuhan-kebutuhan sekunder lain.

Karena alasan inilah sebagian orang memutuskan untuk tidak memiliki anak (childfree).

Alasan lain adalah karena ingin menghabiskan hidup berdua dengan pasangannya. Dan tentu alasan-alasan lain yang sifatnya personal.

Namun untuk sebagian orang, memiliki anak tidak menjadi masalah dan justru merupakan anugerah agung dari Tuhan, karena mereka yakin bahwa setiap anak telah dipersiapkan rejekinya masing-masing. Wallahu a’lam.   []

Abdul Wadud Kasful Humam

Dosen di STAI Al-Anwar Sarang-Rembang

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *