Cetakan Pertama Al-Quran di Nusantara

 Cetakan Pertama Al-Quran di Nusantara

Membincang Perkembangan Khazanah Tafsir Indonesia (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Sebagai umat Islam, Al-Qur’an menjadi kitab suci yang mesti diamalkan dalam keseharian. Terlebih saat kitab suci tersebut dikaitkan dengan umat Islam di Nusantara.

Al-Qur’an bisa merupa menjadi kajian yang diskursif, pengajian yang menghibur, belajar membaca dengan baik dan benar, dilantunkan dengan indah, atau diejawantahkan melalui laku-laku kecil dan sederhana.

Tetapi terlepas dari itu, kita kerap luput tidak mempertanyakan apakah ada, Al-Quran yang dicetak pertama kali di Bumi Nusantara? Kalau ada, siapa pencetaknya?

Tahun berapa Al-Qur’an tersebut dicetak? Pertanyaan-pertanyaan sederhana yang saya rasa penting untuk diajukan.

Dalam artikel Eene Inlandsche Drukkerij te Palembang (1857), Herman von de Wall (1807-1873 memberi keterangan bahwa, pada 1855 Residen Palembang, Cornelis Albert de Brauw menghadiahkan Al-Qur’an yang telah dicetak kepada Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen.

Al-Qur’an yang dihadiahkan ini telah selesai ditulis Kemas Muhammad Azhari (1811-1874) di Kampung Pedatuan, Palembang pada 14 Dzulhijah 1270 H (7 Agustus 1854). Herman von de Wall menggambarkan Al-Quran tersebut ditulis dengan khat Lahore, teks dibingkai, ada nomor halaman di bagian bawah, judul surah di bagian atas, dan keterangan juz terdapat di margin.

Selain itu, Herman von de Wall mengutip temuan A. Van der Ven tentang figur Kemas Muhammad Azhari. A. Van der Ven sendiri pernah menjabat sebagai Residen Palembang dengan jabatan yang paling singkat, yakni setahun pada 1856.

Tetapi dalam satu tahun itu, A. Van der Ven berhasil bersua langsung dengan Kemas Muhammad Azhari untuk mengetahui aktivitasnya sebagai pemroduksi Al-Qur’an.

Dalam catatannya, nama Kemas Muhammad Azhari merupakan orang yang lahir, tumbuh, dan dibesarkan di Palembang.

Tetapi karena ada suatu hal, ia lantas memilih pergi dan mukim bertahun-tahun di Makkah.

Kita bisa menduga kepergiannya ini dilantari oleh dua hal yang lazim ditunaikan umat muslim Nusantara di masa silam.

Kemungkinan pertama adalah menunaikan ibadah haji. Tetapi bisa juga dibersamai dengan pencarian dan pendalaman ilmu-ilmu ajaran Islam.

Karena di masa itu, ulama Nusantara yang memiliki kapasitas pengetahuan dan terakui masih banyak yang mukim di Kota Makkah.

Sepulangnya dari sana, Kemas Muhammad Azhari membeli alat cetak batu di Singapura seharga 500 gulden. Kemudian setiap Al-Quran yang ia produksi, akan dijual seharga 25 gulden.

Artikel ringkas sejumlah 6 halaman ini menjadi rujukan primer selama beberapa dekade kaitannya dengan percetakan Al-Quran pertama di Nusantara.

Tetapi setelah temuan terbaru dari Jeroen Peeters,  artikel yang ditulis Herman von de Wall peroleh sejumlah koreksi.

Di artikelnya Palembang Revisited: Further Notes on the Printing Establishment of Kemas Haji Muhammad Azhari (1995), Peeters menemukan bahwa Al-Quran yang pertama kali dicetak di Nusantara berangka 1848, bukan 1854 seperti yang dikemukakan Herman von de Wall.

Temuan itu berdasarkan penelusuran Peeters di Palembang pada Januari 1988 dan Februari 1991. Selama kurun waktu itu, ia bersua dan mewawancari KH Muhammad Amin Azhari atau Baba Cak Ming yang mukim di kawasan 3 Ulu Palembang.

Di penghujung penelusurannya, Peeters ditunjukkan sebuah Al-Quran yang dicetak di kawasan 3 Ulu pada masa silam.

Peeters juga menemukan bahwa Kemas Muhammad Azhari berdarah keluarga ulama di Palembang.

Maka mafhum jika selain memproduksi Al-Quran, Kemas Muhammad Azhari juga mencetak dan menyebarluaskan sejumlah kitab; Dalail al-Khayrat, kitab Salawat Syekh Ahmad Tayyib, dan ‘Atiyat al-Rahman. Begitu. []

Ahmad Sugeng Riady

Masyarakat biasa. Alumni Magister Studi Agama-agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *