Catatan Ramadhan (1); Kiat-kiat Menyambut Ramadhan dengan Baik

 Catatan Ramadhan (1); Kiat-kiat Menyambut Ramadhan dengan Baik

Amalan Doa agar Hidup Berkecukupan (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM Ramadhan telah memasuki hari keempat. Meskipun sedikit telat, saya rasa menjadi penting untuk memahami secara mendasar terkait kiat-kiat yang baik dalam menyambut bulan Ramadhan.

Tahun ini, sebagaimana tahun lalu, pandemi yang belum menunjukkan titik terang kapan berhentinya masih menemani kita dalam menjalani aktivitas di Bulan Ramadhan. Ini bukanlah sebuah persoalan baru.

Terlepas dari beragam perdebatan yang muncul terkait hal-hal yang berkaitan dengan ibadah yang baik di masa Pandemi ini. Ada hal yang saya rasa acapkali luput dalam perhatian kita.

Prof. Quraish Shihab dan Gus Baha, dalam serial gelar wicara “Shihab & Shihab” yang dipandu langsung oleh Najwa Shihab, menjelaskan secara gamblang ihwal persoalan-persoalan ini.

Setidaknya ada tiga hal yang kira perlu kita perhatikan dalam upaya menyambut bulan Ramadhan yang baik, yang akan dibahas dalam artikel ini.

Memahami “Marhaban” Ya Ramadhan

Ihwal pertama yang harus kita pahami adalah arti dari “Marhaban” dalam kalimat Marhaban Ya Ramadhan. Menurut Prof. Quraish, dalam menjelaskan kata “Marhaban”, ia dapat diartikan dalam dua pengertian.

Pertama, kata “Marhaban” diambil dari suku kata rahb, yang memiliki pengertian “lapang”. Artinya, Bulan Ramadhan, sebagai tamu yang senantiasa kita tunggu, sudah sebaiknya kita sambut dengan lapang dada, dan tidak menggerutu dalam hati.

Kedua, kata rahb, dalam pandangan Prof. Quraish, juga dapat diartikan dengan “tempat mengambil bekal”.

Artinya, memaknai “Marhaban” tidak cukup dengan hanya terbatas dalam tataran berlapang dada. Namun juga bersedia untuk mengambil bekal persedian, melakukan intropeksi diri, serta memperbaiki segala apa yang telah kita lakukan untuk menuju ke akhirat yang bersifat kekal.

Mempersiapkan Niat

Setelah memaknai dan memahami kata “Marhaban” di atas, hal selanjutnya yang harus diperhatikan adalah persoalan “niat”.

Niat, dalam pandangan Prof. Quraish dan Gus Baha, harus ditancapkan dan dimantapkan dalam hati bukan hanya terlepas dalam kata-kata yang terucap lisan. Sebab, segala bentuk sesuatu, baik itu tindakan, prilaku maupun kata-kata yang terucap, itu ditentukan oleh niatnya.

Lantas bagaimana niat yang baik, terkhusus dalam upaya menyambut Bulan Ramadhan ini?

Gus Baha memulai penjelasan ihwal persoalan niat dengan memaparkan QS. Al-Fatihah [1]: 6-7.

Kalimat Ihdinas-Siraatal-Mustaqiim  yang berarti “Tunjukilah kami jalan yang lurus” dan kalimat Siraatal-laziina an’amta ‘alaihim yang berarti “(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya” merupakan sebuah pentunjuk untuk meniru niat-niat para ulama.

Dengan mengetahui bagaimana niat para ulama terdahulu, kita dapat belajar banyak. Misalnya, dalam persoalan puasa.

Niat dalam Berpuasa

Ada banyak niat dari para ulama terdahulu yang berkaitan dengan puasa, selain berniat ibadah, juga dapat diniatkan untuk bagaimana kita dapat menghargai makanan.

Ada banyak diluar kita, yang dalam keadaan tertentu merasakan kelaparan, namun, justru kita seringkali bersikap mubadzir terhadap makanan. Dalam keadaan berpuasa, kita diajarkan untuk senantiasa bersyukur atas nikmat-nikmat yang telah diberikan-Nya kepada kita.

Misalnya, lanjut Gus Baha, makanan-makanan yang diluar Ramadhan seringkali kita remehkan. Seperti misalnya air putih, namun di Bulan Ramadhan semua terasa istimewa.

Menarik kesimpulan dari apa yang dijelaskan oleh Gus Baha, Prof. Quraish menggarisbawahi bahwa hal yang sangat penting adalah niat, bukan pada persoalan amal. Memperbaiki apa yang kurang. Menginstropeksi diri mengenai hal-hal yang telah kita lakukan.

Sehingga, dengan memperhatikan niat tersebut, akan sampailah kita pada tingkatan terkait apa sebenarnya yang menjadi tujuan kita. Yakni menjalani segala ibadah dengan baik di Bulan Ramadhan.

Boleh jadi, niat kita tidak sebanyak apa yang telah diniatkan oleh para ulama. Ibadah yang kita anggap baik, dengan melihat beberapa pengertian dan penjelasan dari para ulama, justru jauh dari kata baik.

Pentingnya Berprasangka Baik

Terakhir, hal yang harus kita perhatikan setelah kedua hal di atas yakni mengenai pentingnya berprasangka baik.

Di sini, Gus Baha memberikan sebuah contoh mengenai tidur. Tentunya hal ini, jika dilakukan diluar bulan Ramadhan secara terus-menerus, akan mendapatkan sebuah label bahwa kita tergolong orang yang bermalas-malasan.

Namun, dengan mengikuti para ulama terdahulu, yang tentunya terdapat di dalam berbagai karya, kita akan mendapatkan sebuah pandangan bahwa orang yang tertidur itu. Terutama pada saat Bulan Ramadhan adalah sebentuk ibadah.

Ia tidur untuk menghindari hal-hal yang menjadi larangan-Nya. Seperti, ghibah, maksiat, atau yang lain-lainya.

Berprasangka baik inilah yang menjadi inti dalam beragama. Yakni bersangka baik dengan Allah SWT. dan bersangka baik dengan sesama. Wallahu’alam.

Muhammad Arman Al Jufri

https://hidayatuna.com

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *