Cara Memilih Pemimpin Ala Santri
HIDAYATUNA.COM – Akhir tahun kemarin, kontestasi politik kembali memanas. Meski masih pandemi Covid-19, pilkada tetap berlangsung dan puncak paling viral adalah terpilihnya dua putra presiden Jokowi: Gibran dan Bobby.
Jokowi akhirnya mempunyai generasi penerus pemimpin. Gibran menguasai Solo, sedangkan Bobby unggul di Medan.
Ini yang menarik. Bagaimana masyarakat harus memilih pemimpin?
Apakah dengan memilih putra Jokowi, putra dari pemimpin nomor satu di Indonesia? Atau, siapa yang banyak donatur harus dipilih?
Atau kita wajib memilih yang berasal dari partai besar? Atau malah yang mengikuti organisasi besar seperti NU?
Problematika memilih pemimpin semacam ini mengingatkan percakapan saya dengan teman-teman sewaktu di pesantren. Dimana, santri memiliki trik tersendiri saat memilih bakal calon pemimpin. Coba simak percakapan singkat berikut ini.
“Ah, kalau aku pokok pemimpin yang adil”, kata Agus, santri senior. Tetapi, adil adalah kata rumit dan multitafsir.
Kadang kala kita sendiri tidak tahu karakter atau kehidupan sehari-hari pemimpin yang akan dipilih. Bagaimana bisa mengetahui sikap adilnya? Kadang, masuk kampanye pemimpin baru terlihat keren, adil, baik, bersosial, dan segala sikap baik lainnya.
“Hayo tidak bisa, Kang. Satu-satunya yang mampu adil itu cuma Allah”, sergah Amar, putra dari pengasuh pesantren.
“Lah, terus gimana? Bagaimana biar pemimpin yang kita pilih itu sesuai, baik, pokoknya pemimpin yang jujur, top markotop?” tanya Agus dengan nada agak tinggi.
Kita tahu, pemimpin negeri ini banyak yang tidak menepati janjinya. Lihat saja, sudah berapa banyak pemimpin yang diringkus karena korupsi.
Akhir tahun saja, ada penangkapan kasus lobster dan dana bansos. Akhirnya, Jokowi meresuffle menteri-menterinya.
“Kang, ingat hadis yang berbicara tentang imam salat? Yang intinya begini: Orang yang berhak mengimami manusia ialah orang yang paling tahu (qari) tentang kitab Allah.
Jika bacaan mereka sama, maka siapa yang paling tahu tentang sunah. Jika pengetahuan mereka terhadap sunah sama saja, maka siapa di antara mereka yang paling dulu hijrah. Jika hijrah mereka sama, maka siapa di antara mereka yang paling tua usianya,” jelas Amar.
Menghindari Pemimpin Ahli Maksiat
Pertama, orang yang paling tahu tentang kitab Allah. Bukan berarti mereka adalah para kiai, ulama, habib, dan semacamnya. Maksudnya, orang yang dekat dengan Tuhan, orang yang taat beribadah.
Kenapa mesti begitu? Sebab orang yang dekat dengan Tuhan tidak akan maksiat. Begitu logikanya, maka tidak mungkin dia akan korupsi. Tidak mungkin dia akan janji-janji buta. Sayangnya ini sulit.
Saya jadi ingat perkataan Prof Salim Said di Indonesia Lawyers Club kala itu.
“Kenapa kita gak maju? Kenapa Singapura maju? Kenapa Korea Selatan maju? Taiwan maju? Israel maju? Karena ada yang mereka takuti. Taiwan takut sama Cina. Korea Selatan takut sama Korea Utara. Singapura takut karena mereka mayoritas Tionghoa di tengah lautan Melayu. Israel takut karena di tengah lautan Arab. Kalau dia gak hebat, ya dikremus. Indonesia? Tuhan pun tidak ditakuti.”
Semua pemimpin ketika dilantik pasti disumpah. Agaknya, sumpah yang mereka lakukan hanya untuk formalitas saja. Sebab itu, kriteria pertama ini sulit dan rumit untuk ditemukan.
Kalau pun ada, mungkin tidak banyak. Inilah faktor utama masyarakat kesal dengan pemimpin.
Mereka hanya menjual omong. Padahal, semboyan dalam kabinet pemerintahan adalah kerja, kerja, kerja. Entah kapan berubah menjadi: omong, omong, omong.
Selanjutnya, orang yang paham sunah. Saya artikan begini, orang yang paham sunah adalah orang yang mengenal Nabi Muhammad.
Otomatis mereka tahu sikap dan karakteristik nabi. Kita tahu, bahwa Nabi Muhammad adalah Sang Revolusioner Dunia.
Sedikit banyak pasti akan mengikuti perilakunya. Selain itu, jika paham tentang Nabi Muhammad pasti tahu cara memimpin ala nabi yang khas: dengan hikmah, mauizah hasanah, dan berdebat dengan baik.
Andaikata mereka sama-sama memahami sunah, berarti pilih pemimpin yang lebih dulu hijrah. Saya maknai hijrah di sini adalah pindah dan mukim.
Pemimpin yang layak memimpin daerahnya, otomatis orang asli daerah itu. Sebab lebih kenal daerahnya dan program kerja maupun visi misi harus sesuai kondisi dan situasi daerah.
Jika masyarakat masyoritas petani, otomatis banyak program ke arah pertanian. Bukan malah fokus di sektor pariwisata. Bubrah, donk.
Nah, jika pemimpin yang hendak kita pilih sama-sama orang asli sana, mukim, bahkan sejak lahir di sana, lebih baik pilih yang lebih tua. Kita semua paham, orang yang lebih tua adalah orang yang lebih banyak pengalaman, dan tidak menutup kemungkinan pengetahuan juga.
Tidak hanya itu, orang lebih tua pasti memiliki lebih banyak kenalan, dibanding yang masih muda. Tidak cukup di situ, lebih tua berarti lebih tajam dan matang segala keputusannya.
“Paham, Kang?”
“Paham-paham. Wah, berarti kemarin aku salah pilih. Kok aku tidak ingat hadis ini dari kemarin” sahut Agus sambil menggaruk kepalanya karena merasa salah memilih calon bupati di daerahnya.