Cara dan Adab Menyambut Hari Raya Idul Fitri

 Cara dan Adab Menyambut Hari Raya Idul Fitri

Inilah Perbedaan antara Silaturrahmi dan Ziarah (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – Setiap malam hari raya, baik hari raya Idul Fitri maupun Idul Adha gemuruh takbir terdengar dari berbagai masjid dan musala. Di beberapa daerah di Indonesia, tradisi takbiran semalaman suntuk hingga waktu salat subuh menjadi, pemandangan yang biasa dan lumrah.

Pasalnya, ini adalah salah satu cara mereka menyambut datangnya hari raya, sekaligus cara mereka merayakan dan menghidupkan malam-malam hari raya. Imam al-Ghazali dalam salah satu karyanya yang berjudul Majmu’atu Rasail al-Imam al-Ghazali dan beberapa ulama yang lain.

Di antara seperti al-Nawawi, al-Rafi’i, al-Hadhrami, al-Shawi dan yang lain menjelaskan cara dan adab menyambut hari raya Idul Fitri sebagai berikut:

Menghidupkan Malamnya (ihya’u lailatihi)

Kesunahan menghidupkan malam hari raya Idul Fitri ini didasarkan pada hadis Nabi yang berbunyi:

مَنْ قَامَ (وَفِي رِوَايَةٍ مَنْ أَحْيَا) لَيْلَتَىِ الْعِيدَيْنِ لِلّهِ مُحْتَسِبًا لَمْ يَمُتْ قَلْبُهُ يَوْمَ تَمُوتُ الْقُلُوبُ. (رواه الشافعي وابن ماجه)

Barangsiapa yang menghidupkan kedua malam hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha) karena Allah, maka hatinya tidak akan mati di saat hati orang-orang telah mati. (HR. Al-Syafi’i dan Ibnu Majah)

Syaikh Ahmad bin Muhammad al-Shawi dalam kitab Bulghat al-Salik li Aqrab al-Masalik, menjelaskan yang maksud dengan adamu mauti qalbihi (hatinya tidak akan mati). Maksudnya adalah bahwa orang yang menghidupkan malam Idul Fitri akan merasakan ketenangan saat menghadapi sakaratul maut.

Ia dengan mudah dapat menjawab pertanyaan malaikat Mungkar dan Nakir serta tenang ketika menghadapi teror hari kiamat. Al-Shawi berkata:

وَمَعْنَى عَدَمِ مَوْتِ قَلْبِهِ عَدَمُ تَحَيُّرِهِ عِنْدَ النَّزَعِ وَعِنْدَ سُؤَالِ الْمَلَكَيْنِ وَفِي الْقِيَامَةِ. بَلْ يَكُونُ مُطْمَئِنًّا ثَابِتًا فِي تِلْكَ الْمَوَاضِعِ

“Yang dimaksud dengan hatinya tidak akan mati adalah ketenangannya saat menghadapi sakaratul maut. Menjawab pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir, serta ketenangannya dalam menghadapi (teror) hari kiamat. Bahkan dalam kondisi-kondisi tersebut hatinya diliputi ketenangan dan keteguhan.”

Imam al-Shawi menambahkan bahwa cara menghidupkan malam hari raya Idul adalah dengan salat. Memperbanyak bacaan zikir, takbir, tasbih dan istighfar di sepanjang malam, atau pada sepertiga akhir malam. (Ahmad bin Muhammad al-Shawi, Bulghat al-Salik li Aqrab al-Masalik, juz 1, hlm. 345-346)

Sementara imam al-Nawawi dalam kitab Raudhat al-Tahlibin, mengutip pendapat Qadhi Husain dari sahabat Ibnu Abbas. Menghidupkan malam hari raya Idul Fitri, minimal adalah dengan mengerjakan salat Isya’ berjemaah.

Kedua, berniat mengerjakan salat subuh secara berjemaah, baik di masjid, musala maupun di tempat salat yang lain.  (Imam al-Nawawi, Raudhat al-Thalibin, juz 1, hlm. 582)

Melanggengkan Pembacaan Takbir (mudawatu al-takbir)

Kesunahan takbiran pada hari raya Idul Fitri dimulai sejak terbenamnya matahari (malam tanggal 1 Syawal) hingga pelaksanaan salat Ied. Semua umat Islam, baik laki-laki maupun perempuan, baik di rumah, jalan, pasar, masjid dan yang lainnya disunahkan untuk membaca takbiran pada waktu tersebut.

Bahkan imam al-Nawawi memfatwakan bahwa takbiran usai salat-salat wajib di malam hari raya Idul Fitri hukumnya adalah sunnah, sebelum membaca zikir salat. Sebagaimana dikutip Syaikh Muhammad bin Qasim al-Syafi’i dalam Fath al-Qarib al-Mujib.

Redaksi kalimat takbiran hari raya adalah sebagaimana ditulis imam al-Nawawi dalam al-Adzkar al-Nawawiyah:

الله اكبر الله اكبر الله اكبر لا اله الا الله والله اكبر الله اكبر ولله الحمد

Lebih utama lagi dengan menambahkan kalimat tasbih dan tahmid:

اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الْحَمْدُ، اللهُ أَكْبَرُ كَبِيْراً وَالْحَمْدُ للهِ كَثِيْراً وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً، لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَأَعَزَّ جُنْدَهُ وَهَزَمَ الأَحْزَابَ وَحْدَهُ

Mandi Hari Raya di Pagi Harinya (al-ightisal fi shabahati yaumihi)

Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa cara ketiga dalam menyambut hari raya Idul Fitri adalah mandi di pagi harinya Idul Fitri. Menurut ulama Fiqih, diantaranya imam al-Baijuri, hukum mandi hari raya adalah sunah.

Kesunahan ini berlaku baik untuk laki-laki atau perempuan yang sudah baligh, anak-anak kecil. Orang yang akan ikut melaksanakan salat Ied maupun yang absen karena udzur, seperti perempuan yang sedang haid atau nifas.

Meski demikian, menurut imam al-Bujairami, perempuan-perempuan yang sedang haid atau nifas tetap disunahkan mandi hari raya. Alasannya karena hari raya adalah hari untuk berhias (yaum al-zinah). (al-Baijuri, Hasyiyah al-Baijuri, juz 1, hlm. 118 dan al-Bujairami, Bujairami ala al-Khatib, juz 1, hlm. 371)

Imam al-Baijuri kemudian menjelaskan bahwa mandi hari raya Idul fitri boleh dilakukan di pertengahan malam, sebelum maupun setelah fajar. Niatnya adalah:

نَوَيْتُ الْغُسْلِ لِعِيْدِ الْفِطْرِ سُنَّةً للهِ تَعَالَى

Memakai Parfum dan Berpakain Putih Serta Terbaik

Menurut imam al-Rafi’i, hukum memakai parfum (al-tathayyub) dan membersihkan badan (al-tanzhif) saat hari raya adalah sunnah. Membersihkan badan menurut imam al-Rafi’i maksudnya adalah mencukur rambut, memotong kuku, dan menghilangkan bau-bau tidak sedap.

Ia menambahkan kesunahan lain yaitu memakai baju putih dan berpakain terbaik, serta berserban. (Abdul Karim bin Muhammad bin Abdul Karim al-Rafii, al-Aziz Syarh al-Wajiz, Juz 3, hlm. 354)

Menyantap Sedikit Makanan Sebelum Salat Ied

Menyantap makanan sebelum salat Idul Fitri hukumnya adalah sunah. Jika tidak sempat melakukannya di rumah, seseorang tetap dianjurkan menyantap sedikit makanan. Meski harus dilakukan di jalan menuju masjid atau di masjid.

Syaikh Sa’id bin Muhammad Ba’asyin al-Hadhrami dalam kitabnya Busyra al-Karim Syarh Masail al-Ta’lim mengatakan:

وَيُسَنُّ لِكُلِّ أَحَدٍ اَلْأَكْلُ وَالشُّرْبُ فِيْهِ أَيْ الفِطْرِ قَبْلَهَا أَي الصَّلاَةِ وَلَوْ فِي الطَّرِيْقِ أَوْ اَلْمَسْجِدِ وَلاَ تَنْخَرِمُ بِهِ اَلْمُرُوْءَةُ لِلْعُذْرِ

Setiap orang disunnahkan makan dan minum di hari raya Idul Fitri sebelum salat Ied. Meskipun dilakukan saat di jalan (menuju masjid) atau di masjid. Yang demikian tidak merusak wibawa karena uzur.

Pulang dan Pergi ke Masjid Melewati Jalan yang Berbeda

Di antara adab (tata krama) seseorang ketika salat Ied adalah pergi dan pulang dari masjid lewat jalan yang berbeda. Namun imam al-Hadhrami menyarankan agar ketika pulang mencari jalan yang lebih dekat.

Demikian adalah kebiasan Nabi sejak dulu karena itu, kita dianjurkan untuk mencontoh kebiasaan Nabi yang satu ini. Hikmahnya agar semakain banyak dan besar pahala yang didapat sesuai dengan jumlah langkah kaki seseorang.

Selain itu, hikmahnya adalah agar semakin banyak jejak-jejak yang kita lewati, yang diyakini akan bermanfaat sebagai saksi di akhirat. (Syaikh Sa’id bin Muhammad Ba’asyin dalam kitabnya Busyra al-Karim Syarh Masail al-Ta’lim , juz 1, hlm. 444)

Abdul Wadud Kasful Humam

Dosen di STAI Al-Anwar Sarang-Rembang

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *