Calon Guru Besar: Hampir Seluruh Detai Fikih Haji Adalah Ikhtilaf

 Calon Guru Besar: Hampir Seluruh Detai Fikih Haji Adalah Ikhtilaf

HIDAYATUNA.COM, Semarang – Calon Guru Besar pada Fakutas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo, Semarang, Prof Dr H Musahadi MAg akan menyampaikan pidato pengukuhannya dengan topik “Fikih Prasmanan, Mencermati Disrupsi di Bidang Hukum Islam”.

Prof Dr H Musahadi MAg akan dikukuhkan sebagai guru besar oleh Rektor UIN Walisongo Prof Dr H Imam Taufiq MAg di auditorium II Kampus III Jalan Prof Dr Hamka, Ngalian Semarangpada Rabu, 8 Januari 2020.

Kepada wartawan, Musahadi menyampaikan, tantangan di era Disrupsi antara lain kita ini berada di era transisi dari dunia manual ke dunia digital.

“Mereka yang berpengetahuan sangat luas mengenai hukum Islam pada umumnya adalah kategori “digital immigrant”, yang umumnya tidak familiar dengan teknologi digital, sementara mereka yang melek digital atau generasi “digital natives” pada umumnya kurang menguasai ilmu hukum Islam (fikih),” kata Musahadi seperti dikutip Hidayatuna.com, Senin (6/1/2010).

“Keadaan ini membuat idealitas lahirnya fatwa yang ramah milenial menghadapi tantangan berat. Terobosan yang bisa dilakukan adalah melalui kolaborasi dua kategori tersebut sembari memperkuat program-program literasi digital, literasi media atau literasi information technology di satu sisi dan literasi fikih yang lebih humanistik di sisi lain,” sambung mantan aktivis kampus UKM Koran Amanat itu.

Bagaimanapun, tegas Musahadi, fikih itu memiliki karakter plural dan secara alamiah menyimpan potensi besar bagi munculnya ikhtilaf (beda pendapat). Tidak hanya terkait dengan fikih muamalah yang memang di dalamnya ruang berekspresi secara intelektual sangat terbuka, namun juga dalam fikih ibadah. Dalam fikih shalat misalnya, betapa detil-detilnya adalah khtilaf. “Demikian juga fikih haji,” ujarnya.

“Hampir seluruh detail fikih ibadah haji adalah ikhtilaf, kecuali tentang Wukuf sebagai Rukun Haji,” tegas bapak dari empat anak itu.

Di era disrupsi ini, menurut dia, siapapun yang bersentuhan dengan discourse mengenai fikih akan lebih mudah bertemu dengan fenomena ikhtilaf. Itulah sebabnya, literasi mengenai perbedaan pendapat dalam hukum Islam (fiqh al-ikhtilaf) menjadi sangat penting.

“Sikap yang diharapkan muncul adalah sikap menerima realitas yang berbeda dengan kita atau dalam istilah Milad Hanna disebut sebagai qabul al-akhar (menerima pihak lain yang berbeda) sebagai modal sosial membangun atmosfir hukum Islam yang lebih fungsional dan produktif di masa mendatang,” katanya. (AS/HIDAYATUNA.COM)

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *