Buya Hamka, Memecahkan “Rahasia” dengan Filsafat
HIDAYATUNA.COM – Buya Hamka menuliskan pemikiran filsafatnya dalam buku Falsafah hidup, di sana ia memberikan penjelasan menarik yang sedikit berbeda dengan pengertian filsafat pada umumnya. Filsafat menurut Hamka berasal dari dua suku kata, “pilos” dan “sofos” yang berarti pilos adalah penggemar dan sofos ialah hikmat/ilmu.
Tapi “hikmat” sendiri dalam bahasa Arab artinya “rahasia”. Hamka juga menganggap filsafat sebagai rahasia. Dalam buku Falsafah Hidup Hamka mengatakan:
“Banyak rahasia di dalam alam ini. Kita tidak tahu tetapi kita ingin tahu. Takjub, heran, dan terasa bahwa diri kita sendiri dipengaruhi bahkan terpesona dengan tanda-tanda tanya. Misalnya: Apakah ini? Dari manakah datangnya? Ke manakah setelahnya? Rahasia dan penuh rahasia. Bila sedang berpikir hendak menyelidiki, hendak tahu, apakah rahasia itu? Kembalilah segala tanya yang sulit tadi kepada yang bertanya: mengapa saya bertanya? Siapa saya? Rahasia. Semua orang ingin memecahkan rahasia-rahasia itu.”
– Buya Hamka, Falsafah Hidup.
Buya Hamka mengamini bahwa setiap orang adalah calon filsuf, namun hanya sedikit yang menjadi filosof.
Buya Hamka juga merupakan sosok yang amat terpukau dengan cara berpikir dan proses pencarian kebenaran yang menjadi karakteristik filsafat itu sendiri. Hal ini terlihat dari metode penalaran filsafat yang banyak digunakan oleh Buya Hamka dalam melakukan berbagai analisis untuk tema-tema tertentu.
Filsafat sebagai Media Melihat Hubungan Manusia dengan Tuhan
Selain dalam buku bertema filsafat sendiri, Buya Hamka juga menjadikan filsafat sebagai kerangka acuan dalam menulis buku Pelajaran Agama Islam. Hamka menggunakan filsafat dalam buku ini untuk melihat hubungan antara manusia dengan agama, termasuk menjadikan filsafat sebagai salah satu media dalam proses pencarian Tuhan.
Misalnya di dalam buku Pelajaran Agama Islam Buya Hamka menegaskan pentingnya penggunaan akal untuk menganalisis persoalan-persoalan apa pun, termasuk tentang Ke-esaan dan Ke-Mahakuasaan Tuhan dalam hubungannya dengan alam semesta.
Bagi Buya Hamka, mempelajari filsafat sekaligus menerapkannya dalam tindakan adalah aktivitas mulia, apalagi untuk orang yang menyukai tantangan. Bukan hanya dalam diri manusia, bahkan perkembangan dan kemajuan bangsa Indonesia menurut Hamka tidak bisa dilepaskan dari filsafat.
“Mulai dari jaman Sriwijaya, Malaka, Majapahit, Mataram sampai Aceh Darussalam dan Pagaruyung tidak mungkin akan mencapai derajat setinggi itu jika belum ada filsafat.” – Buya Hamka
Buya Hamka juga mengatakan kalau orang yang berfilsafat berarti telah melakukan transformasi pengetahuan dari yang semula dianggap sulit menjadi hal yang mudah. Maka tidak heran jika orang-orang yang berfilsafat atau filosof dan pengkaji filsafat itu memiliki karakter yang demikian.
Menuangkan Pemikiran Filsafat dalam Karya
Menurut Hamka, para filosof adalah orang yang hebat dan bisa menjelaskan persoalan rumit. Sebab itulah ia terinspirasi untuk bertindak, misalnya dengan menulis atau menuangkan pemikirannya. Bukan itu saja, bagi Hamka filsafat telah memberikan banyak pencerahan bagi orang lain, oleh sebab itu ia sangat mengapresiasi filsafat sebagai ilmu.
Meski Hamka memaknai filsafat dan menjadi filosof bukan seperti orang Barat dan pemahaman Barat, tapi ia memuji Socrates. Menurutnya Socrates mempunyai kontribusi yang besar dalam perkembangan dan kemajuan dunia filsafat.
Sebagai pemikir filsafat yang menuangkan pemikriannya dalam karya, ada yang begitu mengagumi Buya Hamka hingga memujinya tinggi-tinggi. Ada pula yang menganggap pemikiran Buya Hamka biasa-biasa saja.
Mochtar Naim adalah salah satu tokoh yang pro terhadap pemikiran-pemikiran Buya Hamka dan dia-lah pula yang memberikan Hamka predikat sebagai filosof di jaman modern yang dimiliki bangsa Indonesia. Mochtar Naim melihat keluasan wawasan yang dimiliki Buya Hamka dan itulah yang membuatnya mengagumi hingga mengapresiasi pemikiran Hamka yang luar biasa.
Menurut Mochtar, Buya Hamka ini bukan sekadar ulama, tapi dia segala-galanya. Buya Hamka seorang pujangga, sastrawan, penyair, wartawan, budayawan, orator, ahli pidato. Beliau kolumnis, ya penulis, ya penerbit, politikus, pembaharu, pendidik, Mahaguru, bahkan seorang filsuf.
Buya Hamka sebagai Pemikir Filsafat
Berbeda dengan Mochtar Naim, Abdurahman Wahid justru kontra dengan pemikiran Buya Hamka. Menurut Abdurahman Wahid, Hamka tidak mengenal baik tradisi dari filsafat.
Abdurahman Wahid bahkan tidak sepakat jika Buya Hamka disebut sebagai filsuf. Bagi dia, cara Buya Hamka menggunakan kata filsafat itu mencerminkan bahwa tidak ada dalam pemikiran filsafat dama diri Hamka.
“Seperti yang digunakannya sebagai judul salah satu bukunya, Falsafah Hidup, yang isinya justru mencerminkan refleksi non-filosofis,” kata Abdurahman Wahid.
Namun argumentasi Abdurahman Wahid terhadap pemikiran Hamka itu tidak bisa dipertahankan. Sebab Abd. Haris mengungkapkan bahwa pandangan Hamka terhadap filsafat tidak sesempit yang digambarkan Abdurahman Wahid.
Abd. Haris mengamati bahwa Buya Hamka bukan orang yang mengikuti aliran puritanisme yang anti-filsafat, seperti orang Wahabi. Tetapi Buya Hamka adalah orang yang mengikuti aliran pembaharuan dalam Islam dan justru menganjurkan mempelajari filsafat untuk memperluas wawasan dalam beragama.
Itulah kenapa, Buya Hamka memang orang yang keras dalam prinsip agama, tetapi Hamka bukan orang yang fanatik kepada agama karena ia mempelajari filsafat. Meski tegas memegang prinsip dalam agama namun ia tetap santai dalam beragama, tidak kaku.
Hamka sungguh-sungguh dalam mempelajari filsafat untuk mengungkapkan apa yang dia sebut sebagai “rahasia”. Oleh karena itu agaknya Hamka lebih tepat disebut sebagai pemikir filsafat ketimbang filsuf.