Bunda, Tolong! Ayah, Jangan!
Di suatu senja menjelang malam aku bersama ayah menemani kakak sepupu untuk sekedar jalan-jalan. Kakak sepupuku usianya jauh lebih tua, tetapi dia mengalami sebuah pertumbuhan yang abnormal. Usianya jauh lebih tua tetapi ukuran tubuhnya sama sepertiku. Tidak bisa berjalan dan hanya mengandalkan sepeda bayi sebagai alternatifnya berpergian.
Singkat cerita sampailah kami di depan rumah guru mengaji. Kakak sepupuku mengaji di sana. Sementara ayah dan aku menjaganya. Tahun 2004 sebuah kendaraan amat sangat jarang didapati di daerah terpencil seperti desaku kala itu. Aku ingat, satu-satunya orang yang memiliki kendaraan beroda dua adalah Uwak Lukman. Beliau selalu mengenakan kendaraannya untuk pulang dan pergi kebun.
Senja kali ini seperti biasa. Aku dan ayah menemani kakak sepupu. Aku kemudian berkata pada ayah, “Yah, perut Ranti sakit. Mau pup.” Ayah menyuruhku untuk melakukannya di rumah nenek saja. Kebetulan, posisi rumah guru mengaji dan rumah nenek berhadapan. Aku mengiyakan kemudian berlari menyebrangi jalan raya.
Tiba-tiba terdengar teriakan ayah yang amat keras memanggilku.
“Ranti..!”
Walau mendengar teriakan ayah, aku terus berlari hingga tiba di ujung sisi jalan. Sementara suara rem mendadak menjadi pusat perhatian anak-anak pengajian.
“Astagfrirulloh … slamet … slamet ….” ujar Uwak Lukman sambil menyeka keringat di atas dahi. Rupanya saat aku akan menyebrang tadi bersamaan dengan lewatnya Uwak Lukman dengan mengendarai sepeda motornya.
Aku menatapnya bingung. Ada apa barusan? Mengapa begitu takut? Apa yang perlu dicemaskan? Aku baik-baik saja. Seharusnya mereka memberiku pujian karena berhasil menyebrangi jalan dan lolos dari tabrakan -seandainya itu terjadi-. (Fyi: ini adalah pikiran anak berusia empat tahun. Seandainya ketika sudah besar dan mengerti tentang kecelakaan, sakit dan mati, aku tidak akan melakukan hal bodoh ini)
Pandangan beralih dapati ayah yang matanya sudah dibesarkan seperti purnama. Alis tebalnya tak ramah, gerahamnya tegang. “Anak bodoh!” umpatnya.
“Sini kamu! Dasar anak bodoh!” ujarnya lagi yang melangkah mendekat.
“Man … Diman!” panggil Uwak Lukman begitu ayah mulai tampak garang.
Seperti tahu nyawa terancam, segara aku berlari dan tak pedulikan teriakan ayah yang memanggil sekaligus mengumpatku.
Tergopoh-gopoh aku masuk ke rumah nenek. Tanpa peduli dengan ekspresi keheranan mereka. Satu hal yang mesti kulakukan sekarang adalah menyelamatkan diri.
Terpikir olehku sebuah kamar yang gelap. Posisinya berada paling belakang. Segera aku berlari dan masuk ke sana.
“Sembunyi … sembunyi … Ranti harus sembunyi ….”
Kalimat itu berulang kuucap. Persis seperti anak autis ketika tantrum. Terdengar langkah kaki ayah yang makin dekat sambil sesekali bertanya kepada orang rumah mengenai keberadaanku.
“Mana Ranti? Mana Ranti, Bu!?” tanya ayah dengan deru nafas yang tak teratur.
“Enggak tahu, Diman. Kenapa? Ada apa ini?”
Suara nenek terdengar cemas. Mereka yang di luar sana pasti sudah bisa menduga apa yang baru saja terjadi.
“Ranti..! Ranti..! Keluar kamu..! Anak bodoh..! Anak setan..! Keluar kamu, anak iblis..!”
Teriak ayah yang terdengar menggema di dalam rumah. Aku yang saat itu sudah menemukan tempat ternyaman menutup rapat mulut kuat-kuat dengan telapak tangan. Takut. Kalian pernah merasakan bagaimana menangis tanpa suara? Sesakit itu yang terasa.
Dengan menelungkupkan kedua lutut, kupegang erat-erat. Bahkan suara sesegukkan sekuat tenaga kutahan.
“Sudah, Diman! Jangan kau apa-apakan anakmu!” kali ini terdengar suara Uwak Lukman menenangkan ayah.
“Ada apa ini, Lukman?” tanya nenek.
“Ranti tadi nyebrang jalan. Mungkin tidak dilihatnya saya yang baru pulang dari kebun lewat dengan sepeda motor. Hampir nabrak, tapi cepat saya rem, Kak. Tidak apa-apa. Tidak ada yang terluka. Motor saya juga baik-baik saja.”
“Astagfirulloh … benar, Man tidak apa-apa?”
“Iya, Bu.”
“Ya sudah Diman, jangan kau hukum lagi Ranti. Kasihan, toh kata Lukman tidak terjadi apa-apa,” bujuk nenek.
“Tidak, Bu! Ranti akan tetap Diman hukum. Bagaimana kalau dia benar-benar tertabrak? Bagaimana kalau dia terluka? Siapa yang mau disalahkan?”
Aku menggigit bibir. Semakin takut. Rasanya ketakutan itu siap melahap tubuh kecilku.
‘Prang!’
“Ranti..! Keluar..! Ayah bilang keluar!”
Pintu kamar didobraknya. Aku semakin takut. Bahkan lutut yang kupeluk kian bergetar kuat.
Aku masih terus bersembunyi. Tiba-tiba sebuah kekuatan besar mengangkat tubuhku. Aku dihentak dengan kasarnya di atas tempat tidur. Malangnya.
Kulihat wajah ayah memerah pun dengan sepasang kornea mata hitamnya.
“Sini kamu anak kurang ajar..!”
Aku menggeleng. Sangat amat takut.
“Bunda ..! Bunda tolong..!” jeritku meminta bantuan. Sementara bunda kulihat hanya memperhatikan kebringasan ayah dari luar sambil menitikkan air mata.
“Bunda! Bunda! Tidak ada yang bisa menolongmu, anak sialan..!” bentak ayah.
Aku semakin takut. Akan lebih baik jika aku mati seperti opa daripada hidup tapi terus disiksa.
“Ampun, Yah … ampuuun ….”
Aku memohon sambil menelungkupkan kedua tangan. Berharap lelaki yang kupanggil ayah itu akan berbelas kasihan.
“Tidak ada ampun!” bentaknya.
Aku pasrah. Terus menangis dan menjerit. Ayah memperlakukanku seperti boneka yang asal dibanting. Aku tak berdaya. Terlebih ketika ayah mengambil seutas tali kemudian mulai mengingatku.
“Ayah … jangan ….” rengekku di tengah nafas yang hampir usai.
Ayah tak mendengar permohonanku. Malah semakin gencar mengikat tubuhku seperti mengikat sebuah boneka.
Selepas mengikat tubuhku, ayah beranjak pergi dari sana. Aku masih terus menangis. Ikatan itu amat kuat hingga menyebabkanku kesulitan untuk bernafas.
“Bunda … Bunda tolong ….” sebuah kalimat yang terus kuucapkan dalam keadaan amat lemas.
Kulihat bunda masuk ke dalam kamar. Ia menangis. Harapan bunda akan menyelamatkanku pupus. Bunda tidak membuka ikatan tali yang menyakitkan ini. Yang bunda lakukan adalah berjalan menghampiri gantungan pakaian di sisi dinding kamar.
“Bunda ….” panggilku penuh isak.
“Anak nakal..! Anak kurang ajar..! Anak tidak tahu diuntung..!”
Aku meraung kesakitan. Bunda mencambukku dengan ikat pinggang kulit ular milik kakek.
“Ati! Ati istigfar, Ati!”
“Bunda! Sakit Bunda! Ampun Bunda!”
“Biar saja, Bu! Biar saja! Sakit hatiku menyaksikan semuanya! Daripada anakku disiksa ayahnya, lebih baik dia mati di tanganku! Mati kamu! Mati! Matiii..!”
Bunda brutal. Tubuhku terus dicambuk tanpa ampun. Ke kiri dan kanan aku berusaha menghindar seperti cacing kepanasan. Bunda masih terus menikmati cambukan itu dengan deraian air mata yang kian deras.
“Ati istigfar, Nak! Istigfar! Astagfirullohal adziiim ….” tuntun nenek seraya memeluk bunda erat.
Perlahan bunda mulai bisa dikendalikan. Sementar aku segera dipeluk paman Ari kuat.
“Kamu nggak apa-apa, sayang?” Aku hanya diam. Menangis sesegukkan. Tidak dapat bicara. Amat susah mengontrol nafas.
Tali segera dibuka. Aku terus dipeluk dan ditenngkan kakak beradik bunda.
“Astagfirulloh … Ranti anakku ….”
Tangis bunda pecah ketika suasana mulai terkendali. Ia terus menangis menyebut namaku.
“Ranti mana, Bu? Mana anakku, Bu?” tanya bunda pada nenek.
“Ada bersama pamannya. Kamu tenang dulu, istigfar.”
“Aku mau Ranti, Bu. Di mana Rantiku?”
Paman Ari mendekatkan aku pada Bunda. Kueratkan pelukan di leher jenjang paman. Menolak untuk berpindah tangan.
“Sini, Nak. Ayo sama Bunda,” bujuk bunda penuh keibuan.
Aku menggeleng. Bagaimana bisa aku memberi kepercayaan kepada orang yang hampir membunuhku?
“Ranti sepertinya masih takut, Ati. Sudah, biarkan dia tenang dulu bersama pamannya,” ujar nenek.
“Astagfirulloh … ibu macam apa aku ini, Bu? Mengapa aku begitu jahat?” ratap bunda.
Aku masih belum mau dipeluk bahkan disentuh olehnya. Kusembunyikan wajah di bawah ketiak paman tiap kali bunda mengajakku ke dalam dekapannya.
Selang beberapa jam ketika semuanya mulai tenang, mereka kembali membujukku. Setelah puas dibujuk, akhirnya aku mau dipeluk bunda. Bunda menangis begitu kusambut uluran tangannya.
“Maafkan Bunda, Sayang … maaf ….” ucap bunda sambil menangis.
Tubuhku kemudian diperiksa. Seluruh pakaian ditanggalkan. Nenek dan bunda memeriksa luka lecet dan lebam karena bekas cambukan dan eratnya ikatan tali.
Bunda lagi-lagi menangis sambil menciumi pipi dan tanganku bergantian. Aku mulai tenang. Tidak lagi marah, malah sedih melihat bunda terus-terusan menangis.
“Bunda jangan menangis. Ranti nggak apa-apa kok,” ujarku padanya.
“Sakit ya, Nak? Nanti Bunda beri salep, ya? Maafkan Bunda, Nak. Bunda khilaf,” tutur bunda yang lagi-lagi menangis.
“Enggak kok. Enggak sakit, cuma sedikit perih. Besok kalau Ranti main pasti enggak perih lagi. Ranti minta maaf ya Bunda, sudah buat Bunda menangis.”
Nenek merangkul aku dan bunda erat. Kakek yang saat kejadian menyeramkan itu sedang di luar, pulang dengan perawakan cemas. Kakek marah. Bukan hanya kepada ayah, tapi juga pada bunda. Kakek tidak mengijinkan bunda membawaku pulang. Kata kakek, aku harus tidur dan tinggal di sana.