Buku dan Etika yang Harus Dijaga dalam Islam

 Buku dan Etika yang Harus Dijaga dalam Islam

Istidlal Menarik dari Imam Al Haramain (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – Berbicara mengenai buku seolah tiada habisnya dan selalu menemukan keasyikannya. Sampai saat ini pun yang katanya zaman digital, buku masih menjadi pilihan utama daripada e-book.

Meskipun e-book terbilang lebih ekonomis dan mudah dibawa daripada buku wujud fisik, tetap saja buku menjadi idaman yang tak ada duanya. Selain dapat dihirup aroma khasnya, dapat pula dipeluk atau bahkan diciumi selepas membacanya. Wujud fisik inilah yang tak dimiliki e-book.

Jika kita mau melacak lebih jauh, buku sebenarnya adalah puncak dari produk peradaban manusia dalam artian sebagai wujud dari proses transfer ilmu pengetahuan. Dahulu kala sebelum era tulis-menulis dimulai, transfer pengetahuan dilakukan melalui ucapan (oral) yang mengandalkan ingatan.

Meskipun orang-orang era oral ini jauh lebih kuat hafalannya dibanding orang-orang era tulisan. Paling tidak, produk pengetahuan dari era tulisan lebih tampak nan kentara wujudnya. Betapa pun kuatnya suatu ingatan dalam mengingat suatu pengetahuan lambat laun akan sedikit memudar seiring berjalannya waktu.

Dengan demikian, lahirlah inisiasi dalam bentuk tulisan agar pengetahuan yang didapat tidak gampang hilang. Tulisan itu sendiri mengalami evolusi dari yang menggunakan sistem ideografik hingga simbolik. Kesemua itu tertuliskan pada batu-batu, pelepah pohon, dedaunan, goa bahkan bangunan dan lain-lain, hingga puncaknya ditemukan mesin cetak. Dan lahirlah buku.

Sosok bung Hatta pun rela di penjara asal dengan buku karena hanya dengan buku ia merasa bebas. Bahkan beberapa lainnya menganggap buku sebagai teman paling setia yang tak pernah berkhianat, berbohong ataupun cemburu. Dalam pepatah Arab menyebutnya “خير جليس فى الزمان كتاب”, betapa dahsyat ya kehebatan buku-buku ini.

Betapa pun keistimewaan yang muncul tersebut, tapi pernah tidak kita berpikir bagaimana memperlakukannya dengan baik atau adab kita terhadap buku sebaik dan seharusnya. Hal ini saya sitir dari karya seorang tokoh terkemuka yang dikenal publik luas.

Beliau adalah ayah dari seorang menteri Agama pertama Indonesia sekaligus kakek dari mendiang Gus Dur, Kiyai Mbah Hasyim Asy’ari (KHA). Karya tersebut bertajuk Adab al-‘alim wal muta’allim (lihat, Hal. 95-101) yang melegenda dan masih banyak dikaji kalangan santri.

Pembahasan ini terletak di bagian akhir atau akhir bab dari kitab tersebut, yang memuat lima cara beradab terhadap buku. Begitu juga kaitannya dengan murid dan guru, serta proses pembelajarannya.

Memiliki Buku

Sebagai seorang pembelajar, buku menjadi alat utama yang harus dimiliki dalam proses pemerolehan ilmu. Baik itu didapat dari membeli, meminjam, maupun cara apapun, terpenting bukan mencuri.

Apabila mau menuliskan ulang poin penting dari buku, jangan memperhatikan keindahan tulisan, tapi validitas tulisan yang hendak ditulis jauh lebih penting. Bukan saja berhenti di situ, tapi ada upaya lanjut, yakni meningkatkan kualitas pemahaman.

Sangat percuma bukan jika hanya sekadar membaca dan menulis tanpa memperhatikan pemahaman, terlebih hanya bukunya ditumpuk sebagai pajangan. KHA menyitir suatu syair yang sangat menarik nan menggelitik, untuk mereka yang kurang memperhatikan kualitas pemahaman.

واذا لم تكن حافظا واعيا # فجمعك للكتب لا ينفع

أتنطق بالجهل مجلس # وعلمك فى البيت مستود

Jika kamu tidak bisa hafal dan paham, maka segudang buku yang kau kumpulkan tidak akan berguna. Apakah kamu membicarakan kebodohan pada suatu majlis, sedangkan ilmumu di rumah tertinggal.”

Meskipun begitu, bukan berarti kita berhenti mengkonsumsi buku-buku baru dengan dalih yang lama saja belum jua habis dibaca. Tetap mengkonsumsi buku terkini dan mengoleksi lebih banyak lagi sebagai investasi bacaan masa mendatang sambil lalu membacanya.

Meminjamkan Buku pada Teman yang Dipercaya

Sepertinya problem pinjam-meminjamkan buku masih berlangsung hingga kini. Betapa pun KHA menganjurkan untuk meminjamkan bukunya pada yang butuh tapi harus memenuhi beberapa syarat tertentu.

Salah satu syarat pasti ialah teman yang bisa dipercaya, sebab dia tidak akan mencederai akad peminjaman. Orang yang bisa dipercaya pasti akan segera mengembalikannya jika sudah selesai.

Sebisa mungkin ia tidak mencorat-coretnya baik itu berupa catatan pinggir dan lainnya kecuali mendapat izin dari pemilik atau meminjamkannya kepada orang lain. Adab yang dimiliki orang yang terpercaya saat meminjam buku ialah menjaganya sebaik mungkin.

Problem remeh tapi jarang dilakukan bahkan sampai lupa adalah mengembalikannya. Tentu hal ini membuat pemberi pinjaman merasa jauh lebih sulit mengikhlaskan buku yang telah dipinjam.

Poin ini adalah anjuran untuk dikembalikan selepas kebutuhan ya, bukan menjadi hak milik.

Jangan Sembarang Meletakkan Buku

Dengan kata lain menurut KHA jangan biarkan buku terhampar di atas lantai, paling harus ada ganjalan dua tiga barang untuk menghindari lembab dan kerusakan. Memperhatikan etika peletakan buku sesuai klasifikasi ilmu.

Bagi KHA, tingkat kemuliaannya didasarkan pada pengarang dan tingkat kepakarannya, tapi Alquran tetap harus menjadi urutan paling tinggi atau atas di deretan rak. Lalu diikuti kitab-kitab aqidah, fiqh, tafsir, hadis dsb, menganjurkan agar menulis basmalah di awal buku

Juga tidak boleh menjadikan buku sebagai tempat penyimpanan beraneka ragam kertas dan benda lainnya, apalagi menjadikannya bantal atau kipas. Kemudian tidak menggunakan benda kecil atau benda kering lainnya, tapi menggunakan kertas dan terakhir jangan melipat tepi atau sudut kertas buku.

Meminjam dan Membeli Buku dengan Jeli

Bagi seorang murid harus memeriksa buku yang hendak dibeli atau dipinjam dengan jeli, baik bagian depan, belakang, tengah, susunan bab, hingga kualitas kertasnya. Dengan demikian, akan mendapat buku sesuai harapan tanpa cacat.

Adab Meng-copy Paste Buku

Jika itu buku-buku syariat, hendaknya dalam keadaan suci, menghadap kiblat, badan dan pakaian bersih. Menuliskan basmalah di awal dan sebelum prakarta pujian atas Allah dan shalawat atas rasul-Nya.

Anda pasti pernah melihat sebuah bacaan atau buku bertuliskan Allah SWT, Nabi Muhammad Saw atau dalam literatur bahasa Arab akan ditemukan dengan singkatan “ص م” dan “صلعم”. Sedangkan untuk nama sahabat nabi diikuti Ra (radiyallahuanhu) maupun ulama salaf as-shalih ra juga (rahmatullah ‘alaihi).

Bagi KHA hendaknya ditulis secara lengkap seperti, Allah subhanahu wa ta`ala, kata nabi diikuti dengan lafal salawat beserta salamnya. Begitu pun berlaku pada para sahabat diikuti secara lengkap radiyallahuahu atau ulama rahmatullah ‘alaihi khususnya mereka ulama besar.

Meskipun tulisan dari buku yang hendak kita salin seyogyanya menuliskannya secara lengkap sebagai bentu puja-puji padaNya, salawat atas nabi, dan doa kepada orang-orang alim terdahulu. Ini juga berlaku pada saat membacanya secara lengkap meskipun si penulis tidak menuliskannya. Wallahu ‘alam bi al-shawab.

Ali Yazid Hamdani

https://hidayatuna.com/

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *