Bukan termasuk Kebaikan, Berpuasa Ketika Bepergian
HIDAYATUNA.COM – Sudah kita ketahui bersama bahwa salah satu hal yang dapat memperbolehkan muslim untuk tidak berpuasa adalah disebabkan perjalanan yang jauh, minimal 80 Kilometer menurut pendapat sebagian besar ulama. Namun jika kita telisik lebih jauh ternyata Rasulullah SAW bahkan secara tersirat meminta kepada kita untuk tidak berpuasa saat berpergian, sebagaimana hadis berikut :
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ فَرَأَى زِحَامًا وَرَجُلًا قَدْ ظُلِّلَ عَلَيْهِ فَقَالَ مَا هَذَا فَقَالُوا صَائِمٌ فَقَالَ لَيْسَ مِنْ الْبِرِّ الصَّوْمُ فِي السَّفَرِ
“dari Jabir bin ‘Abdullah radliallahu ‘anhu berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah dalam suatu perjalanan melihat kerumunan orang, yang diantaranya ada seseorang yang sedang dipayungi. Beliau bertanya: “Ada apa ini?” Mereka menjawab: “Orang ini sedang berpuasa”. Maka Beliau bersabda: “Tidak termasuk kebajikan berpuasa dalam perjalanan”. (HR. Bukhari. 1810)
Menurut para ulama, yang dimaksud dengan kata “bukan termasuk kebaikan puasa saat safar” adalah karena adanya kesulitan,
Para ulama berbeda pandangan mengenai masalah ini, sebagian mereka berpendapat bahwa hukum puasa fardhu saat bepergian adalah tidak sah. Bahkan orang yang berpuasa saat bepergian wajib mengganti berdasarkan makna dzahiriyah ayat “لَيْسَ مِنْ الْبِرِّ الصَّوْمُ فِي السَّفَرِ” (maka hendaklah ia mengganti puasa pada hari-hari yang lain).
Sedangkan jika melihat dari susunan katanya, lawan dari kata “kebaikan” dalam hadis diatas secara terminologi adalah keburukan, yang dalam bahasa agama keburukan berarti dosa. Oleh karena itu apabila seseorang berdosa dengan sebab mengerjakan puasa saat bepergian, maka puasanya tidak sah. Dan harus menggantinya dikesempatan yang lain.
Demikian pandangan yang dikemukakan oleh Sebagian pengikut madzhab Azh-Zhahiri, serta diriwayatkan dari Umar, Ibnu Umar, Abu Hurairah, Az-Zuhri, Ibrahim dan-Nakha’i dan lainnya. Mereka berpegangan pada firman Allah SWT surat Al-Baqarah 184 :
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ
“Barang siapa sakit atau sedang dalam perjalanan, maka hendaklah ia berpuasa pada hari-hari lain”.
Secara dzahir ayat di atas berbunyi ketika dalam kondisi berpergian (safar) seorang muslim hendaknya berpuasa di hari lain. Atau dengan kata lain yang wajib baginya adalah menganti puasanya dengan puasa pada hari-hari lain (di luar Ramadhan).
Namun ada pendapat lain yang lebih tegas, yang mewajibkan seseorang untuk tidak berpuasa dalam kondisi berpergian, jika ditakutkan terjadi hal yang membahayakan dirinya atau terjadi masyaqqah (kesulitan) yang sangat ketika ia tetap memaksakan berpuasa.
Pendapat ini diriwayatkan oleh Imam at-Thabari dari sekelompok ulama. Sementara itu kebanyakan ulama Madzhab Maliki, Syafi’i, dan Abu Hanifah menyatakan bahwa berpuasa lebih utama bagi orang yang merasa kuat dan tidak menemui kesulitan.
Pendapat yang lebih meringankan datang dari Imam al-Auza’I, Imam Ahmad dan Ishaq, mereka berpendapat bahwa tidak berpuasa lebih dianjurkan dari pada berpuasa ketika kondisi bepergian, hal ini bertujuan untuk mengamalkan rukhsah (keringanan) yang diberikan dalam Islam.
Imam Ahmad meriwayatkan bahwa ada seorang laki-laki berkata pada Ibnu Umar. “sesungguhnya aku merasa kuat untuk berpuasa saat sedang berpergian”, lantas kemudian Ibnu Umar berkata kepadanya, “Barangsiapa tidak menerima keringanan (rukhsah) dari Allah, maka ia menanggung dosa seperti gunung Arafah.” Perkataan ini dipahami bagi mereka yang tidak senang dengan adanya keringanan.
Ibnu Umar juga berpendapat bahwa tidak berpuasa saat bepergian lebih baik dari pada mereka berpuasa namun justru membawanya pada sikap ujub (berbangga pada dirinya sendiri) dan riya (pamer).
Wallahu A’lam