Bra Haram : Fatwa dari Cara Pandang yang Bermasalah
HIDAYATUNA.COM – Beberapa hari lalu sempat ramai dibincang sebuah fatwa yang diberitakan dari Arab Saudi yang intinya bahwa memakai bra mengakibatkan bentuk payudara menjadi tampak. Hal ini membuat para perempuan tampak lebih muda sehingga mereka menjadi sumber fitnah.
Wanita muslim tidak boleh memakai bra di hadapan para lelaki yang bukan mahram. Tidak habis pikir ada fatwa seperti ini. Wajar jika kemudian fatwa ini banyak ditolak dengan berbagai alasan.
Di Indonesia sendiri, tidak ada yang menyoal hukum memakai bra bagi perempuan. Apakah ia remaja, dewasa, atau lansia. Apakah ia lajang, atau bersuami. Apakah perempuan ber-bra saat di rumah, di luar rumah, bersama mahram atau ketemu non mahram. Semua tidak disoal.
Sudah terjadi “ijma ‘ sukuti” dan penerimaan yang alamiah karena sudah menjadi pengetahuan umum. Pemakaian bra itu baik dan membawa maslahah yg jelas bagi perempuan. Tidak membawa madharat bagi siapa pun sepanjang pikirannya tidak kotor dan tindakannya tidak ngaco.
Oleh karena itu, ketika tiba-tiba ada fatwa haram memakai bra dengan alasan seperti di atas. Dapat dikatakan bahwa fatwa itu bermasalah karena lahir dari cara pandang yang bermasalah.
Fatwa itu bermasalah karena :
1. Tidak ada tashawwur
Tashawwur (deskripsi masalah) yang komprehensif tentang bra, payudara, dan perempuan yg bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah tidak ada. Apa manfaat dan fungsi bra bagi perempuan?
Apa makna dan fungsi payudara bagi perempuan, anak, kehidupan dan kemanusiaan? Pengorbanan dan perjuangan macam apa yang sudah dibaktikan perempuan untuk keberlangsungan dunia ini dengan payudaranya? Rasanya pertanyaan ini tidak terpikir. Jadi, memahami masalahnya saja sudah gagal.
2. Pengalaman personal yang subyektif
Hal ini menjadi alasan mereka sehingga menghukumi sesuatu yang general tanpa ada tafshil (penjelasan yang rinci menyangkut beragam keadaan dan hukumnya). Ini generalisasi yang tidak dapat dibenarkan, dan dipastikan melahirkan masalah dan kontroversi.
Fikih sangat familiar dengan tafshil ahkam. Untuk hukum yang sifatnya umum saja biasa ada perbedaan hukum dan pengecualian (mustatsnayat) tergantung keadaan, situasi, waktu dan ruang. Apalagi yang khusus.
Jadi, pengharaman pemakaian bra secara umum berdasarkan persepsi subyektif orang tertentu tidak mencerminkan cara berpikir yang fiqhi.
3. Tidak didengar pembuat hukum
Perempuan tidak didengar dan diperhatikan suara dan pengalamannya oleh pembuat hukum. Padahal perempuan yang menjadi sasaran hukum.
Pembuat hukum sendiri tidak pernah mengalami dan merasakan apa yang dialami dan dirasakan perempuan saat mengenakan atau tidak mengenakan bra. Jadi, ada proses dan unsur penting dalam istimbath hukum yang ditinggalkan.
Fatwa bukan pandangan hukum di ruang hampa. Cara pandang orang yang berfatwa jelas berpengaruh terhadap fatwanya. Dalam soal pengharaman bra ini fatwa yang bermasalah itu lahir karena ada cara pandang yang bermasalah di balik fatwa itu.
Cara pandang bermasalah itu adalah :
1. Perempuan dianggap hanya sebagai makhluk fisik, obyek seksual, sumber fitnah
Akibat dari cara pandang ini adalah jika ada laki-laki yang karena pikirannya sendiri kotor, maka yang dibebani hukum dan disalahkan adalah perempuan. Dalam kasus bra karena perempuan dianggap obyek seksual dan makhluk fisik penebar fitnah, maka perempuan yang diharamkan memakai bra. Bukan laki2nya yang diberi fatwa agar mampu mengendalikan pikiran ngeresnya.
Kalau cara pandang ini terus dipelihara tidak mustahil ada fatwa perempuan hamil haram dilihat oleh lelaki yang bukan mahramnya karena bisa menimbulkan pikiran tentang proses menuju kehamilan itu. Aneh sekali, bukan ?
Maka, yang harus diubah adalah cara pandang tentang perempuan yang salah. Bukan malah menyalahkan dan memasalahkan perempuan yang tidak bersalah dan tidak bermasalah.
2. Suara dan pengalaman perempuan yang khas karena kekhasan biologisnya dianggap tidak penting bahkan tidak ada. Sehingga kemaslahatan dirumuskan secara sepihak (oleh laki-laki), tanpa melibatkan pihak yang terkena taklif (perempuan).
Akibatnya, pendapat hukum yang dihasilkan jauh dari kemaslahatan dan keadilan bagi perempuan. Wallahua’lam.
Tafakkur Badriyah Fayumi.
Sumber :