Bonnie: Bendung Radikalisme Melalui Praktek Strategi HOS Tjokroaminoto

 Bonnie: Bendung Radikalisme Melalui Praktek Strategi HOS Tjokroaminoto

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Sejarawan Bonnie Triyana, saat diskusi publik dengan tema ‘Membedah Pemikiran HOS Tjokroaminoto: Islam, Politik, dan Negara’ di kampus Universitas Cokroaminoto Yogyakarta, Sabtu (26/10/2019) sore, menyatakan bahwa melalui pemikiran HOS Tjokroaminoto bisa dipraktikkan untuk membendung radikaisme berbasis agama.

Tjokroaminoto, katanya, yang dijuluki sang ‘Indonesia’ karena menjadi guru para founding father bangsa dan menyatukan berbagai perbedaan lewat Sarekat Islam. Hal itu bisa menjadi rujukan penanganan radikalisme saat ini.

“Tjokroaminoto, saat itu mengelola perbedaan, sangat bisa dicontoh, terutama ketika ada yang mencoba bermain politik identitas mendapat hukuman yang tegas,” ujarnya seperti yang diterima HIDAYATUNA.COM dari laman Tempo.co, Minggu (27/10/2019).

Selain itu, di sela-sela diskusi tersebut, ia menceritakan Presiden Sukarno yang kala itu telah menegaskan pernyataan dari bangsa, oleh bangsa, dan untuk bangsa. Pernyataan itu, lebih lanjut, seharusnya membuat statistik agama yang membagi mayoritas-minoritas tak relevan lagi.

Membendung radikalisme agama melalui pemikiran-pemikiran Tjokroaminoto juga perlu menggandeng organisasi muslim tradisional terbesar seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.

“Menggandeng yang dimaksudnya bukan dalam bentuk politik, misalnya memberi jabatan tertentu di pemerintahan. Sedangkan menggandeng organisasi Islam tradisional itu untuk menjaga dan merawat keberagaman, mereduksi potensi konflik, dan memoderasi mereka yang punya tafsir lain terhadap pemahaman agama,” paparnya.

Di masa organisasi awal, seperti lahirnya Sarekat Islam (SI) yang didirikan Hadji Oemar Said atau HOS Tjokroaminoto pada 1912, menurutnya, gerakan radikalisme muncul dari sayap kiri dalam organisasi itu.

Dengan demikian, pemerintah Belanda saat itu begitu takut dan mencoba meredam radikalisasi Sarekat Islam. Namun, radikalisasi yang muncul di era Tjokroaminoto itu bukan isu agama. melainkan keadilan, penindasan, juga kemerdekaan.

“Saat itu, masa Sarekat Islam, Islam menjadi pengikat solidaritas untuk melawan kolonialisme, semua yang beda, termasuk mereka yang beda agama, bisa masuk Sarekat Islam.” jelasnya.

Di sisi lain, Sarekat Islam bisa dimasuki orang-orang berhaluan kiri, seperti Henk Sneevliet, tokoh Belanda pendiri organisasi ISDV yang menjadi cikal bakal lahirnya PKI. Berbeda dengan saat ini, radikalisme muncul dari satu kelompok berdasarkan agama.

“Konsep radikalisme dulu dan sekarang sudah berbeda,” tegasnya.

Radikalisasi di masa Tjokroaminoto, tegasnya, masih memiliki konteks dan menggerakkan berbagai orang apapun latar belakang suku, agama, dan etnisnya. Sedangkan radikalisasi saat ini mengarah pada keimanan sehingga yang tak satu iman pun ditolak.

Radikalisasi itu semakin dipicu pula dengan peristiwa serangan 11 September 2001 atau dikenal 9/11 di New York, Amerika Serikat. Ia juga tak menampik sejumlah survei yang dirilis lembaga seperti Setara Institute dan Wahid Institute yang menyebut, radikalisme sudah merasuki pemikiran jutaan warga Indonesia.

Sampai saat ini, warisan terbaik Tjokroaminoto adalah bisa menjadikan Sarekat Islam sebagai wadah bersama dan memberinya kebebasan sesuai aturan bersama dengan tanggung jawab.

“Sekarang aturan bersama yang sudah disepakati itu, ya Pancasila dan UUD 1945. Jika ada yang melanggar kesepakatan bersama itu negara seharusnya tak ragu menegakkan hukum. Saya tak ingin mempermasalahkan Menteri Agama adalah tokoh agama atau tokoh militer. Yang lebih prioritas adalah menekan radikalisme saat ini dan bagaimana pemerintah menjaga aturan bersama itu secara konsekuen,” tukasnya.

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *