Bolehkah Saya Menafsirkan Al-Quran?
Seorang muslim yang bernama Bambang Irawan asal Kota Palembang mengajukan suatu pertanyaan kepada Guru Besar Ilmu Al-Qu’an Prof. Dr. KH. Quraisy Shihab sebagai berikut; “Menurut Bapak, apakah saya boleh menafsirkan Al-Quran, dan tafsiran saya itu membuat diri saya lebih yakin kepada Al-Quran?”
Dalam bukunya yang berjudul “1001 soal Keislaman Yang Patut Anda Ketahui” Prof. Dr. KH. Quraisy Shihab menjawab pertanyaan tersebut dimulai prolog bahwa setiap ilmu, termasuk ilmu Al-Quran, mensyaratkan adanya kemampuan tertentu untuk menanganinya. Kita tidak dibenarkan mengobati seseorang jika kita tidak memiliki kemampuan dalam bidang kedokteran atau pengobatan.
Uraian saya (Prof. Shibab) tentang astronomi, misalnya, kemungkinan besar keliru, karena saya bukan ahli dalam bidang itu, keculai jika uraian tersebut saya kutip dari ahlinya. Nah, jika kita memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh para ulama tafsir –diantaranya memiliki pengetahuan tentang Bahasa Al-Quran, kaidah-kaidah keagamaan, metodologi penafsiran, pengetahuan tentang materi yang dibicarakan oleh Al-Quran dan sebagainya—maka tidak ada halangan bagi kita untuk menafsirakan Al-Quran. Akan tetapi jika syarat-syarat itu tidak kita penuhi, maka kita akan terancam dengan sabda Nabi, “Barang siapa menafsirkan Al-Quran dengan nalarnya (tanpa memenuhi persyaratan), maka dia boleh mengambil tempatnya di neraka.” Jiak kita tidak memenuhi persyaratan itu, dan kita ingin berbicara tentang tafsir, sangat dianjurkan agar kita membaca keterangan para penafsir, kemudian mengemukakannya sebagai pendapat mereka, dan bukan pendapat pribadi kita. Yang demikian ini dapat menguatkan iman kita.