Bolehkah Perempuan Bekerja Sebagai Hakim?
Perkembangan dunia berjalan begitu cepat dengan problematika yang terjadi. Aturan-aturan dibuat untuk menjadikan semua berjalan sesuai koridor, lembaga pengadilan didirikan untuk menjamin keadilan. Hakim-hakim diseleksi dengan berbagai syarat dan ketentuan agar dapat menjadi pemutus dan memenuhi akan kebutuhan rasa keadilan. Namun, dibalik semua itu ada pertanyaan yang sering muncul dalam masyarakat “apakah perempuan boleh menjadi hakim?”.
Jika pertanyaan di atas dijawab dalam dalam konteks kebangsaan di Indonesia sudah jelas jawabannya bahwa hakim perempuan bukanlah sebuah masalah jka memenuhi syarat dan ketentuan. Bahkan sekarang sudah cukup banyak perempuan yang berprofesi sebagai hakim. Di beberapa negara Timur tengah juga sudah membolehkan perempuan menjadi hakim sejak sebelum tahun 80an diantaranya Sudan, Maroko Tunisaia, Lebanon, Yaman dan Suriah.
Lantas bagaimana menurut pandangan fikih mengenai hakim perempuan?. Para ulama menaruh perhatian yang khusus mengenai profesi hakim sehingga menetapkan beberapa syarat diantaranya Independensi, kematangan, kemampuan menalar dan keselamatan indra yang vital dalam bekerja (penglihatan, pendengan dan pembicaraan). Ulama berbeda pendapat ketika menginjak persoalan jenis kelamin, kemampuan ijtihad dan ‘adalah (sejenis kesalehan) sebagaimana yang diungkapan oleh Syekh Wahbah Az-Zuhayli dalam kitan Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh.
اتفق أئمة المذاهب على أن القاضي يشترط فيه أن يكون عاقلاً بالغاً حراً مسلماً سميعاً بصيراً ناطقاً، واختلفوا في اشتراط العدالة، والذكورة، والاجتهاد
Artinya: “Imam-imam mazhab sepakat bahwa hakim disyaratkan berakal, baligh, merdeka, muslim, memiliki pendengaran, penglihatan, dan percakapan yang baik. Tetapi mereka berbeda pendapat perihal syarat ‘adalah’ (sejenis kesalehan), jenis kelamin laki-laki, dan kemampuan ijtihad”.
Ulama Mazhab Syafi’i dan Hanbali mensyaratkan seorang hakim haruslah laki-laki. Sedangkan Mazhab Hanafi memeberikan ruang terhadap perempuan untuk menjadi hakim namun hanya terbatas pada kasus perdata dan tidak memperbolehkan menangani kasus pidana.
Beberbeda dengan pendapat-pendapat di atas Ibnu Jarir Ath-Thabari justru berpendapat bahwa perempuan boleh menjadi hakim dan memiliki kedudukan sama dengan laki-laki. Beliau menyandarlkan logikanya terhadap pendapat ualam yang sepakat memperbolehkan perempuan menjadi mufti.
وقال ابن جرير الطبري: يجوز أن تكون المرأة حاكماً على الإطلاق في كل شيء، لأنه يجوز أن تكون مفتية فيجوز أن تكون قاضية
Artinya: “Ibnu Jarir At-Thabari mengatakan, perempuan boleh menjadi hakim secara mutlak ata kasus apa saja dengan logika bahwa sebagaimana kebolehan menjadi ahli fatwa atau mufti, perempuan juga boleh menjadi hakim”.
Pendapat ini juga dinukil dan diadopsi oleh Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayat Al Mujtahid. Mengenai hal ini, jika ditilik tidak ada satu pun ayat dalam Al-Qur’an maupun hadits yang secara tegas melarang perempuan menjadi hakim. Bahkan secara historis, Ibnu Jarir menyebutkan jika pernah terjadi pengangkatan seorang perempuan sebagai hakim pada masa Umar bin Khathab, yaitu Al Syifa dari suku al Syuq.
Sahabat perempuan juga pernah memerankan fungsi sebagai rujukan dalam hukum, layaknya seorang hakim. Di antaranya ialah Aisyah RA, Ummu Salamah, Shafiyah, dan juga Ummu Habibah. Selain Ath-Thabari, Ibnu Hazm juga memperbolehkan kaum hawa menjadi hakim. Selain Ath-Thabari, Ibnu Hazm dan Imam Al Ghazali yang digelari Hujjatul Islam memperbolehkan perempuan menjadi hakim.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa peluang perempuan untuk menjadi hakim sangat terbuka selama memenuhi syarat dan memiliki kompetensi.
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Artinya: “Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.(QS. Al-Hujurat: 13)
Sumber : Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Beirut, Darul Fikr: 1985 M/1405 H], cetakan kedua, juz VI, halaman 483.