Bolehkah Menunda Pembagian Waris?

 Bolehkah Menunda Pembagian Waris?

Bolehkah Menunda Pembagian Waris? (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Di antara salah persepsi yang terlanjur berkembang di tengah umat Islam adalah logika keliru yang menyangka bahwa bagi waris itu harus dengan cara menjual aset dulu, baru uangnya dibagi-bagi.

Itu keliru pangkat dua, sayangnya kekeliruan ini tidak segera dilurus, nalah terus menerus dibiarkan saja, bahkan banyak orang alim yang mendiamkan saja.

Padahal harta dalam bentuk aset-aset, entah itu rumah, tanah, kebun, sawah, kendaraan dan lainnya, sangat mungkin untuk dimiliki secara bersama.

Istilahnya aset atau harta bersama. Bahkan nyaris hampir semua perusahaan itu dimiliki secara bersama.

Jarang ada perusahaan yang sahamnya dimiliki satu saja sendirian.

Maka rumah atau tanah milik orang tua kita yang wafat, cara membagi warisnya sangat sederhana, yaitu pembagian saham kepemilikan yang didasarkan atas aturan hukum waris Islam.

Istri misalnya dapat jatah 1/8, maka istri dapat saham yang nilainya 1/8 dari total rumah milik almarhum.

Rumahnya tidak perlu dijual dulu, cukup diberikan saham saja atas rumah itu.
Sisanya anak-anak secara bersama mendapat 7/8. Misalnya anaknya hanya satu laki-laki, maka dia mendapat saham kepemilikan rumah itu senilai 7/8 bagian.
Rumah tidak perlu dijual, cukup dimiliki bersama oleh istri dan anak dengan komposisi saham 1 dan 7.

Lalu siapa yang menempati?

Bebas, terserah kesepakatan kedua belah pihak. Boleh saja di anak memberi izin kepada ibunya untuk menempati rumah itu.

Toh si ibu punya 1/8 saham kepemilikan atas rumah itu juga. Atau bisa juga ibu dan anak sama-sama menempati rumah itu.

Sekarang rumah itu sudah jadi milik mereka. Bukan milik almarhum, juga bukan milik ibu sendiri.

Sebab kepemilikan rumah itu sudah dibagi sesuai aturan waris dalam bentuk saham.

Maka anak tidak bisa seenaknya menjual rumah itu, begitu juga ibu pun demikian. Si ibu tidak boleh menjual rumah itu seenaknya.

Sebab secara teknis, si ibu bukan pemilik tunggal atas rumah itu. Beliau hanya punya 1/8 saham kepemilikan.

Sisanya sudah jadi milik anaknya yaitu senilai 7/8 saham.

Lalu kalau misalnya ada pihak yang ingin membeli rumah itu, si anak dan ibunya duduk bareng.

Bukan untuk bagi waris, tapi untuk rapat komisaris pemilik saham atas rumah. Tentu pemilik saham mayoritas punya hak yang lebih besar.

Adapun bagi waris, sudah tidak perlu lagi dipikirkan. Karena bagi warisnya sudah diselesaikan sejak hari dimana ayah mereka wafat.

Sesimpel itulah bagi waris dalam Islam. Tidak perlu ribut masuk pengadilan segala. []

Ahmad Sarwat

Pendiri Rumah Fiqih Indonesia

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *