Bolehkah Mendirikan Sholat Jum’at Kurang dari 40 Orang?
S. Bagaimana jika di sebuah desa yang penduduknya berkewajiban melakukan shalat Jum’at tetapi kurang dari 40 orang atau lebih dari 40 orang tetapi yang dapat membaca al-Fatihah tidak lebih dari 10 orang, apakah mereka wajib juga mendirikan Jum’at? Dan apabila mendirikan Jum’at apakah boleh bertaqlid kepada Imam Abu Hanifah yang memperbolehkan mendirikan jum’at kurang dari 40 orang?
J. Apabila tidak dapatnya membaca al-Fatihah itu tidak karena malas belajar (taqshir) maka wajib mendirikan shalat Jum’at dan apabila jumlah mereka kurang dari 40 orang, maka mereka diperbolehkan bertaqlid kepada Imam Abu Hanifah dengan ketentuan harus menunaikan rukun dan syarat menurut ketentuan Abu Hanifah, tetapi yang lebih utama supaya bertaqlid kepada Imam Muzani dari golongan Madzhab Syafi’i. Seperti yang diterangkan dalam kitab:
- Al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyah
وَهُوَ أَنَّ الأُمِّيِّينَ إِنْ قَصَّروا أَوْ قَصُرَ بَعْضِهِمْ فِي التَّعَلُّمِ لَمْ تَصِحْ الجُمُعَةَ وَإِلَّا صَحَّتْ فَيَلْزَمُهُمْ إِقامَتُها.
Bahwa orang yang buta huruf (al-Qur’an), jika dikarenakan teledor dari belajar maka shalat Jum’at tidak sah, namun jika bukan karena faktor keteledoran, maka shalat Jum’at sah dan mereka harus melaksanakannya.
- I’anah al-Thalibin
فَلَا يُنَافَى أَنَّ قَوْلَهُ قَوْلَيْنِ قَدِيمَيْنِ فِي العَدَدِ أَيْضًا أَحَدُهُمَا أَقَلُّهُمْ أَرْبَعَةٌ . . . ثَانِي القَوْلَيْنِ اثْنا عَشَرَ وَهَلْ يَجُوزُ تَقْليدُ أَحَدِ هَذَيْنَ القَوْلَيْنِ الجَوابِ نَعَمْ فَإِنَّهُ قَوْلٌ لِلْإِمَامِ نَصْرِهِ بَعْضُ أَصْحابِهِ وَرَجَّحَهُ. أهـ
Maka pendapatnya tidak bertentangan dengan dua qaul qadim dalam bilangan. Yang pertama, jumlahnya paling sedikit empat orang sedangkan… yang kedua, dua belas orang. Bolehkah mengikuti salah satu dari dua pendapat tersebut? Jawabannya boleh, karena merupakan pendapat imam yang telah dibela dan diunggulkan oleh para pengikutnya.
Sumber:
- Keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama Ke-4 Di Semarang Pada Tanggal 14 Raibuts Tsani 1349 H./ 19 September 1929 M
- Al-Bakri Muhammad Syatha al-Dimyathi, I’anah al-Thalibin, (Semarang: Thaha Putra, t,th.), Jilid II, h. 58-59
- Ibn Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyah, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), Jilid I, h. 273