Bolehkah Memberikan Zakat Fitrah kepada Keluarga?

 Bolehkah Memberikan Zakat Fitrah kepada Keluarga?

Bolehkah Mengeluarkan Zakat Harta di Bulan Sya’ban? (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – Diwajibkannya zakat fitrah kepada umat Islam yang mampu ada hikmahnya. Di antaranya untuk membersihkan jiwa (tazkiyat al-nafsi) dari kesia-siaan (al-laghwi) dan ucapan-ucapan tidak baik (al-rafasu).

Zakat fitrah juga menjadi sarana menjalin kepedulian dengan sesama, terutama masyarakat kurang mampu (fakir dan miskin). Namun beberapa hal yang perlu diketahui dan diperhatikan oleh orang yang zakat (muzakki) adalah kepada siapa zakat fitrah itu didistribusikan, agar tujuan zakat bisa tercapai.

Dalam Alquran, secara gamblang Allah telah memerinci siapa-siapa yang berhak menerima zakat (mustahiqqun).

۞إِنَّمَا ٱلصَّدَقَٰتُ لِلۡفُقَرَآءِ وَٱلۡمَسَٰكِينِ وَٱلۡعَٰمِلِينَ عَلَيۡهَا وَٱلۡمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمۡ وَفِي ٱلرِّقَابِ وَٱلۡغَٰرِمِينَ وَفِي سَبِيلِ ٱللَّهِ وَٱبۡنِ ٱلسَّبِيلِۖ فَرِيضَةٗ مِّنَ ٱللَّهِۗ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٞ ٦٠

Artinya:

Zakat-zakat itu sesungguhnya hanya untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, amilin (para pengurus zakat), para mualaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak. Orang-orang yang berhutang untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Taubah:60)

Lalu bagaimana hukumnya jika zakat-zakat fitrah itu didistribusikan kepada keluarga? Begini penjelasan ulama.

Distribusi Zakat Fitrah Kepada Orangtua dan Anak

Dalam literatur-literatur fikih Syafi’iyyah, hukum mendistribusikan zakat fitrah kepada pihak keluarga diperinci sebagai berikut:

Jika keluarga yang dimaksud adalah orang-orang yang wajib dinafkahi (man talzamuhu nafaqatuhu) oleh muzakki (orang yang berzakat). Seperti orang tua, kakek/nenek, anak, cucu, dan istri, maka muzakki tidak dibolehkan mendistribusikan zakatnya kepada mereka.

Prinsip kewajiban memberi nafkah misalnya orang tua muzakki sudah sangat tua. Tidak mampu untuk bekerja lagi, atau anaknya masih kecil atau sudah besar namun belum/tidak mampu bekerja.

Alasannya karena zakat yang didistribusikan kepada keluarga yang wajib dinafkahi. Manfaatnya akan kembali kepada pihak yang membayar zakat, yaitu tercegahnya kewajiban nafkah si muzakki kepada orang tua atau anaknya. Jadi, seolah-olah muzakki menzakati dirinya sendiri. Karena itu, zakat kepada keluarga dilarang.

Dalam kitab al-Fiqh al-Manhaji ala Mazhab al-Imam al-Syafi’i dijelaskan:

 فَلاَ يَجُوْزُ دَفْعُ الزَّكَاةِ إِلَى الْأَبِّ وَالْأُمِّ أَوِ الْجَدِّ وَالْجَدَّةِ مَهْمَا عَلَوْا، لِأَنَّ نَفَقَتَهُمْ وَاجِبَةٌ عَلَى الْفُرُوْعِ. وَكَذلِكَ لاَ يَجُوْزُ دَفْعُ الزَّكَاةِ إِلَى الْأَبْنَاءِ وَالْبَنَاتِ وَفُرُوْعِهِمْ إِنْ كَانُوْا صِغَارًا، أَوْ كِبَارًا مَجَانِيْنَ أَوْ مَرْضَي مُزْمِنِيْنَ، لِأَنَّ نَفَقَةَ هؤُلاَءِ وَاجِبَةٌ عَلَى أبَائِهِمْ. وَأَيْضًا لاَ تُعْطَى الزَّكَاةُ لِلزَّوْجَةِ، لِأَنَّ نَفَقَتَهَا وَاجِبَةٌ عَلَى زَوْجِهَا.

Artinya :

Tidak diperbolehkan mendistribusikan zakat kepada ayah, ibu, kakek, dan nenek hingga ke atas-atasnya. Sebab nafkah mereka menjadi tanggungan anak. Begitu juga tidak diperbolehkan zakat kepada anak laki-laki dan anak perempuan hingga ke bawah-bawahnya, ketika mereka masih kecil, atau sudah dewasa tetapi mengalami keterbelakangan mental atau menderita penyakit kronis atau lumpuh (sehingga tidak mampu bekerja.pen). Dalam kondisi demikian, orangtua berkewajiban menanggung nafkah mereka. Zakat juga tidak boleh didistribusikan kepada istri karena nafkah istri adalah tanggungan suami. (Musthfa Bugha dkk., al-Fiqh al-Manhaji ala mazhab al-Imam al-Syafi’i, juz 2, hlm. 65)

Hanya saja ketidakbolehan distribusi zakat kepada keluarga yang wajib dinafkahi ketika mengatasnamakan mereka sebagai bagian dari fakir miskin. Namun jika status mereka adalah gharim (orang yang punya hutang) atau orang yang berperang membela agama Allah, maka memberikan zakat fitrah kepada mereka diperbolehkan.

هذَا وَمِمَا يَنْبَغِي أَنْ يُنْتَبَهَ إِلَيْهِ أَنَّ هؤُلاَءِ لاَ يُعْطَوْنَ مِنَ الزَّكَاةِ بِوَصْفِ الْمَسْكَنَةِ أَوِ الْفَقْرِ. أَمَّا لَوْ كَانَ أَحَدُهُمْ مِنْ صِنْفٍ غَيْرِ صِنْفِ الْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِيْنِ، كَمَا إِذَا كَانَ غَارِمًا أَوْ فِي سَبِيْلِ اللهِ، فَإِنَّهُ يَجُوْزُ لِمَنْ تَجِبُ نَفَقَتُهُ عَلَيْهِ أَنْ يُعْطِيَهُ زَكَاةَ مَالِهِ لِذَاكَ الْوَصْفِ.

Termasuk hal yang sebaiknya diperhatikan adalah bahwa mereka (keluarga muzakki) tidak boleh menerima zakat atas nama miskin atau fakir. Namun jika salah satu dari mereka tidak berstatus fakir dan miskin, misalnya berstatus gharim (orang yang berhutang) atau sabilillah (berperang membela agama Allah). Maka bagi muzakki diperbolehkan mendistribusikan zakatnya kepada keluarga yang wajib dinafkahi atas nama gharim atau sabilillah. (Musthfa Bugha dkk., al-Fiqh al-Manhaji ala mazhab al-Imam al-Syafi’i, juz 2, hlm. 65)

Amil & Mukatab Boleh Menerima Zakat

Imam al-Nawawi menambahkan amil (pengurus zakat) dan mukatab (budak yang disyaratkan majikannya melakukan pembayaran agar bisa merdeka), dan mengecualikan mu’allaf. Artinya, meski amil dan mukatab bagian dari keluarga yang wajib dinafkahi, muzakki boleh mendistribusikan zakat fitrahnya kepada mereka atas nama amil dan mukatab.

Namun jika status mereka adalah muallaf, maka muzakki tidak diperbolehkan memberikan zakatnya.

قَالَ أَصْحَابُنُا: وَيَجُوْزُ أَنْ يُدْفَعَ إِلَى وَلَدِهِ وَوَالِدِهِ مِنْ سَهْمِ الْعَامِلِيْنَ وَالْمُكَاتَبِيْنَ وَالْغَارِمِيْنَ وَالْغُزَاةِ إِذَا كَانَا بِهذِهِ الصِّفَةِ، وَلاَ يَجُوْزُ أَنْ يُدْفَعَ إِلَيْهِ مِنْ سَهْمِ الْمُؤَلَّفَةِ إِنْ كَانَ مِمَّنْ يَلْزَمُهُ نَفَقَتُهُ لِإَنَّ نَفْعَهُ يَعُوْدُ إِلَيْهِ وَهُوَ اِسْقَاطُ النَّفَقَةِ.

Ashab kami (mazhab Syafi’i) berpendapat bahwa zakat boleh didistribusikan kepada anak dan orangtua. Dengan syarat, status mereka adalah amil, mukatab, gharim (orang yang punya hutang) dan orang yang berperang karena membela agama Allah. Namun jika status mereka adalah mu’allaf, sementara mereka termasuk orang yang wajib dinafkahi oleh muzakki. Maka mereka tidak boleh menerima zakat karena manfaatnya akan kembali kepada muzakki sendiri, yaitu gugurnya nafkah. (Imam al-Nawawi, al-Majmu’, 7, hlm. 274)

Mendistribusikan Zakat Kepada Kakak/Adik Kandung atau Mertua/Menantu

Sedangkan ketika keluarga yang menerima zakat bukan termasuk yang wajib dinafkahi oleh muzakki (orang yang mengeluarkan zakat). Seperti saudara laki-laki atau perempuan (kakak/adik kandung), paman atau bibi dari keluarga ayah, paman atau bibi dari keluarga ibu, dan anak-anak mereka.

Sementara status mereka adalah fakir atau miskin atau mustahiq yang lain, maka muzakki boleh mendistribusikan zakat fitrahnya kepada mereka.

وَإِذَا كَانَ لِلْمَالِكِ الَّذِي وَجَبَتْ فِي مَالِهِ الزَّكَاةُ أَقَارِبُ لاَ تَجِبُ عَلَيْهِ نَفَقَتُهُمْ، كَالْإِخْوَةَ وَالْأَخَوَاتِ وَالْأَعْمَامِ وَالْعَمَّاتِ وَالْأَخْوَالِ وَالْخَالاَتِ وَأَبْنَائِهِمْ وَغَيْرِهِمْ، وَكَانُوْا فُقَرَاءَ أَوْ مَسَاكِيْنَ، أَوْ غَيْرَهُمْ مِنْ أَصْنَافِ الْمُسْتَحِقِّيْنَ لِلزَّكَاةِ، جَازَ صَرْفُ الزَّكَاةِ إِلَيْهِمْ، وَكَانُوْا هُمْ أَوْلَى مِنْ غَيْرِهِمْ.

Artinya :

Ketika pemilik harta yang wajib dizakati memiliki keluarga yang tidak wajib dinafkahi. Seperti saudara laki-laki, saudara perempuan, paman atau bibi dari keluarga ayah, paman atau bibi dari keluarga ibu dan anak-anak mereka atau yang lain. Sementara status mereka adalah fakir dan miskin atau golongan penerima zakat yang lain, maka ia boleh mendistribusikan zakatnya kepada mereka. Bahkan mereka lebih berhak dibanding yang lain. (Musthfa Bugha dkk., al-Fiqh al-Manhaji ala mazhab al-Imam al-Syafi’i, juz 2, hlm. 66)

Termasuk keluarga yang tidak wajib dinafkahi oleh muzakki adalah mertua (abbun au ummu al-zaujah) dan menantu (zaujaut al-ibni/zauj al-binti). Karena itu, mereka boleh menerima zakat dari muzakki jika mereka termasuk dari delapan (8) golongan penerima zakat.

Lalu siapa yang wajib menanggung nafkah mereka? Mertua wajib dinafkahi oleh anak-anak kandungnya. Sedangkan yang wajib menanggung nafkah menantu adalah orangtua kandung mereka.

Ibnu al-Mundzir al-Naisaburi dan Abu Bakar mengatakan:

أَجْمَعَ أَهْلُ الْعِلْمِ عَلَى أَنَّ نَفَقَةَ الْوَالِدَيْنِ اَلْفَقِيْرَيْنِ اللَّذَيْنِ لاَ كَسْبَ لَهُمَا وَلاَ مَالَ وَاجِبَةٌ فِى مَالِ الْوَلَدِ. وَنَفَقَةُ الْوَلَدِ تَجِبُ فِي مَالِ الْوَالِدِ مَا دَامُوْا صِغَارًا لاَ مَالَ لَهُمْ وَلاَ كَسْبَ.

Orang yang ahli ilmu (ulama) telah sepakat bahwa nafkah orang tua yang tidak mampu karena tidak memiliki pekerjaan dan harta, dibebankan kepada anaknya. Dan nafkah kepada anak dibebankan kepada orang tua, ketika mereka masih kecil-kecil dan belum memiliki harta dan pekerjaan. (Ibnu al-Munzhir, al-Iqna’, hlm. 239)

Mendistribusikan Zakat Kepada Anak Angkat atau Anak Tiri

Anak angkat (al-walad al-mutabanna) statusnya adalah orang lain (bukan mahram), dan tidak bisa berubah menjadi anak kandung dari orang tua yang mengangkatnya. Kecuali jika sejak awal anak angkat memiliki hubungan mahram dengan orang tua angkatnya.

Dalam hal waris, anak angkat tidak bisa mewarisi kekayaan orang tua angkatnya dan sebaliknya. Karena itu, orang tua angkat tidak punya kewajiban menanggung nafkah anak angkatnya, dan sebaliknya, anak angkat tidak punya kewajiban menafkahi orang tua angkatnya.

Hukum anak angkat juga berlaku pada anak tiri. Meski anak tiri adalah mahram dari ayah tiri (ketika ayah tiri sudah menyetubuhi ibu dari anak tiri), namun mereka tidak bisa saling mewarisi. Oleh karena itu, nafkah anak tiri tidak menjadi tanggungan ayah tirinya.

Begitu juga sebaliknya, misalnya, jika keduanya tidak memiliki pekerjaan atau harta yang dapat mencukupi kebutuhan sehari-harinya. Prinsipnya adalah, ketika yang memberi nafkah bisa berstatus sebagai pewaris, maka ia punya kewajiban menafkahi.

Namun jika keduanya tidak bisa saling mewarisi, maka keduanya tidak punya kewajiban saling menafkahi. Wahbah al-Zuhaili mengatakan:

فَيَجِبُ أَنْ تُخْتَصَّ النَّفَقَةُ بِمَنْ تَجِبُ صِلَتُهُ وَبِمَنْ كَانَ وَارِثًا، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ وَارِثًا فَلاَ نَفَقَةَ لَهُ لِعَدَمِ الْقَرَابَةِ

Seseorang wajib menanggung nafkah (orang lain) jika ada hubungan (kekerabatan) dan bisa menjadi pewaris harta. Jika ia tidak bisa menjadi pewaris, maka ia tidak berkewajiban memberi nafkah, karena tidak ada hubungan kekerabatan. (Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz 7, hlm. 825)

Sementara penyebab orang bisa saling mewarisi ada tiga, yaitu kekerabatan (al-qarabah), pernikahan yang terjadi dengan akad yang sah (al-zaujiyyah) dan memerdekakan budak (al-wala’). Oleh karena itu, mendistribusikan zakat fitrah kepada mereka, diperbolehkan, karena mereka tidak termasuk keluarga yang wajib dinafkahi.  Wallahu a’lam

Abdul Wadud Kasful Humam

Dosen di STAI Al-Anwar Sarang-Rembang

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *