Bolehkah Membagi Harta Warisan dengan Cara Kekeluargaan?
Dalam Pasal 29 UU No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, ditegaskan bahwa kewarisan bagi umat Islam di seluruh Indonesia penyelesaiannya menjadi wewenang Peradilan Agama. Tentang hukum yang digunakan dalam menyelesaikan urusan warisan itu adalah hukum Islam tentang warisan atau yang disebut hukum warisan Islam.
Islam telah mengatur dengan jelas tentang siapa-siapa saja ahli waris yang berhak mendapatkan warisan beserta besarnya bagian masing-masing, begitupula dengan Kompilasi Hukum Islam sebagai hukum positif yang berlaku di Indonesia. Di dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 176 disebutkan bahwa pelaksanaan pembagian harta warisan antara anak laki-laki dan anak perempuan dengan perbandingan 2:1, anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat ½ bagian, bila dua orang atau lebih mereka bersama-sama mendapat 2/3 bagian, namun bilamana setiap pihak ahli waris secara rela membaginya secara kekeluargaan, bisa dibagi secara kekeluargaan atau secara damai sesuai dengan kesepakatan setiap pihak yang terkait.
Berbagai alasan mungkin mendorong seseorang untuk menggugurkan haknya. Misalnya, ia adalah seorang yang berhasil dalam kehidupan ekonominya bila dibandingkan dengan ahli waris yang lain. Dengan demikian secara sukarela ia memberikan haknya kepada pihak yang kurang berhasil kehidupan ekonominya. atau, ia menyadari bahwa yang paling banyak mengurus orang tuanya semasa hidupnya adalah salah seorang dari ahli waris yang ditinggalkan sehingga wajar jika ahli waris yang seorang itu dibagi lebih banyak dari harta peninggalan si mati.
Dalam pembagian warisan dapat terjadi bahwa bagian setiap ahli waris dalam kasus tertentu tidak sesuai dengan kebutuhan yang mendesak atau keinginan perorangan dari ahli waris sehingga dalam keadaan tertentu itu pelaksanaan hukum menurut apa adanya terlihat tidak tepat dan kurang dirasakan adil. Umpamanya ahli waris adalah seorang janda yang tidak mempunyai apa-apa selain dari peninggalan almarhum suaminya dan seorang saudara laki-laki dari saudara suaminya. Berdasarkan hukum yang berlaku, si janda hanya mendapat ¼ dan saudara mendapat selebihnya yaitu ¾.
Allah Swt menetapkan hukum secara umum tanpa melihat kepada pribadi tertentu, kasus tertentu atau suasana tertentu. Hukum itu pada awal pembentukannya ditentukan untuk semua, tanpa memandang kemungkinan yang akan timbul kemudian. Berkaitan dengan ketentuan yang pasti dalam pembagian warisan dan keinginan pihak tertentu dalam keadaan tertentu yang menuntut cara lain, memang, tidak ada dalil yang menjadi petunjuk bagi pengecualianya. Meskipun demikian, tuntutan keadilan dan kerelaan pihak-pihak yang bersangkutan akan dapat menyelesaikan persoalan. Penyelesaian dalam hal ini dapat terjadi dalam dua bentuk.
Pertama: penyelesaian dilakukan setelah selesai pembagian harta warisan. Artinya, setelah pembagian masing-masing ditentukan dan masing-masing telah menerima haknya, maka keseluruhan harta warisan digabung lagi, kemudian diadakan pembagian menurut kesepakatan bersama dengan keinginan masing-masing. Dengan cara begini setiap pihak menerima bagiannya sesuai dengan kebutuhannya, sedangkan hukum secara formal telah dilakukan. Walaupun cara tersebut secara materiil menyimpang dari pembagian yang ditentukan oleh syara’, namun secara formal telah selesai dijalankan sehingga telah memenuhi tuntutan syara’.
Kedua: penyelesaian berlaku sebelum pembagian warisan. Ini berarti adanya kesepakatan semua ahli waris untuk menempuh cara pembagian warisan di luar cara yang ditentukan oleh syara’. Dalam pengertian khusus kesepakatan seluruh ahli waris untuk keluarnya seseorang atau lebih dari ahli waris dari pembagian warisan dengan imbalan yang diambilkan dari kelompok harta warisan. Dapat juga berarti bahwa atas kesepakatan bersama, salah seorang ahli waris melepaskan haknya dari pembagian warisan dengan mengambil salah satu bentuk dari harta warisan.
Imam Malik adalah Imam Mazhab yang mengunakan dalil Maslahah Mursalah. Untuk menerapkan dalil ini, ia mengajukan tiga syarat yang dapat dipahami melalui definisi di ata, yaitu:
- Adanya persesuaian antara maslahat yang dipandang sebagai sumber dalil yang berdiri sendiri dengan tujuan-tujuan syari’at (maqashid as-syari’ah). Dengan adanya persyaratan ini, berarti maslahah tidak boleh menegasikan sumber dalil yang lain, atau bertentangan dengan dalil yang qot’iy.
- Maslahah itu harus masuk akal, mempunyai sifat-sifat yang sesuai dengan pemikiran yang rasional, di mana seandainya diajukan kepada kelompok rasional akan dapat diterima.
- Penggunaan dalil maslahah itu adalah dalam rangka menghilangkan kesulitan yang mesti terjadi. Dalam pengertian, seandainya maslahah yang dapat diterima akal itu tidak diambil, niscaya manusia akan mengalami kesulitan.
Sumber:
- Ushul Fiqih Karya Muhammad Abu Zahrah,
- Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer Karya Satria Efendi M. Zein
- Hukum Kewarisan Islam Karya Amir Syarifuddin