Bolehkah Memakai Uang Mahar Untuk Modal Usaha?
Hukum Islam mendudukkan perempuan sebagai makhluk terhormat dan mulia, maka diberikan hak untuk menerima mahar, bukan pihak yang sama-sama memberi mahar. Mahar merupakan salah satu bentuk hadiah yang diberikan seorang pria sebagai ungkapan kesetiaan cintanya kepada calon istrinya.
Ekualitas laki-laki dan perempuan bukan diimplementasikan dengan cara pemberian mahar. Karena mahar bukan lambang jual-beli, tetapi lambing penghormatan terhadap perempuan sekaligus sebagai lambang kewajiban tanggung jawab suami memberi nafkah kepada istri, selain lambang cinta kasih sayang suami terhadap istri, sebagaimana dikemukakan ulama Syafi’iyah
Uang mahar ialah uang yang diberikan oleh suami kepada istrinya akibat akad nikah diantara mereka. Mahar adalah salah satu syarat sahnya pernikahan, dan harus dibayarkan (walaupun sebagiannya dulu) sebelum seorang suami bersenang-senang dengan istrinya, sebagaimana Firman Allah swt Surat An-Nisa’ ayat 24:
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۖ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ ۚ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَٰلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ ۚ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً ۚ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
Artinya: “Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nisa’ : 24)
Pada prinsipnya, mahar itu harus bermanfaat, bukan sesuatu yang dipakai, dimiliki dan dimakan. Dalam hal ini Ibnu Rusyd mereduksikan mahar hanya kepada benda saja, ketika ia mengatakan bahwa mahar harus berupa sesuatu yang dapat ditukar dan ini jelas merujuk kepada sesuatu benda. Padahal, sesuatu yang bermanfaat itu tidak selalu dikaitkan dengan ukuran umum tetapi bersifat subjektif sehingga tidak selalu dikaitkan dengan benda. Dalam hal ini calon istrilah yang mempunyai hak menilai, dan hal ini sangat kondisional.
Mahar adalah mutlak milik istri sebagai ganti dari halalnya farjinya bagi si suami. Oleh karenanya, tidak ada seorang pun -termasuk suami- yang berhak mengambil sebagian dari mahar tersebut kecuali atas kerelaan si wanita.
Hikmah Diwajibkannya Mahar
- Untuk menghalalkan hubungan antara pria dan wanita, karena keduanya saling membutuhkan.
- Untuk memberi penghargaan terhadap wanita, dalam arti bukan sebagai alat tukar yang mengesankan pembelian.
- Untuk menjadi pegangan bagi istri bahwa perkawinan mereka telah diikat dengan perkawinan yang kuat, sehingga suami tidak mudah menceraikan istrinya sesukanya.
- Untuk kenangan dan pengikat kasih sayang antara suami istri.
- Menunujukkan pentingnya dan posisi akad, serta menghargai dan memuliakan perempuan.
Status mahar yang diberikan kembali sebagai modal usaha atau yang lainnya atas izin istri dan keridhaannya, memang diperbolehkan dan dianggap berkah, sesuai Firman Allah dalam surah An Nisa’ ayat ke 4:
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً ۚ فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (QS. An-Nisa’: 4)
Dalam menafsirkan hanii’an ada beberapa pendapat:
Pertama: sesuatu yang tidak perlu dikhawatirkan akibatnya.
Kedua: sesuatu yang mengakibatkan datangnya manfaat atau kesembuhan.
Ketiga: sesuatu yang tidak tercampuri dengan efek samping.
Sedangkan pengertian dari marii’an adalah suatu keadaan dimana makanan itu mudah dicerna dan dimanfaatkan oleh tubuh. Apa pun pengertiannya, mahar yg diberikan istri dengan sukarela tetap mengandung berkah karena berkah itu artinya ‘kebaikan yg banyak’. Dan semua penafsiran tadi tidak lepas dari adanya kebaikan khusus dalam sebagian mahar yang diberikan oleh sang istri secara sukarela kepada suaminya.
Bahkan ada sebuah atsar yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Abi Hatim dengan sanad yg dihasankan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar:
إِذَا اشْتَكَى أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَوْهِبْ مِنَ امْرَأَتِهِ مِنْ صَدَاقِهَا فَلْيَشْتَرِ بِهِ عَسَلًا ثُمَّ يَأْخُذُ مَاءَ السَّمَاءِ فَيُجْمَعُ هَنِيئًا مَرِيئًا شِفَاءً مُبَارَكًا
Artinya: “Kalau seseorang dari kalian sakit, maka mintalah kepada istrinya agar memberikan sebagian dari maharnya, lalu gunakan untuk membeli madu, kemudian campurkan dengan air hujan; sehingga jadilah ia ramuan yang hanii’an marii’an syifaa’an mubaarakan.”
Hanii’an marii’an adalah sifat bagi mahar, adapun syifaa’an (menyembuhkan) adalah sifat bagi madu, sedangkan mubaarakan (diberkahi) adalah sifat bagi air hujan.
Walaupun ayat ke-4 dari surah An Nisa’ tersebut menggunakan istilah ‘makanlah’, namun maknanya tidak terbatas pada penggunaan mahar untuk konsumsi saja, namun mencakup semua bentuk penggunaan. Sebagaimana larangan ‘memakan riba yang berlipat ganda’ tidak hanya berlaku bagi orang yang memungut uang riba untuk dimakan saja, namun meliputi segala macam penggunaan, baik sebagai makanan, pakaian, kendaraan atau manfaat lainnya.
Sumber:
- Kitab Fathul Baari Karya Ibnu Hajar Al ‘Asqalani
- Kitabnya Zaadul Masiir Karya Ibnul Jauzi
- Hukum Perdata Islam di Indonesia Karya Amiur Nuruddin & Azhari Akmal Tarigan
- Mahar Pernikahan Karya Nurjannah
- Hukum Perkawinan Islam Karya Mardani