Bolehkah Bertransaksi Memakai Paylater dalam Islam?
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Seiring dengan kemajuan teknologi, semakin maju pula teknologi transaksi hingga kegiatan jual beli. Jika dulu transaksi hanya bisa dilakukan secara tatap muka, kini bisa memakai paylater.
Sebuah teknologi finansial atau financial technology (fintech) yang menawarkan berbagai kemudahan dan bonus-bonus menggiurkan.
Namun, bagaimanakah hukum bertransaksi memakai paylater dalam Islam?
Sebelum membahas persoalan hukumnya, terlebih dahulu kita harus memahami ap aitu paylater dan bagaimana sistem kerjanya.
Paylater sendiri jika diartikan artinya adalah bayar nanti atau bayar tunda atau bayar nanti.
Sistema tau pola yang digunakan mirip dengan kartu kredit hanya berbeda di bagian dasarnya saja yang termasuk dalam teknologi informasi.
Lantas, pola transaksi paylater tersebut apakah diperbolehkan dalam syariat Islam? Bagaimana hukum memakai Paylater?
Terkait hukum memakai paylater ini terdapat setidaknya 4 pendapat sebagai berikut.
Pertama, pendapat yang mengharamkan transaksi paylater karena transaksi ini merupakan transaksi yang mengandung riba.
Riba pada transaksi ini berupa adanya unsur tambahan atau ziyadah yang disyaratkan di muka oleh pihak penyedia layanan paylater kepada konsumennya.
Pada dasarnya, paylater ini meupakan aplikasi atau layanan berbasis utang. Sampai di sini jika pihak penyedia paylater menetapkan syarat berupa tambahan manfaat dari jasa utang yang diberikan kepada konsumen maka ia termasuk dalam riba qardli.
Karena seungguhnya hukum asal dari utang adalah kembalinya harta atau manfaat yang diutangkan tanpa tambahan.
Sehingga dalam transaksi paylater yang mengandung tambahan dari harta yang diutangkan, menjadi sebuah bentuk riba yang mana diharamkan oleh syariat.
Kedua, utangan yang diberikan oleh penyedia paylater tersebut tidak termasuk dalam riba yang diharamkan karena tambahan tersebut hanya bisa didapatkan melalui aplikasi.
Sehingga tambahan tersebut termasuk kepada akad ijarah atau biaya sewa jasa aplikasi. Pendapat ini bersandar pada qiyas berikut ini:
ولو أقرضه تسعين دينارا بمائة عددا والوزن واحد وكانت لا تنفق في مكان إلا بالوزن جاز وإن كانت تنفق برؤوسها فلا وذلك زيادة لأن التسعين من المائة تقوم مقام التسعين التي أقرضه إياها ويستفضل عشرة
Artinya:
“Seseorang memberi utang orang lain sebesar 90 dinar, namun dihitung 100,
Karena (harus melalui jasa) timbangan yang satu, sementara tidak ada jalan lain melainkan harus lewat penimbangan itu, maka hukum utangan (terima 90 dihitung 100) itu adalah boleh.
Adapun bila 100 itu hanya sekedar digenapkan pada pokok utang (tanpa perantara jasa timbangan) maka tidak boleh sebab hal itu termasuk tambahan (yang haram).
Karena bagaimanapun juga, nilai 90 ke 100 adalah menempati maqam 90, sementara 10 lainnya adalah tambahan yang dipinta.”
Kedudukan aplikasi di-qiyas-kan dengan timbangan yang mau tidak mau harus dilalui.
Di mana keberadaan timbangan tersebut dihitung sebagai jasa yang disewa dengan besaran upah yang diketahui.
Lain soal jika pinjaman tersebut tidak dilakukan via aplikasi, maka tambahan yang muncul dari transaksi tersebut dapat tergolong dalam tambahan yang diharamkan.
Ketiga, pendapat yang mengatakan bahwa transaksi memakai paylater didudukkan sebagai akad ba’i tawarruq.
Dalam Kitab Fathu al-Qadir dijelaskan bahwa contoh dari ba’i tawarruq adalah sebagai berikut:
Artinya:
“Seperti orang yang membutuhkan utangan, namun pihak yang diutangi enggan memberikan pinjaman, dan bahkan justru menjual kepada orang tersebut barang seharga 10 dengan harga 15 secara kredit,
Lalu orang tersebut (menerima, lalu) menjual barang tersebut di pasar dengan harga 10 secara tunai, maka [jual beli seperti itu] adalah boleh karena kredit sifatnya adalah berimbal harga,
Sementara memberi pinjaman hukumnya adalah selamanya tidak wajib melainkan sunnah.”
Ba’i tawarruq ini memiliki syarat yaitu amat menekankan pada kejelasan harga, misalnya 15 dan selanjutnya selisin antara 15 dan 10 adalah 5, dijelaskan sebagai bentuk cicilan bulanan.
Keempat menjadikan transaksi tersebut sebagai akad ju’alah atau sayembara.
Mekanismenya kurang lebih begini,
“Saya sudah melakukan transaksi antara konsumen dengan pihak penyedia paylater via jasa aplikasi paylater. Saya ingin menyewa tempat ini dengan harga sekian, tolong diluruskan, nanti saya akan memberikan biaya sekian persen.
Dari berbagai uraian pendapat di atas, maka bisa diambil kesimpulan bahwa dalam terdapat perbedaan di kalangan ulama terkait dengan hukum memakai paylater.
Langkah bijak yang dapat ditempuh oleh umat Islam atas perbedaan pendapat tersebut ialah mengambil kaidah keluar dari hal yang dianjurkan atau keluar dari ikhtilaf adalah nustahab (yang dianjurkan).
Artinya, jika Anda memang memiliki kepentingan dengan paylater maka Anda dapat mengikuti pendapat yang membolehkannya.
Jika Anda tidak berkepentingan dengan paylater maka Anda tidak perlu menggunakannya. Jika sifatnya tidak darurat maka sebaiknya tidak perlu memakai paylater. Wallahu a’lam bisshowab.