Bolehkah Belajar Agama Dari Google?
Fenomena mengaji dan belajar agama lewat Google kini melanda umat Islam tanpa terbendung lagi. Setiap butuh ilmu agama, khususnya terkait jawaban hukum syariah, kemana lagi bertanya kalau bukan kepada Mbah Google. Cukup ketikan kata kuncinya di smartphone, seketika semua pertanyaan terjawab sudah. Maka Google akhirnya naik pangkat menjadi ustadz pintar yang jadi tempat bertanya masalah-masalah agama.
Asyiknya sebagai ‘ustadz’, Google tidak pernah selalu punya waktu, bisa dihubungi kapan saja 24 jam. Beda dengan ustadz betulan yang susah ketemunya karena sibuk dengan semua agenda ceramahnya, sedangkan Google setia setiap saat. Siang malam selalu menjawab pertanyaan, tanpa terhalang sekat waktu dan tempat.Berbeda dengan ustadz-ustadz biasa yang kadang gelagapan kalau ditanya, ustadz Google ini tidak pernah tidak bisa menjawab.
Semua pertanyaan pasti dijawabnya, dia bisa memberikan begitu banyak link url yang bisa diklik untuk menjawab semua pertanyaan umat Islam. Maka resmilah Google menjadi ustadz-nya umat Islam sedunia. Kalau ada pertanyaan, siapakah ustadz paling terkenal hari ini yang bisa melayani jutaan umat dalam sekejap, jawabannya bukan Abdus Somad, bukan Aa Gym, bukan Arifin Ilham. Jawabannya adalah al-Mukarram al-Ustadz Google. Hari ini orang-orang sudah tidak lagi belajar agama kepada ulama yang seharusnya kita belajar, para aktifis dakwah sudah tidak merasa perlu lagi jauh jauh kuliah ke Al-Azhar Mesir, mereka tidak lagi merasa butuh bertalaqqi dengan para fuqaha. Cukup dengan melakukan pencarian di Google, serasa semua ilmu sudah ada di tangan.
Kalau yang melakukannya sebatas orang awam tidak paham agama, mungkin masih masuk akal. Tetapi ketika yang melakukannya justru para penceramah, ustadz, narasumber, bahkan produser program keislaman di televisi, maka disitulah titik pangkal kesalahannya. Sebab ilmu agama itu sejatinya hanya dimiliki oleh para ulama ahli agama, yang hari ini jumlahnya amat sedikit. Dari yang sedikit itu, sedikit sekali yang meluangkan waktunya untuk menulis di internet. Tetapi yang menulis di internet justru bukan para ulama. Ulama sebenarnya jutru jarang menulis.
• Google Bukan Ustadz
Sebenarnya bukannya tidak boleh memanfatkan Google dalam mencari informasi tertentu, termasuk informasi masalah agama. Hanya saja kita harus tahu bahwa Google bukanlah sumber ilmu agama secara langsung. Google hanyalah sebuah robot mesin pencari yang mampu mencari dengan cepat beragam informasi yang berserakan di dunia maya. Google sendiri bukan sumber informasi, tapi berfungsi sekedar memberi clue atau jejak saja, yang masih harus ditelurusi lebih lanjut, entah nanti jejak itu sampai ke tempat yang benar atau juga ke tempat yang tidak benar.
Buat Google, benar salahnya informasi itu tidak ada urusan. Maka kita tidak belajar agama dari Google, tetapi dalam kondisi tertentu dan kondisi yang terbatas, Google bisa saja dimanfaatkan untuk mencari jejak tulisan terkait dengan ilmu agama. Tentu dalam jumlah yang amat sangat terbatas sekali. Maka kalau ada orang yang semata-mata mengandalkan ilmunya hanya dari Google saja dan sampai menjadikan Google sebagai satu-satunya sumber ilmu agama, tentu saja dari awal dia sudah keliru dan tersesat.
Google hanyalah sebuah robot mesin pencari di dunia maya yang tidak bisa bedakan benar salahnya informasi itu. Maka kita tidak belajar agama kepada Google Mengapa? Sebab sumber ilmu agama adalah Rasulullah SAW dan para shahabat beliau.
• Nisbinya Kebenaran Google
Seringkali orang keliru menjadikan Google sebagai tolok ukur kebenaran. Caranya dengan melihat jumlah hasil apa yang ditampilkan Google ketika suatu masalah dicari. Padahal kebenaran itu tidak pernah diukur berdasarkan jumlah suara, sebab kebenaran tidak sama dengan demokrasi. Sebagai ilustrasi, ada 100 orang zindiq menulis di dunia maya bahwa zina itu halal, namun hanya ada satu orang mukmin yang menulis bahwa zina itu haram.
Begitu ada orang jahil mencari hukum zina pakai Google, apa yang akan terjadi? Sudah bisa dipastikan dia akan mengatakan bahwa zina tu halal. Kok halal? Karena dari hasil pencariannya di Google, ternyata ustadz Google berfatwa,”Zina itu halal”. Dasarnya karena telah ditemukan 100 tulisan yang menghalalkan zina dan hanya ada satu tulisan yang mengharamkan zina. Bayangkan kalau bangsa Indonesia yang rata-rata awam masalah agama hanya mengandalkan hasil pencarian di Google dalam masalah hukum-hukum agama, apa jadinya dengan agama ini?
• Isi Dunia Maya Banyak Sampahnya
Walaupun terkesan keren, sebenarnya isi dunia maya kebanyakan berisi sampah tidak berguna. Mengapa demikian? Karena siapa saja boleh menuliskan apa saja yang dia mau, tanpa ada batas hukum sedikit pun. Orang bisa mengupload hal-hal terkait dengan kebencian, sadisme, pornografi, SARA bahkan menawarkan perjudian dan prostitusi.
Bahkan secara bebas bisa memaki-maki pemerintah dan kepala negara tanpa risi dan risau. Padahal di alam nyata, tidak ada orang yang punya nyali untuk mencaci maki kepala negara secara terang-terangan di depan istana, apalagi kalau hanya sendirian. Biasanya beraninya kalau bergerombol ramai-ramai. Sebab kalau cuma sendirian, dia pasti takut karena bisa ditangkap dan diamankan oleh petugas keamanan.
Tetapi di dunia maya, siapa saja jadi merasa berhak untuk mencaci maki siapapun, baik orang itu dikenalnya atau tidak dikenalnya. Caci maki dan sumpah serapah adalah hal yang lumrah dilakukan di dunia maya dan rasanya seperti dijamin halal 100%, seolah-olah ada sertifikat halalnya. Di tengah-tengah onggokan sampah dan limbah pemikiran seperti ini, Ustadz Google tidak pernah peduli. Pokoknya tugasnya hanya mencari, benar atau keliru, masuk akal atau tidak, sopan atau bejat, Ustadz Google tidak pernah bisa membedakannya.
• Google dan Otoritas Sumber Penulis
Belajar agama Islam seharusnya para guru agama, yang kapasitas dan otoritas keilmuannya diakui. Itu sudah disepakati semua umat Islam sepanjang sejarah, karena memang begitulah perintah Allah SWT dalam Al-Quran:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Artinya: “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui,” (QS. AnNahl : 43)
Dalam dunia nyata, mustahil orang yang baru masuk Islam kemarin sore, tiba-tiba di pagi hari sudah jadi ulama besar, lalu berani menghalalkan ini dan mengharamkan itu.Tetapi di dunia maya, orang yang bahkan tidak pernah belajar ilmu syariah dengan benar, Cuma baca-baca buku terjemahan, atau downloaddownload tulisan entah siapa, tiba-tiba menampakkan diri menjadi mufti agung, yang fatwanya ma’shum tidak pernah salah. Dan sayangnya, sosok-sosok semacam ini di Google jumlahnya cukup banyak, bahkan mendominasi, atau lebih tepatnya isinya memang model-model seperti ini semua. Kalau diungkapkan mirip dengan firman Allah SWT:
أَوْ كَظُلُمَاتٍ فِي بَحْرٍ لُجِّيٍّ يَغْشَاهُ مَوْجٌ مِنْ فَوْقِهِ مَوْجٌ مِنْ فَوْقِهِ سَحَابٌ ۚ ظُلُمَاتٌ بَعْضُهَا فَوْقَ بَعْضٍ إِذَا أَخْرَجَ يَدَهُ لَمْ يَكَدْ يَرَاهَا ۗ وَمَنْ لَمْ يَجْعَلِ اللَّهُ لَهُ نُورًا فَمَا لَهُ مِنْ نُورٍ
“Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang tindih-bertindih, apabila dia mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya, (dan) barang siapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah tiadalah dia mempunyai cahaya sedikit pun.” (Qs. An-Nuur : 40)
Maka kalau mau disalahkan, sebenarnya kalau kita tahu duduk masalahnya ya jangan salahkan Google, tetapi salahkan yang menggunakan Google sebagai satu-satunya sumber dalam memahami agama Islam. Dan nomor satu, salahkan dulu mereka yang jahil tapi belagak punya ilmu lalu menulis di dunia maya.
• Bukan Guru
Kita punya banyak contoh dimana seorang yang tidak pernah belajar ilmu agama secara benar, dalam arti dia tidak punya guru yang secara khusus mengajarkan ilmu-ilmu keislaman sesuai dengan disiplin ilmu yang baku, lalu tiba-tiba mengangkat dirinya sebagai ulama besar. Dan konyolnya, kadang pendapatnya itu tanpa malu diproklamirkan sebagai satu-satunya kebenaran.
Lebih nampak bodohnya ketika mereka memvonisbahwa semua orang itu bodoh, sesat, dan tidak punya ilmu. Seolah-olah ilmu itu hanya terbatas apa yang menurutnya cocok dengan selera pribadinya. Tokoh-tokoh seperti ini sayangnya cukup banyak bergentayangan di dunia nyata dan di dunia maya. Kita tidak tahu disiplin ilmu apa yang pernah dipelajarinya dengan benar. Kok, tiba-tiba ada orang mengaku-ngaku sudah jadi tokoh besar, dan mengangkat dirinya satu-satunya rujukan kebenaran.
Semua orang harus divonis salah dan sesat di matanya. Naudzu billah tsumma naudzu billah. Fenomena seperti ini salah satunya memang diakibatkan dari belajar ilmu agama tanpa guru. Maksudnya, bukan sama sekali tidak ada guru,melainkan orang itu tidak belajar lewat jalan proses belajar dengan benar. Bukan lewat jenjang kuliah yang benar, atau pun boleh jadi bukan berguru kepada guru yang kualified di bidang ilmu tertentu. Sehingga apa yang disebutnya sebagai ilmu sesungguhnya cuma was-was dan issue-issue murahan yang tiap hari dihembus-hembuskan saja. Sama sekali tidak bertumpu pada disiplin ilmu agama yang baku dan muktamad, sebagaimana diwariskan dari Rasulullah SAW dan para salafusshalih di masa lalu.
Namun Menurut Ahmad Sarwat, Lc., sepakat bahwa media buku atau internet hanya membantu, dan bukan yang utama untuk belajar agama, harus tetap ada guru yang membimbing untuk belajar agama.
Syarat Belajar Agama Lewat Internet
• Ada Guru Yang Ahli di Bidangnya
Selalu bertanya kepada guru tentang apa yang sudah dipelajari dari google biar tidak salah arah.
• Interaktif
Selalu aktif berdialog dan berdiskusi dengan guru atau ustadz yang ahli di bidangnya.
• Kualitas Tulisan Ilmiyah
Kalau bicara masalah hukum fiqih misalnya, tentu rujukannya harus kitab-kitab fiqih, bukan kitab hadits. Kitab hadits fungsinya untuk bicara tentang ilmu hadits.
Sumber:
• Buku Mengaji Kepada Ustadz Google Karya Ahmad Sarwat, Lc., MA