Bolehkah Ayah Angkat Menjadi Wali Nikah?
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Dalam Islam, anak angkat tidak berubah statusnya menjadi anak kandung. Ia tetaplah orang lain, sehingga tidak berlaku hukum kekeluargaan.
Konsekuensinya, anak angkat dilarang melakukan khalwat (menyenderi) dengan orang tua angkatnya dan anak-anaknya.
Islam memerintahkan anak angkat harus dinisbatkan nasabnya kepada ayah kandungnya (ayah biologis), dan tidak diperbolehkan menisbatkan nasabnya kepada ayah angkatnya.
Jika ayah biologisnya tidak diketahui nama dan keberadaannya, maka anak angkat dinisbatkan kepada Abdullah (hamba Allah) atau Abdurrahman (hamba Allah yang bersifat Rahman) dan lain-lain.
Artinya, dalam kondisi apapun anak angkat tetap tidak boleh bernasab kepada ayah angkatnya. Allah berfirman:
ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
Artinya:
“Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan menasabkan kepada bapak-napak mereka. Hal itu lebih adil di sisi Allah. Maka apabila kalian tidak mengetahui bapak-bapak mereka maka panggillah mereka sebagai saudaramu dalam agama dan maula-maula kalian. Tidak ada dosa atas kalian di dalam apa yang tak kalian sengaja, akan tetapi berdosa apa yang disengaja oleh hati kalian. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzab:5)
Hanya saja Imam Ibnu Kasir dalam tafsirnya Tafsir al-Qur’an al-Azhim membolehkan ayah angkat memanggil anak angkatnya dengan sebutan ya bunayya (hai anakku).
Sebagaimana yang pernah dilakukan Nabi Muhammad kepada Anas bin Malik “Qala li Rasulullahi ya bunayya” (Rasulullah memanggilku dengan sebutan “waha anakku”).
Anak angkat Apakah Menjadi Mahram?
Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dirinci sebagai berikut:
Pertama, jika pengangkatan anak dilakukan ketika si anak masih belum berumur 2 tahun, maka radha’ah (susuan) menyebabkan anak angkat dan ibu yang menyusuinya serta anak-anaknya menjadi mahram.
Kedua, jika pengangkatan anak dilakukan setelah anak umur 2 tahun, maka status anak angkat adalah anak orang lain, dan ketiga, jika anak yang diadopsi mahram sejak awal, maka anak angkat dan orang tua angkat adalah mahram.
Konsekuensinya, ketika keduanya menikah, maka hukum pernikahan di antara mereka adalah haram.
Namun jika keduanya tidak ada mahram, maka keduanya diperbolehkan untuk menikah.
Meskipun secara hukum keduanya boleh dan sah untuk menikah namun bisa jadi ini akan menjadi bahan perbincangan di masyarakat karena dianggap sebagai sesuatu yang tak lumrah (tabu).
Sahkah Ayah Angkat Menjadi Wali Nikah?
Dalam kitab Taqrib karya Imam Abu Suja’ disebutkan bahwa urutan wali nikah adalah sebagai berikut:
أولى الولاة الأب ثم الجد أبو الأب ثم الأخ للأب والأم ثم الأخ للأب ثم ابن الأخ للأب والأم ثم ابن الأخ للأب ثم العم ثم ابنه على هذا الترتيب فإذا عدمت العصبات ف…الحاكم
Artinya:
“Yang berhak menjadi wali (nikah) adalah ayah, kakek, saudara kandung, saudara seayah, keponakan kandung, keponakan seayah, paman dari ayah, kemudian sepupu (anak paman). Jika mereka tidak ada, maka hak wali pindah ke wali hakim.”
Dari daftar nama-nama tersebut, ayah angkat tereliminasi dari keberhakannya menjadi wali nikah.
Meski begitu, ayah angkat punya peluang menjadi wali nikah dari anak-anak angkatnya melalui cara tawkil (mewakilan).
Artinya, wali asli (ayah biologis atau kerabat-kerabatnya yang masuk dalam daftar prioritas wali nikah) dari calon pengantin wanita diperbolehkan mewakilkan hak perwaliannya kepada ayah angkatnya.
Selain harus ada hubungan nasab, untuk menjadi wakil perwalian nikah juga disyaratkan harus laki-laki yang sudah baligh, beragama Islam dan dewasa.
أَمَّا تَوْكِيلُ الْوَلِيِّ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يُوَكِّلَ فِيهِ إِلَّا مَنْ يَصِحُّ أَنْ يَكُونَ وَلِيًّا فِيهِ وَهُوَ أَنْ يَكُونَ ذَكَرًا بالغاً حراً مسلماً رشيداً فإذا اجتمعت هَذِهِ الْأَوْصَافُ … صَحَّ تَوْكِيلُهُ
Artinya:
“Adapun mewakilkan perwalian nikah, tidak diperbolehkan kecuali kepada orang yang telah memiliki kualifikasi wali yaitu laki-laki, baligh, merdeka, Muslim dan dewasa. Jika kualifikasi tersebut terpenuhi, maka sah hak perwaliannya.” (al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, juz 9, hlm. 113)
Dari keterangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa ayah angkat yang telah memenuhi persyaratan tersebut di atas, sah baginya untuk menjadi wakil wali pernikahan dari anak-anak angkatnya.
Hanya saja, akad perwakilan wali harus dilakukan dengan kalimat serah terima (ijab-qabul) yang sah menurut fikih, dan wali asli harus benar-benar ada.
Namun jika tidak ditemukan wali asli dari calon pengantin wanita, baik karena wali asli tidak diketahui keberadaannya maupun karena mereka sudah meninggal dunia, maka hak perwalian pindah kepada wali hakim.
Kemudian, jika sang hakim tidak ada, maka posisi wali hakim digantikan oleh wali muhakkam (seseorang yang diposisikan sebagai hakim dengan syarat harus adil).
ثم إن لم يوجد ولي ممن مر فيزوجها محكم عدل حر
Jika tidak ditemukan wali dari orang-orang yang telah disebutkan, maka hak kewalian berpindah kepada wali muhakkam yang adil dan merdeka. (Zainuddin al-Malibari, Fath al-Muin, hlm. 472)
[]