BNPT Sebut Radikalisme-Terorisme Terdiri dari Simpatisan Masyarakat Intoleran dan Tidak Loyal
HIDAYATUNA.COM, Singapura – Duta Besar Indonesia untuk Singapura, Ngurah Swajaya saat memberikan sambutan mengatakan bahwa salah satu prioritas politik luar negeri Indonesia adalah diplomasi kedaulatan dan kebangsaan yang ditujukan untuk menumbuhkan dan memperkuat rasa kebangsaan dalam mengisi kemerdekaan.
Hal itu disampaikan dalam dialog kebangsaan yang digelar oleh Kedutaan Besar Indonesia (KBRI) Singapura yang menghadirkan Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Irfan Idris dan Visiting Fellow S. Rajaratnam School of International Studies, Noor Huda Ismail.
Dialog ini dimaksudkan untuk mencegah penyebaran radikalisme. Seperti yang disampaikan Ngurah, terorisme dan radikalisme adalah hal yang serius dan pada tahun 2019 terdapat tiga WNI ditahan atas tuduhan membantu terorisme, karena telah mengirimkan sejumlah uang kepada organisasi terkait terorisme.
Selain itu, ia mengingatkan Pemerintah Singapura dalam menangani isu radikalisasi harus dilakukan dengan sangat serius. Bahkan, menghimbau masyarakat agar selalu waspada terhadap paparan radikalisasi dan menjalin komunikasi dengan KBRI.
“KBRI terbuka untuk melayani dan melindungi masyarakat, termasuk ketika masyarakat membutuhkan informasi,” katanya, diterima HIDAYATUNA.COM dari siaran pers, Sabtu (16/11/2019).
Di sisi lain, pada kesempatan yang sama, Idris punya pandangan yang sedikit berbeda, semua teroris itu radikal, tapi tidak semua yang radikal itu adalah teroris.
BNPT, kata Idris, menggunakan empat istilah yaitu radikal (berpikir hingga ke akarnya), radikalisasi (proses menjadi radikal), radikalisme (merubah keadaan dengan radiks, secara cepat, dengan memaksakan kehendak dan mengatasnamakan agama, serta menggunakan kekerasan), dan terorisme.
“Orang yang radikal itu tidak memiliki kriteria fisik sebagaimana yang selama ini orang ketahui, seperti berjenggot dan menggunakan celana cingkrang,” ungkap Idris.
Kategorisasi teroris, lebih lanjut, oleh BNPT yang terdiri dari simpatisan yaitu masyarakat yang intoleran dan tidak loyal, pendukung yakni masyarakat yang memberi dukungan terhadap aktifitas terorisme seperti dukungan dana, bahan baku, sarana dan prasarana, serta tempat latihan.
Militan yaitu kelompok yang melakukan aktifitas kekerasan, pengebom, terlatih dan memiliki kemampuan menyerang. Artinya, pemimpin ideologis atau pimpinan organisasi yang biasanya memiliki kharisma yang besar.
Dalam memahami radikalisasi atau pun radikalisme, dalam pandangan Idris, masyarakat perlu berkomunikasi untuk menghindari salah pemahaman, kemudian menerima paham yang menyesatkan.
Selain itu, masih dalam kesempatan yang sama, Noor Huda memberikan pandangan dari latar belakang TKI di Singapura yang dipandang rentan terpapar paham radikal terutama masalah sosial yang dihadapi dan beralih ke media sosial sebagai pelariannya.
“Perlu pendekatan baru yaitu digital literacy. Bahkan, perlunya calon TKI diberi pemahaman terhadap ancaman radikalisasi dan bagaimana menghadapinya pada saat pembekalan sebelum datang ke Singapura,” tegasnya.
Terakhir, Dr. Noor Huda juga mendorong lebih banyak forum dialog dan pertemuan masyarakat Indonesia khususnya TKI di Singapura.