Biografi Imam Ibnu Amir, Salah Satu Ulama Qira’at

 Biografi Imam Ibnu Amir, Salah Satu Ulama Qira’at

Menyoal Dua Kisah Menggugah yang Tidak Jelas Sumbernya (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Ibnu Amir Asy-Syamsi adalah seorang tabi’in yang mengambil sanad qira’at-nya dari para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam secara langsung.

Para sejarawan tak berbeda pendapat tentang qira’at-nya yang ia ambil dari Abu Hasyim Al-Mughirah bin Abu Syihab Abdullah bin Umar bin Al-Mughirah al-Makhzumi.

Nama lengkapnya adalah  Abu ‘Imran Abdullah bin ‘Amir bin Yazid bin Tamim bin Rabi’ah al-Yahshubi.

Ibnu Amir yang berdarah Arab asli ini makin “termanjakan” dengan mendengar Al-Qur’an dari para shahabat Rasulullah yang Allah ridhai.

Mereka itu, antara lain, Nu’man bin Basyir, Muawiyah bin Abu Sufyan dan Fadhalah bin Ubaid.

Tak heran jika ia menjadi imam untuk wilayah Syam, seorang tabi’in yang mulia dan seorang gari yang piawai, dengan disaksikan oleh dinding dan serambi Masjid al-Umawiy.

Ia menjadi imam bagi kaum muslimin setelah wafatnya Abu Darda.

Inilah paparan sekilas tentang seorang imam dalam bidang Qira’at bagi penduduk Syam, syaikh bagi para Qari dalam urutan sanad.

Tak ada sesuatu yang lebih menunjukkan kedudukannya selain ketinggian isnadnya. Setiap orang yang menimba ilmu dari riwayat qira ‘atnya beralasan karena ketinggian sanadnya.

Secara asal-usul, ia berasal dari ras Arab asli, seorang Yahshabiy. Nasabnya berakhir pada Yahshab bin Dahman, salah satu keturunan dalam suku Himyar. Suku Himyar termasuk dalam kelompok Qahthan.

Karena berasal dari ras Arab asli, tak mengherankan jika ia berbahasa Arab secara benar, sebagai bahasa al-Qur’an yang mulia, sebagai percakapan yang paling indah, dan qari terbaik dari apa yang dikenal tentang bacaan pelan dan qira’at.

Sejumlah kalangan berusaha mengritiknya dalam nasabnya yang berasal dari Arab asli ini. Namun pendapat yang benar adalah bahwa ia memiliki nasab sangat jelas, tak ada yang disembunyikan.

Tentang kelahirannya, Ibnu Amir mengatakan,

“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam wafat sementara usiaku baru dua tahun. Saya pindah ke Damaskus pada usia sembilan tahun.”

Imam adz-Dzahabi menuturkan tentang sosoknya dalam Ma’rifah al- Qurra.”

Ia adalah Abdullah bin Amir bin Yazid bin Tamim bin Rabi’ah, Abu Imran-menurut pendapat yang paling benar, dan menurut versi lainnya Abu Amir.

Ia adalah seorang imam bagi penduduk Syam dalam bidang Qira’at, dengan nasab yang jelas kepada Yahshab bin Dahman, salah satu kabilah dalam suku Himyar.

“Ibnu Amir menimba ilmu Qira’at dari Abu ad-Darda. Ia mewasiatkan Ibnu Amir amanah untuk menjadi imam Masjid al-Umawi setelah wafat.”

“Yang pasti, ia membaca al-Qur’an pada Abu Darda,” Imam adz-Dzahabi meriwayatkannya dengan sanad yang kuat.

Ia juga mendapatkan ilmu Qira’at dari al-Mughirah bin Syihab, salah seorang murid Utsman bin Affan.

Disebutkan, ia menunjukkan metode qira’amya kepada Utsman sendiri secara langsung. Namun Imam adz-Dzahabi meragukan pendapat seperti ini.

“Barangkali ayahnya yang menunaikan ibadah haji sehingga memungkinkannya bertemu Utsman bin Affan,” ujar adz-Dzahabi.

Ada pendapat yang mengatakan, ia membacakan qina’at-nya pada Qadhi Damaskus Fadhalah bin Ubaid, Watsilah bin al-Asqa’, dan lainnya.

Abu Amir termasuk orang yang sedikit sekali perbendaharaan haditsnya. Ia hanya memiliki satu riwayat hadits dari Rasulullah, sebagaiman tertuang dalam kitab Shabib Muslim.

Ibnu Amir menuturkan bahwa Fadhalah bin Ubaid pernah berkata kepadanya,

“Pegangilah ini dan janganlah sekali-kali menolak satu alifatau www kepadaku. Sebab, akan datang suatu kaum yang tak jatuh kepada mereka satu alif atau www.”

Ibnu Amir juga tak luput dari hujatan yang sering menimpa orang-orang yang terhormat dan mulia dalam bidang ilmu.

Al-Fasawiy mengutip perkataan Abdullah bin Amir dalam kitabnya al-Ma’rifah wa at-Tarikh bahwa dahulu pada masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan dan sesudahnya, kepemimpinan masjid berada di tangannya.

Banyak orang yang berkomentar miring tentang nasabnya (hanya saja nasabnya yang Arab ini begitu kuat keshahihannya tanpa peredebatan). Ketika datang Ramadhan, mereka berkata, “Siapa yang akan menjadi imam kita?”

Orang-orang menyebutkan al-Muhajir bin Abu al-Muhajir. Dikatakan kepadanya,

“Dia adalah seorang budak. Kami tak ingin jika yang menjadi imam kami seorang budak. engkau harus menyampaikan hal ini kepada Sulaiman bin Abdul Malik!”

Ketika Sulaiman memimpin pemerintahan, ia mengirim pesan kepada Muhajir bin Abu al-Muhajir,

“Apabila malam pertama Ramadhan datang, maka berdirilah di posisi di belakang imam, dan ketika Ibnu Amir datang, maka raihlah pakaiannya dan seretlah! Katakan kepadanya, “Mundurlah, sebab tak akan ada seorang yang mengaku-ngaku bernasab baik yang berdiri di depan kami.

Dan shalatlah engkau, wahai Muhajir.” Muhajir pun bersiap melaksanakan perintah tersebut.

Namun, Abu Amir tak memperdulikan pernyataan-pernyataan ini. Ia tetap pergi ke masjidnya yang besar, yaitu Masjid Jami al-Umawi untuk menjadi imam bagi umat Islam selama bertahun-tahun dalam masa pemerintahan Umar bin Abdul-Aziz.

Ibnu Amir mempunyai prinsip yang jelas dalam Qira’at. Menurutnya, antara setiap dua surah ia membaca basmalah.

Ia juga berpendapat, membaca dengan saktah atau washal, pada antara surah al-Anfal dan at-Taubah.

Selain itu, ia juga membaca pada madd muttasbil dan munfashi/dengan bacaan yang sedang.

Dalam hamzah kedua dari dua hamzah yang bertemu dalam satu kata, ia membacanya dengan tasbil (meringankan bacaan hamzah) dan memantapkannya dengan memasukkan suara hamzah itu; apabila berharakat fathah.

Menurutnya dengan memantapkan bacaan hamzah secara bersama dengan memasukkan suara bamzah atau tidak, apabila ia berharakat kasrah dan dhammah.

Ini semua didasarkan pada riwayat dari Hisyam. Adapun menurut Ibnu Dzakwan, dalam hal ini mengikuti bacaan Hafsh.

Ia juga meng-idgham-kan beberapa huruf, seperti dza atau ketika bertemu huruf ta, dan da atau ketika bertemu huruf tsa.

Ia juga membaca lafadz Ibrahim dengan Ibraham. Dalam riwayat Ibnu Dzakwan, ia membaca “au inna ilyasa” dalam Surat Ash-Shaffat dengan menganggap hamzah itu adalah hamzah washal.

Semoga Allah merahmati Ibnu Amir, seorang tokoh pemilik metode pembelajaran qira’at, dengan keutamaan dan ketinggian sanad.

Semoga Allah mengasihi Imam Masjid al-Umawi, murid Abu Ad-Darda, shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia. []

Muhammad Ahsan Rasyid

Muhammad Ahsan Rasyid, magister BSA UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang juga aktif di berbagai organisasi dan kegiatan sukarelawan. Tinggal di Yogyakarta, dapat disapa melalui Email: rasyid.ahsan.ra@gmail.com.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *