Habib Ali Kwitang, Ulama Betawi Pejuang Kemerdekaan
HIDAYATUNA.COM – Habib Ali Kwitang Al-Habsy merupakan tokoh penting dalam jejaring habaib pada akhir abad ke-19 dan paruh pertama abad ke-20. Hampir seluruh jejaring habaib di Nusantara dan Haramain terkoneksi dengannya, bahkan ia juga menghubungkan generasi sebelumnya dengan generasi setelahnya, juga antara ulama pribumi dan ulama hadrami.
Dilahirkan pada tanggal 20 Jumadil ‘ Awal 1286 H/ 20 April 1870 M dan wafat Ahad 20 Rajab 1388 H/ 13 Oktober 1968 M dan dimakamkan di Komplek Masjid Kwitang. Ayahnya, Habib Abdurrahman wafat pada tahun 1881 M dan dimakamkan di Cikini, belakang Taman Ismail Marzuki.
Kakeknya, Habib Abdullah bin Muhammad bin Husain al-Habsyi, dilahirkan di Pontianak, Kalimantan Barat. Beliau datang dari Hadramaut, bermukim di Pontianak dan mendirikan Kesultanan Hasyimiyah dengan para Sultan dari Klan Algadri. Habib Ali Kwitang nyantri ke Hadramaut Yaman di rubath Habib Abdurrahman bin ‘Alwi al-‘Aydrus.
Pada tahun 1303 H/ 1886 M kembali ke tanah air, beliau juga berguru kepada para alim ulama yang ada di Indonesia saat itu, diantaranya Habib Muhammad bin Thohir al-Haddad (Tegal), Habib Muhammad bin Idrus al-Habsy (Surabaya), Habib Abdullah bin Muhsin al-Aththas (Bogor) dan lain-lain.
Kemudian beliau nyantri lagi ke Makkah dan mendapatkan ijazah dari ulama di Makkah, diantaranya Imam Muhammad bin Husain al-Habsyi (Mufti Makkah), Syekh Muhammad Said Babsail (Pengarang Kitab I’anatuth Tholibin) dan lain-lain.
Sedangkan di kota Madinah beliau nyantri kepada Habib Ali bin Ali al-Habsyi, Habib Abdullah Jamalullail (Syekh Al-Asaadah), Syekh Sulaiman bin Muhammad al-Zabi anak dari pengarang kitab Maulid Azabi.
Kembali ke tanah air, Habib Ali Kwitang membuka pengajian tetap di Majelis Taklim Kwitang dan di tempat lainnya di seluruh Indonesia, hingga ke desa-desa yang terpencil di lereng-lereng gunung serta ke Singapura, Malaysia, India, Pakistan, Srilanka dan Mesir.
Pada tahun 1940-an, beliau mendirikan Masjid ar-Riyadh di Kwitang dan di samping masjid tersebut didirikannya sebuah madrasah yang diberi nama Madrasah Unwanul Falah. Sejak tahun 1919 M, beliau mendapat mandat untuk mensyiarkan Maulid Simthud Duror dari gurunya, Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi.
Banyak ulama Betawi atau Jakarta yang pernah menjadi muridnya atau pernah belajar di madrasah yang didirikannya, diantaranya KH. ‘Abdullah Syafi’I (pendiri Pesantren Assyafi’iyah), KH. Thahir Rohili (pendiri Pesantren Atthohiriyah), KH. Muhammad Na’im Cipete, KH. Muhajirin Cililitan dan lain-lain.
Pejuang Kemerdekaan
Pada era pergerakan nasional, seperti guru Sayyid Usman Yahya, Habib Ali Kwitang juga seorang tokoh politik dan pejuang kemerdekaan, yaitu aktif di Partai Syarikat Islam pimpinan HOS Cokroaminoto dan Haji Agus Salim.
Bahkan di zaman pendudukan Jepang ia pernah dipenjara bersama Haji Agus Salim. Pada saat pemilu 1955, Habib Ali Kwitang kendati tidak memperlihatkan berpihak pada salah satu partai dan tidak pernah mengemukakan pilihannya pada orang lain tetapi ia lebih dekat dengan Nahdlatul Ulama (NU).
Ketika NU mengadakan Muktamar di Gedung Olahraga Lapangan Ikada (Monas) Jakarta, Habib Ali diminta membaca doa. Beliau juga banyak memiliki murid-murid orang NU, termasuk Ketua Umumnya saat itu KH. Idham Chalid yang kerap kali datang ke masjidnya.
Habib Ali Kwitang juga sempat menulis beberapa kitab, diantaranya Al-Azhar al-Wardhiyyah fi as-Shuurah an-Nabawiyyah dan Ad-Durar fi ash-Shalawat ala Khair al-Bariyyah.
Habib Ali Kwitang tidak sendiri dalam gerakan anti kolonial, ia senantiasa ditemani Habib Ali Bungur dan Habib Salim Jindan. Habib Ali Bungur selalu mengobarkan semangat Jihad melawan penjajah dan komunis.
Ia selalu mengorbankan semangat anti penjajah dengan membawakan ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi yang menganjurkan melawan penjajah. Katanya, “Penjajah adalah penindas, kafir dan wajib diperangi”.
Pada masa pemberontakan PKI ia selalu mengatakan bahwa “PKI dan Komunis akan lenyap dari bumi Indonesia dan rakyat akan selalu melawan kekuatan atheis. Ini berkah perjuangan para ulama dan auliya yang jasadnya bertebaran di seluruh nusantara”.
Ia mendukung terbentuknya Negara Indonesia yang Bersatu, utuh serta berdaulat, tidak segan-segan menegur para pejabat yang mendatanginya dan selalu menyampaikan agar jurang antara pemimpin da rakyat dihilangkan dan rakyat mesti dicintai”.
Sumber : Masterpiece Islam Nusantara, sanad dan jejaring ulama-santri (1830-1945) – Zainul Milal Bizawie