Bid’ah: Ragam Diskursus Pemahaman

 Bid’ah: Ragam Diskursus Pemahaman

Salafi Bukan Arab Saudi (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – “Kullu bid’atin dhalalah, wa kullu dhalalatin fi al-nar,” pernah dengar, kan, adagium hadis dalam forum-forum dakwah yang kerap kali menggelegar dan saling saut di mana-mana? Dijadikan alat tuding untuk melegitimasi dunia perbid’ahan.

Biasanya kerap menyasar pada aspek-aspek tradisi, atau bahkan laku-laku (‘amaliyah) yang terbilang bid’ah (amaliyah yang tidak dilakukan nabi Saw). Sekalipun berupaya atau memiliki tujuan taqarrub ila Allah atau mengarah pada harap syafaat habibi al-Mustafa SAW.

Seperti halnya tahlilan, yasinan, salawatan, zikiran bareng, istighasah, nisfu sya’banan, merayakan isra mi’raj, merayakan nuzulul Alquran. Ulang tahun dan pernikahan, tawassulan, tabarruk atau ngalap berkah, niat puasa bareng-bareng usai solat tarawih, dan lainnya.

Baru-baru ini bermunculan fenomena masjid sunah dengan ciri-cirinya yang menekankan aspek kesunahan. Menurut mereka sesuai masjid ala Nabi saw (‘ala manhaj al-Nabawiyyah) yang menegasikan kebid’ahan.

Paling tidak masjid sunah ini memiliki 10 ciri-ciri, seperti:

  1. Suasana tenang tanpa menyetel kaset murattal sebelum dan sesudah adzan
  2. Tidak ada tasbih
  3. Tidak banyak hiasan dan ukiran kaligrafi
  4. Tidak ada qunut subuh; tidak ada tradisi bersalaman usai salam
  5. Shaf rapat dan lurus (tumit ketemu tumit)
  6. Tidak ada doa bersama usai salat
  7. Hati tentram dan damai selepas meninggalkan masjid

Saya kira semua alasan dan yang menjadi ciri khusus dari masjid sunah ini juga memiliki penekanan pada penegasian “bid’ah”. Sebab, dianggap semua hal tersebut baru dan tidak pernah dilakukan Nabi saw kala itu.

***

Biasanya yang menjadi rujukan adalah bermuara melalui jalur Jabir ibn Abdullah, redaksi utuhnya memiliki arti begini;

“Sebaik-baik ucapan adalah Kitab Allah. Sebaik-baik petunjuk adalah ucapan Muhammad Saw. Sejelek-jelek perkara adalah perkara yang baru. Setiap perkara yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan adalah di neraka.” (HR. Muslim)

Diakui atau tidak hadis ini yang menjadi pegangan untuk menolak setiap laku amaliyah yang tidak pernah dilakukan nabi dengan vonis bid’ah. Tanpa peduli maksud baik apa dari amaliyah yang dianggap bid’ah itu sendiri sekalipun untuk kualitas perbaikan spiritual dan relasi sosial. dan tidak juga peduli niat apa yang sebenarnya terpatri kuat dalam hati.

Beberapa koleksi hadis yang menyebutkan kata “bid’ah” secara spesifik (sharih) terkandung dalam beberapa kitab para pengumpul hadis. Bisa dibilang paling otoritatif dan menjadi rujukan utama secara luas oleh para ulama khususnya ulama ahl al-sunnah wa al-jama’ah.

Di antaranya adalah Shahih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan al-Tirmidzi, Sunan al-Nasa’i, dan Sunan Ibn Majah. Tapi menurut penulusuran Ahmad Tanthawi dengan tajuk artikel jurnalnya “Hadist-hadits Bid’ah Prespektif Ulama”.

***

Untuk pengoleksi hadis yang lain seperti Imam Malik dengan Muawaththa’-nya dan Imam Bukhari dengan Shahih al-Bukhari-nya. Tidak memuat secara spesifik (sharih) terkait bid’ah.

Tetapi pertanyaanya, apakah setiap yang baru itu bid’ah? Saya rasa iya, tapi apakah setiap yang bid’ah itu dhalalah/sesat? Ini yang menemukan ragam jawaban yang menuai pro-kontra. Saya meyakini belum tentu setiap yang baru itu sesat.

Namun ketika kita telusuri lagi lebih jauh, ada hadis lain yang juga bersumber dari Jarir ibn Abdullah, beliau berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Barangsiapa yang memulai perbuatan baik dalam Islam, maka ia akan memperoleh pahalanya serta pahala orang-orang yang melakukannya sesudahnya tanpa dikurangi sedikit pun dari pahala mereka. Dan siapa yang memulai perbuatan jelek, maka ia akan memperoleh dosanya dan dosa orang-orang yang melakukannya sesudahnya tanpa dikurangi sedikitpun dari dosa mereka.” (HR. Muslim)

Nah dari hadis kedua inilah yang kemudian menjadi rujukan yang melahirkan kaidah ushul fiqh yang taramat masyhur, yakni “al-muhafazhatu ‘ala al-qadim al-shalih, wa al-akhdzu bi al-jadid al-Ashlah”. Hal ini yang menurut Edi Ah Iyubenu dalam bukunya yang bertajuk Islam ku Islam mu Islam Kita yang menyatakan bahwa Imam Syafi’i membagi bid’ah menjadi dua kategori; bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah dengan merujuk pada hadits kedua. (lihat, 2018, hal. 166)

Dari hadist kedua inilah yang menurut Imam Nawawi merupakan penjelasan lebih lanjut dari hadist yang pertama. Memberi batasan makna umum bid’ah dalam tataran praktis menjadi perbuatan baik dalam Islam. jadi tidak semua amaliyah baru (bid’ah) otomatis sesat (dhalalah) dan buruk (sayyiah). Terdapat pula amaliyah baru yang sunnah dan shahih diamalkan, sesuai hadis di atas. Sementara amaliyah baru yang sayyiah jelas tidak boleh, apalagi berpotensi syirik padaNya, maka harus dan wajib ditinggalkan.

***

Para sahabat pernah membuat bid’ah yang sebelumnya tidak pernah dilakukan Nabi saw misal saja seperti pengumpulan dan penulisan Alquran seperti yang kita pegang dan cium-cium wujud Alquran hari ini adalah jerih upaya Abu Bakar ra, Umar Ibn Khattab ra, dan baru teralisasi pada masa Utsman Ibn Affan ra yang mendedikasikan umurnya untuk merealisasikan itu. Bukankah ini bid’ah juga? Tapi apakah sayyiah? Tentu saja tidak.

Terus Umar Ibn Khattab ra lebih ekstrem lagi, yaitu menjadikan salat Tarawih berjemaah yang sebelumnya pada masa nabi salat Tarawih kadang dilakukan dan kadang dilakukan, dan tentu tanpa berjemaah. Umar pun menggagas hal itu untuk mengumpulkan umat Islam melaksanakan salat tarawih berjamaah, dan Umar berkata “Inilah sebaik-baiknya Bid’ah” (lihat, Edi Ah Iyubenu, 2018, hal. 167)

Betapapun ada yang mengganggap segala bid’ah itu sayyiah dan dhalalah secara mutlak, paling tidak ada pendapat berbeda yang menunjukkan kebaikan dari hal yang baru itu. Dan kesemuanya memiliki pijakan yang kuat yang bermuara dari Alquran dan sunnah yang dipelopori oleh para imam (para ahli) yang memiliki otoritas keilmuan yang mumpuni dalam bidangnya.

Untuk menutup rangkaian tulisan ini, mari lebih menghargai lagi setiap pilihan yang diambil masing-masing, tanpa harus saling tuding dan menyalahkan dengan vonis bid’ah. Karena kita tidak pernah tahu nilai ibadah yang mana yang akan diterima di sisiNya. Boleh jadi apa yang dianggap bid’ah (dalam arti tidak ada dan tidak dilakukan Nabi Saw) tapi memiliki niat dan tujuan bertaqarrub pada Allah azza wajalla dan mengharap syafaat RasulNya ternyata memiliki nilai di sisiNya, ataupun sebaliknya.

Wallahu a’lam bi al-shawab

Ali Yazid Hamdani

https://hidayatuna.com/

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *