Berusia 400 Tahun, Masjid Al-Hilal Katangka, Benteng Islam di Sulsel
HIDAYATUNA.COM – Masjid Al-Hilal Katangka Bangunan utama masjid ini memiliki luas sekitar 212 meter persegi, dengan pagar besi dan pagar tempok sebagai pembatas areal masjid ini. Masjid ini bahkan memiliki Soko Guru (pondasi), yang biasanya menjadi ciri khas bangunan masjid di Pulau Jawa.
Masjid Katangka sudah berumur lebih dari 400 tahun sejak tanggal 04 Oktober 1999, ditetapkan sebagai Cagara Budaya Nasional secara resmi dan harus dilindungi oleh masyarakat setempat bersama pemerintah setempat juga.
Lokasi masjidnya terletak di Jalan Syekh Yusuf, Kelurahan Katangka, Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Sampai saat ini masjid tersebut masi berdiri kokoh.
Pintu masuk utama masjid ini hanyalah satu pintu yang terletak di bagian depan, kemudian saat masuk kedalam bangunan ruang utama sholat, kita akan melihat jendela dengan hiasan ukiran berlubang sebagai ventilasi udara secara alami. Ada beberapa bagian interior masjid juga tetap dipertahankan, seperti mihrab, mimbar tembok masjid yang memiliki tebal 120 centimeter dan tiang besi padat yang menopang atap masjid.
Bahkan jika dilihat lebih teliti, masjid yang sudah berumur ratusan tahun ini memiliki arsitektur mirip Masjid Agung Demak, dengan atap yang bersusun tiga, dan juga 4 soko guru sebagai penopang atapnya. Pada masanya, ternyata masjid ini juga memiliki sebuah menara yang tinggi, namun sejarah kehancuran menara tersebut sampai saat ini belum bisa di identifikasi secara pasti.
Pada bagian barat masjid terdapat kompleks pemakaman yang sudah sangat tua. Komplek pemakaman tersebut digunakan sebagai tempat pemakaman pendiri masjid dan juga keturunannya.
Terdapat makam Sultan Hasanuddin tidak jauh dari masjid itu juga, tepatnya di kampung Palantikang serta makam tokoh penyebar Islam Syekh Yusuf Al Makassari dan menjadi salah satu lokasi wisata sejarah budaya yang tak boleh dilewatkan ketika berkunjung ke Sulawesi Selatan.
Masjid Al Hilal Katangka didirikan oleh Raja Gowa ke 24 yang bernama Sultan Alauddin (I Manga’ragi Daeng Manrabbia Karaeng Lakiung) pada tahun 1603M. Beliau merupakan Raja Gowa yang pertama kali masuk Islam pada saat itu.
Kemudian ditahun 1605M dijadikan sebagai masjid kerajaan dengan nama Masjid Katangka dan merupakan masjid tertua di Sulawesi Selatan. Ketika itu diadakan penambahan nama masjid menjadi Al Hilal Katangka pada tahun 1960an. Al Hilal dapat diartikan sebagai bulan sabit atau bulan pada fase tua.
Masjid Al-Hilal Katangka lebih dikenal dengan sebutan Masjid Katangka dan nama Katangka melekat pada masjid ini lantaran awal berdirinya dikelilingi pohon katangka. Disitulah tersimpan sejarah panjang penyebaran islam di Tanah Daeng.
Sejarah berdirinya Masjid Katangka dulunya merupakan tempat shalat rombongan ulama dari Yaman yang mengembara ke Sulawesi untuk menemui Raja Gowa dan mensyiarkan Islam.
Pada waktu hari jumat, mereka singgah untuk melaksanakan shalat jumat disini. Tempat tersebut dulunya kosong dan hanya dikelilingi banyak pohon katangka. Sesudah shalat jumat, mereka kembali untuk melanjutkan perjalanan ke Kerajaan Gowa.
Namun, Raja Gowa belum bisa menerima Islam sepenuhnya. Karena Islam yang ditawarkan bersifat kaffah (menyeluruh), sehingga sulit dijalankannya. Walaupun terjadi penolakan, rombongan ulama asal yaman ini tidak mengenal lelah untuk menysiarkan Islam di Sulawesi Selatan.
Mereka melanjutkan perjalananya ke pesisir pantai untuk menemui ulama penyebar islam asal Minangkabau yang bernama Datuk Ri Bandang, Datuk Patimang dan Datuk Ri Tiro. Kemudian mereka mengutuskan kembali dan dari ketiga ulama inilah yang mengislamkan raja-raja di Sulawesi Sulawesi.
Setelah berdiskusi dengan para ulama, Raja Gowa pun menanggapi untuk bersedia masuk Islam. Bahkan menjadikannya Islam sebagai agama kerajaan dan beliau berganti nama setelah masuk Islam menjadi Sultan Alauddin. Ia juga merupakan kakek Pahlawan Nasional Sultan Hasanuddin.
Akhirnya, dibangunlah masjid tersebut pasca Islam diterima dikerajaan. Lokasi yang dipilih adalah dimana tempat para ulama Yaman melaksanakan shalat Jumat sebelumnya. Selain untuk tempat ibadah, disitulah salah satu titik penyebaran Islam di Sulawesi Selatan.
Pembangunan masjid dimulai pada saat itu juga dan pohon-pohon katangka yang ada disekitar lokasi ditebang semua untuk dijadikan bahan mendirikan masjid tersebut.
Mesjid Katangka juga sering disebut sebagai Masjid Agung Syekh Yusuf. Penamaan masjid ini diambil dari nama Syufi Kharismatik yang dibanggakan masyarakat Sulawesi Selatan. Syufi tersebut adalah Syekh Yusuf Al Makkasari sekaligus kerabat raja Gowa.
Beliau lahir pada tanggal 3 Juli 1626 di Kabupaten Gowa. Ia sangat gagah melawan penjajah Belanda, diasingkan ke Capetown, Afrika Selatan dan meninggal dunia dalam usia 73 tahun pada tanggal 23 Mei 1699. Beliau dimakamkan di daerah pertanian Zanvliet di Distrik Stellenbosch, Afrika Selatan. Tetapi, atas permintaan Raja Gowa yang bernama Abdul Djalil pada tanggal 5 April 1795, makam Syekh Yusuf dipindahkan ke Lakiung, tidak jauh dari Masjid Katangka.
Pemerintah Indonesia menetapkan Syekh Yusuf Al Makkasari sebagai pahlawan nasional. Di Afrika Selatan beliau mendapat tempat yang sangat istimewa dihati masyarakat sebagai pahlawan pembebasan kaum tertindas dan juga dianugerahi gelar pahlawan nasional di negara itu.
Karena Masjid Tua Al Hilal Katangka dibangun pertama, sekaligus menjadi sosok bangunan masjid yang tertua di keseluruhan Sulawesi, dan juga ikut masuk pada nominasi salah satu dari 10 Masjid Tertua di Indonesia.
Masjid ini sudah berusia ratusan tahun dan berdasarkan SK pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dengan nomor urut inventaris 98 sudah ditetapkan sebagai benda cagar budaya nasional melalui surat keputusan Nomor : 240/M/1999, tanggal 4 Oktober 1999, oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Juwono Sudarsono Arsitektur.
Masjid tua Katangka sudah beberapa kali mengalami pemugaran, renovasi pada tahun yaitu pada tahun 1818, 1826, 1893, 1948, 1962, 1979 dan pemugaran yang terakhir dilakukan pada tahun 2007 lalu.
Meskipun sudah lebih dari 6 kali renovasi dilakukan, namun keaslian arsitektur serta berbagai ornamen masjid masih terjaga dengan baik. Pemerintah setempat pun mengajak untuk mempertahankan bentuk keasliannya, karena bangunan ini dilindungi Undang-Undang Kepurbakalaan.
Ruangan yang tidak seluas masjid pada umumnya, Masjid Katangka memiliki keunikan tersendiri. Terdapat unsur-unsur bangunan yang nampak dipengaruhi berbagai budaya, yakni China, Portugis, Jawa, Timur Tengah dan Makassar sendiri. Dari salah satu pengurus Masjid mengatakan pembangunan masjid Katangka dibantu oleh beberapa saudagar luar negeri dari Portugis, Cina dan kerajaan Bone.