Bersentuhan antara Lawan Jenis Saat Melakukan Thawaf
Haji merupakan rukun Islam pamungkas setelah syahadat, shalat, zakat dan puasa. Dalam berhaji terikat pada beberapa rukun, salah satunya thawaf. Thawaf tidak bisa diwakilkan oleh siapapun, disinilah kemudian muncul persoalan bagi jamaah haji asal Indonesia yang didominasi oleh pengikut madzhab Syafi’i yang berpendapat bahwa bersentuhan antara laki-laki dan perempuan tanpa sekat atau penghalang membatalkan wudhu. Padahal sangat sulit mencari waktu senggang agar bisa thawaf secara leluasa tanpa bersentuha dengan lawan jenis.
Mengenai persoalan ini sebenarnya ada pendapat lintas madzhab yang menyatakan bahwa bersentuhan lain jenis tidak membatalkan wudhu selama tidak syahwat namun dengan syarat harus pindah ke madzhab lain (intiqalul madzhab). Konsekuensinya jika seseorang ingin pindah dari madzhab syafi’i maka harus pindah satu paket (satu qadliyah). Artinya harus mengikuti madzhab lain itu mulai dari syarat rukun hingga batalnya wudhu, tidak boleh setengah-setengah. Bagi masyarakat umum, hal demikian menjadi sebuah hal yang cukup rumit.
Merujuk pendapat Sayid Abdurrahman Baalawi meneganai intiqalul madzhab yang yang dikutip dari dari Al-Kurdi dalam Al-Fawaidul Madaniyyah sebagai berikut:
… نعم في الفوائد المدنية للكردي أن تقليد القول أو الوجه الضعيف في المذهب بشرطه أولى من تقليد مذهب الغير لعسر اجتماع شروطه اهـ
Artinya, “….. iya memang, dalam Al-Fawaidul Madaniyah karya Al-Kurdi, bahwa taklid pada satu pendapat atau wajah yang dhaif dalam satu madzhab dengan (memenuhi) syaratnya itu lebih utama dari pada taklid kepada madzhab lain karena susah terpenuhi berbagai macam syaratnya, (Lihat Sayyid Abdurrahman Ba‘alawi, Bughyatul Mustarsyidin, Darul Fikr, halaman 16).
Pendapat di atas menegaskan bahwa lebih baik mengikuti pendapat lemah dalam satu madzhab dari pada taklid (mengekor) kepada madzhab lain karena kesukaran dalam memenuhi segala syarat-syaratnya.
Susahnya menghindari sentuhan antara laki-laki dengan perempuan lain mahram dalam melakukan thawaf menurut Imam Nawawi merupakan cobaan yang umum. Beliau menceritakan ada sebagian pandangan dalam madzhab Syafi’i yang menegaskan di antara orang yang berlainan jenis jika bersentuhan itu mempunyai hukum dua sisi.
Sisi pertama adalah bagi yang menyentuh (al-lamis). Ulama Syafiiyyah sepakat bahwa orang yang menyengaja menyentuh hukumnya batal. Sedangkan sisi kedua adalah yang orang disentuh (al-malmus). Bagi orang yang disentuh (tidak sengaja menyentuh) terdapat dua pendapat. Menurut pendapat yang paling shahih adalah batal, sedangkan menurut pendapat sebagian ulama tidak batal. Pendapat ini memberi kelonggaran bagi penganut madzhab Syafi’i dalam berthawaf.
مما تعم به البلوى في الطواف ملامسة النساء للزحمة ، فينبغي للرجل أن لا يزاحمهن ولها أن لا تزاحم الرجال خوفا من انتقاض الطهارة ، فإن لمس أحدهما بشرة الآخر ببشرته انتقض طهور اللامس وفي الملموس قولان للشافعي رحمه الله تعالي أصحهما أنه ينتقض وضوءه وهو نصه في أكثر كتبه ، والثاني لا ينتقض واختاره جماعة قليلة من أصحابه والمختار الأول
Artinya: “Termasuk cobaan yang merata dalam thawaf adalah sentuhan dengan wanita karena berdesak-desakan. Sebaiknya bagi lelaki untuk tidak berdesak-desakan dengan para wanita tersebut. Begitu pula bagi para wanita jangan berdesakan dengan para lelaki karena kekhawatiran akan terjadi batalnya wudhu. Sesungguhnya bersentuhan salah satu dari keduanya terhadap kulit yang lain bisa menyebabkan batalnya kesucian orang yang menyentuh. Sedangkan bagi orang yang disentuh, terdapat dua pendapat dalam madzhab Syafi’i rahimahullah. Menurut pendapat yang paling sahih adalah batal wudhunya orang yang disentuh. Itu merupakan redaksi tekstual yang terdapat dalam mayoritas kitab-kitab Syafii. Adapun pendapat kedua mengatakan tidak batal. Pendapat ini dipilih oleh sebagian kecil golongan pengikut Syafi’i. Sedangkan pendapat yang terpilih adalah yang pertama,” (Lihat Imam Nawawi, Al-Idhah fi Manasikil Hajj wal Umrah, Al-Maktabah Al-Imdadiyah, halaman 220-221).
Dalam hal ini Imam Nawawi kemudian memberi arahan bagi orang yang thawaf untuk menggunakan pendapat minoritas sebab keadaan yang memang sangat sulit dihindari.
Dari uraian diatas berdasarkan pendapat Antara Sayyid Abdurrahman dan Imam Nawawi dalam masalah thawaf dapat diambil kesimpulan, pertama bahwa oleh sebab sulitnya memenuhi kriteria pindah madzhab dan karena kondisi Masjidil Haram yang tidak bisa dihindari dalam masalah persentuhan lawan jenis, maka pengikut madzhab Syafi’i tidak perlu pindah madzhab. Mengenai batalnya wudhu, mereka tetap dapat mengikuti madzhab syafi’i asalkan tidak menyengaja menyentuh lawan jenis. Selama tidak menyengaja, tidak membatalkan wudhu.
Pendapat bahwa bersentuhan lain jenis itu tidak batal memang tidak disarankan untuk digunakan dalam kondisi normal. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Nawawi hanya karena cobaan yang merata bagi orang yang thawaf. Meskipun begitu setidaknya pendapat ini dapat menjadi rujukan dan solusi bagi umat yang ingin menunaikan ibadah haji.
Sumber:
Imam Nawawi, Al-Idhah fi Manasikil Hajj wal Umrah, Al-Maktabah Al-Imdadiyah, halaman 220-221.
Sayyid Abdurrahman Ba‘alawi, Bughyatul Mustarsyidin, Darul Fikr, halaman 16.
NU Online