BERNYANYI UNTUK MENGUSIR SETAN

 BERNYANYI UNTUK MENGUSIR SETAN

Ini juga kisah dari KH. Saifuddin Zuhri dalam bukunya Berangkat dari Pesantren. Kisah ini terjadi ketika di zaman Jepang. Seperti diketahui, bahwa meskipun penjajahan Jepang terbilang singkat, yaitu hanya 3,5 tahun, tetapi memberikan dampak penderitaan yang jauh lebih besar terhadap bangsa Indonesia dari pada Belanda. 

Ketika Dai Nippon tersebut mencengkramkan kuku penjajahanya di Indonesia, maka diterapkanlah beberapa kebijakan yang sangat kejam terhadap rakyat Indonesia. Di antara kebijakan kaum imperialis, Dai Nippon yang diterapkan di Indonesia tersebut mewajibkan pemuda-pemud Indonesia untuk mengikuti kerja paksa, menyetorkan hasil panen mereka ke jepang untuk memenangkan Perang Asia Timur Raya. 

Karena Para Pemuda di paksa untuk kerja Romusha, tentu saja banyak sawah yang tidak di garap. Kemudian, akibat banyak para petani yang di paksa untuk menyetorkkan seluruh beras hasil panennya ke jepang, membuat rakyat Indonesia banyak yang kelaparan. Merka tidak lagi bias makan nasi dan hanya makan seadanya, termasuk bonggol pisang. Beras sungguh sangat langka, karena semuanya telah dirampasa oleh rezim Dai Nippon. 

Untuk mengumpulkan hasil panen tersebut, Jepang memanfaatkan Lembaga-lembaga pemerintahan, di antaranya Shumbu ( Departemen Agama ) di berbagai level, dari pusat hingga daerah. Para Pegawai Departemen Agama ini umumnya diisi oleh para tokoh agama Islam, termasuk para Kiai. Hal ini di sengaja oleh Jepang untuk melancarkan programnya mengumpulkan hasil panen masyarakat tersebut. Sebab, dalam pandangan Dai Nippon, para kiai ini merupakan orang-orang yang sangat di patuhi oleh masyarakat. Oleh karena itu, para kiai tersebut sengaja diangkat menjadi pegawai Departemen untuk Jepang berjalan lancer dan memenuhi target.

Namun, para kiai yang menjadi pegawai Departemen Agama di era Jepang, diam-diam melakukan pembangkangan. 

Mereka tidak sepenuhnya menuruti apa yang di perintahkan oleh Jepang. Akibatnya, beras dan hasil panen yang terkumpul sering kali tidak memenuhi target. Para kiai tersebut sadar dan tahu, bahwa rakyat sudah sangat menderita. Pangan mereka benar-benar telah ludes. Jangankanuntuk di setorkan ke Jepang, di makan sendiri saja tidak ada. 

Karena berada dalam tekanan yang luar biasa sadis, maka di beberapa daerah pun banyak rakyat yang melakukan perlawanan, di antaranya adalah Bojonegoro, seb`uah daerah yang kata Saifuddin Zuhri mudah bergolak. Akibat penindasan Jepang yang sangat tidak manusiawi, maka daerah tersebut seperti api dalam sekam, yang sewaktu-waktu bias berkoar menjadi pemberontakan ( Zuhri, 2013 : 277 ). 

Namun, untungnya di daerah tersebut yang menjabat sebagai Shumukaco (ketua departemen agama di tingkat karesidenan ) adalah KH. Abdul Karim, seorang ulama yang lapang dada, cerdik dan pandai ber-qori ‘ (membaca Al-qur’an dengan lagu ). Suaranya Kiai Abdul Karim dalam melantunkan ayat-ayat Al-Qura’an itu sungguh indah. Denagn kecerdikanya , kiai abdul karim bias menyiasati perintah-perintah Jepang terutama soal pengumpulan beras dari masyarakat. 

Para tantara Jepang, kata Saifuddin Zuhri, sering marah-marah kepada Kiai Abdul Karim atas kegagalan setoran padi / beras rakyat. Namun, kemarahan tantara Jepang tersebut di hadapi oleh Kiai Abdul Karim dengan membaca al qur’an yang merdu dan nyaring, seperti para Qori yang membaca Alquran dalam acara-acara pengajian umum. Bacaan Alquran kiai karim ini, kata Saifudin Zuhri, membuat suasana yang asalnya diliputi oleh ketegangan akibat kemarahan tantara Nippon, berangsur-angsur menjadi tenang. Amarah tantara Nippon pun mulai turun tensinya akibat bacaan Alquran dengan lagu tersebut.

‘’Mengapa bernyanyi-nyanyi begitu ?’’ tanya Nippon kepada Kiai Abdul Karim saat melantunkan alquran dengan lagu. Para tantara Nippon tersebut tidak tahu, kalua yang dibaca oleh Kiai Abdul Karim itu adalah kitab suci, sehingga mengatakan beliau sedang bernyanyi. Namun, KiaiAbdul Karim memang sangat cerdik dan terbilang jenaka dalam mengelabui para tantara Nippon itu.

‘’Kalau tidak dibacakan Alquran seperti ini, setan jahat akan bergentayangan di sini, menghinggapi rakyat yang sedang marah sejadi-jadinya. Kalau mereka marah sambal menggenggam parang dan takeyari ( bambu runcing) bagaimana ? jawab Kiai Abdul Karim dengan tenang, dan tantara Dai Nippon pun mangut-mangut percaya. 

Sumber : HUMOR SUFI PARA WALI DAN KIAI 

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *