Bermusik di Pesantren
HIDAYATUNA.COM – Kita mengenal pesantren sebagai dunia yang memproduksi sekian alim, ulama, kyai dengan sekian kajian keagamaan yang ketat. Bahkan mereka yang di pesantren, baik santri maupun pengurusnya mesti berbusana muslim sesuai ketentuan yang diberlakukan. Pun di beberapa pesantren, kita menjumpai pemisahan bersua antara santri putra dengan santri putri, larangan membawa perangkat elektronik, dan diberi jarak pada dunia luar sebagai indikasi laku tirakat.
Pengalaman serupa juga dialami M. Yaser Arafat, budayawan yang sempat diundang bertilawah di Istana Presiden beberapa tahun silam. Dalam artikelnya Nang-Ning-Nung: Musik Pesantren dalam Riwayat Bunyi Seorang Santri (2020), ia mengisahkan perjalanan kesantriannya sejak di Pondok Pesantren Modern Nurul Hakim, Medan dan di Pondok Pesantren Darul Rahman, Jakarta Selatan.
Ada banyak pengalaman yang ia peroleh selama bersantri. Hanya saja pengalamannya membuahkan benih gagasan, celah keluasan ilmu pesantren, dan benturan budaya yang saya kira jarang didapati oleh santri-santri serupa lainnya.
Di artikelnya itu, ia mengajukan serangkaian tanya ihwal posisi musik di pesantren. Atau lebih tepatnya, seperti apa yang disebut dengan musik pesantren itu? Apakah langgam tilawah, salawat, dan media yang digunakan bisa disebut dengan musik pesantren? Apakah musik pesantren mesti berbahasa Arab dengan irama padang pasir? Apakah salawat dangdut tidak dapat dikategorikan musik pesantren? Dan rupa-rupa persoalan turunan lainnya yang menyinggung musik pesantren.
Kita semua tahu di banyak literatur keislaman bahwa, para wali di Jawa tempo dulu merupakan musisi, selain juga sebagai pendakwah. Seperti misalnya Sunan Kalijaga dengan gamelannya, Sunan Drajat dengan kendang tandaknya, dan Sunan Bonang dengan seperangkat alat musik bonangnya.
Hal ini belum diakumulasikan dengan sekian nama wali yang menjadi pencipta sebuah tembang. Tentu saja tembang itu tidak diciptakan dengan asal, tetapi lekat dengan makna kesejatian hidup sebagai seorang hamba mulai dari mijil sampai pocung. Kini beberapa tembang-tembang tersebut dinyanyikan ulang dengan musik yang lebih modern.
Produk tembang lama dengan musik kekinian itu banyak tersebar dan mudah kita dapati di berbagai media sosial. Dan, apakah itu bukan termasuk sebagai musik pesantren?
Yaser Arafat di artikelnya tersebut memberi catatan keberadaan musik pesantren. Kendati catatan ini masih dapat diperdebatkan dengan kajian ulang yang ketat dan lebih ilmiah, tetapi saya rasa catatan tersebut tetap bisa digunakan sebagai tolok ukur serta tambahan referensi tentang musik pesantren.
Pertama, musik pesantren memang identik dengan musik yang berirama padang pasir. Hanya saja bentuknya lebih dinamis. Hal ini ditengarahi dengan kondisi pesantren sendiri yang bergerak dinamis secara terus-menerus. Maka dari itu, tilikannya bukan pada hasil bermusik, melainkan isi dari musik tersebut.
Kita mungkin bisa menduga pada pesan yang dibawa dalam bermusik. Sekalipun musiknya rock n roll, dangdut, blues, atau jazz, jika muatannya sarat dengan pesan-pesan kebaikan maka dampaknya bisa membaca si pemusik dan pendengar lebih dekat dengan-Nya. Sebab faktanya memang tidak sedikit santri yang di sisi lain gemar mendengar bebunyian yang bervariasi.
Kedua, musik pesantren merupakan ejawantah dari cinta yang telah manunggal. Semua hal yang masuk daftar oposisi biner: sakral-profan, lelaki-perempuan, idealisme-realisme, dan semacamnya melebur menjadi satu. Maka dari itu, musik pesantren selain dalam rangka kerja berbudaya, juga terselip pesan keilahian. Hal ini mungkin mengacu pada gerak dakwah para wali tempo dulu, Sunan Kalijaga misalnya.
Dari dua catatan ini, perpektif musik dari kacamata pesantren tidak lagi terjebak pada bahasan fikih yang formal. Diksi baik-buruk, halal-haram menjadi agak berjarak. Musik pesantren dilihat dari keberlangsungannya yang berkelindan erat dengan budaya santri yang dinamis.