Bermazhab Iya Boleh, Tapi Jangan Kebablasan

 Bermazhab Iya Boleh, Tapi Jangan Kebablasan

Sekolah Al-Qur’an Menjadi Trend di Kalangan Orang Tua di Aljazair (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Satu hal penting yang mesti menjadi prinsip seorang muslim adalah siap menerima kebenaran walaupun datang dari orang yang berbeda pandangan dengan kita.

Perbedaan sudut pandang, pola berpikir, pendapat dalam masalah furu’ dan sebagainya tidak boleh menjadi penghalang untuk melihat sisi kebenaran dalam pandangan yang disampaikannya.

Meskipun ketelitian dan kehati-hatian tetap diperlukan, karena bisa jadi substansinya benar tapi cara menyampaikannya kurang tepat.

Dalam sebuah video, ada sepasang suami-isteri (artis) bertanya pada seorang ustadz,

“Apakah bersentuhan suami-isteri membatalkan wudhuk?” Sang ustadz menjawab, “Nabi Saw mencium isterinya setelah berwudhuk sebelum shalat.”

Video ini dikomentari seorang ustadzah. Ia menegaskan bahwa dalam mazhab Syafi’iyah, wudhu suami-isteri batal kalau bersentuhan.

Ia menegaskan bahwa kita mesti ikut mazhab Syafi’i, dan kita tidak bisa langsung pada Quran dan Hadits. Yang kita pegang adalah pendapat ulama. Ia juga menegaskan untuk berhati-hati dalam berguru.

Dalam beberapa poin saya sepakat dengan sang ustadzah. Namun ada hal yang perlu digarisbawahi.

Ketika ada hadits yang secara tegas menjadi dalil untuk satu masalah, dan ada ulama atau bahkan mazhab yang mengambil itu sebagai pendapatnya.

Maka dalam hal ini sah-sah saja, atau bahkan sebaiknya, kita mengambil pendapat tersebut, meskipun berbeda dengan pendapat mazhab yang kita anut selama ini.

Apalagi memang tidak ada kewajiban untuk taqayyud (terikat) dengan mazhab tertentu dalam setiap masalah sepanjang hidup.

Tentang masalah batal tidaknya wudhuk suami-isteri jika bersentuhan, mari kita cermati hadits-hadits berikut dan lupakan dulu untuk sementara ini mazhab siapa ini mazhab siapa.

عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهَا قَالَتْ: كُنْتُ أَنَامُ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرِجْلاَيَ، فِي قِبْلَتِهِ فَإِذَا سَجَدَ غَمَزَنِي، فَقَبَضْتُ رِجْلَيَّ، فَإِذَا قَامَ بَسَطْتُهُمَا (رواه البخاري رقم 382)

Artinya:

“Dari Aisyah isteri Nabi Saw, ia berkata: “Aku tidur di depan Rasulullah Saw. Kakiku berada di arah kiblatnya. Ketika ia mau sujud, ia menyentuhku. Aku pun melipat kakiku. Ketika ia berdiri aku kembali membentangkannya.”

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: فَقَدْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً مِنَ الْفِرَاشِ فَالْتَمَسْتُهُ فَوَقَعَتْ يَدِي عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ وَهُمَا مَنْصُوبَتَانِ (رواه مسلم رقم 486)

Artinya:

“Dari Aisyah ra, ia berkata: “Suatu malam aku ‘kehilangan’ Rasulullah Saw di tempat tidur. Aku pun mencari beliau. tiba-tiba tanganku menyentuh punggung kakinya yang sedang tegak saat ia di masjid.” Dalam riwayat Nasa`i ada tambahan, “Saat itu ia sedang sujud.”

Bukankah kedua hadits shahih ini sudah cukup menjadi dalil bahwa bersentuhan suami-isteri itu tidak membatalkan wudhu?

Adapun ihtimal (kemungkinan) yang disampaikan ulama Syafi’iyyah bahwa boleh jadi ada kain yang menjadi pembatas (ha`il) antara kulit Nabi Saw dan Aisyah, ini seperti kata Imam Syaukani:

فيه تكلف ومخالفة للظاهر

Artinya: “Terlalu dipaksakan dan bertentangan dengan zhahir nash.”

Imam Ibnu Baththal berkata:

الأَصْل فِي الرجل أَن يكون بِغَيْر حَائِل عرفا

Artinya: “Secara asal biasanya seseorang tidak menggunakan pembatas.”

Apalagi kalau ditambah dengan hadits yang diriwayatkan Imam Abu Dawud ini:

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبَّلَ امْرَأَةً مِنْ نِسَائِهِ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الصَّلَاةِ وَلَمْ يَتَوَضَّأْ

Artinya:

“Dari Aisyah ra, Nabi Saw mencium seorang isterinya kemudian beliau keluar ke masjid untuk shalat dan tidak berwudhu kembali.”

Hadits ini memang tidak disepakati keshahihannya oleh para ulama. Imam Ibnu Jarir, Ibnu Abdil Barr dan az-Zaila’iy menshahihkannya. Sementara Imam Sufyan ats-Tsauri, Ahmad bin Hanbal, Daruquthni, al-Baihaqi dan an-Nawawi mendha’ifkannya.

Tapi hadits ini secara substansial seirama dan sejalan dengan hadits-hadits shahih diatas.

Inilah yang dijadikan kalangan Hanafiyyah sebagai mazhab mereka, bahwa bersentuhan suami-isteri, bahkan dengan wanita asing sekalipun tidak membatalkan wudhu, baik dengan syahwat maupun tidak.

Muncul pertanyaan, “Apakah tidak mungkin ini menjadi khususiyah bagi Nabi Saw?”

Imam al-‘Aini menjawab: “Mengatakan hal ini adalah khususiyah bagi Nabi adalah tidak tepat karena Nabi Saw dalam hal ini dalam posisi tasyri’ (menetapkan syariat), dan memang demikian sebagian besar perkataan dan perbuatannya. Di samping itu, mengatakan ini adalah khususiyah tanpa dalil adalah batil. Jika demikian, kuatlah dalil dari hadits bahwa menyentuh wanita tidak membatalkan wudhuk.”
Ia menutup penjelasannya dengan bahasa yang agak ‘keras’:

والعناد بعد ذلك مكابرة

Artinya:

“Menentang hal tersebut setelah (penjelasan) ini adalah bentuk mukabarah (keras kepala).”

Lalu apa yang membuat Imam Syafi’i berpendapat bahwa bersentuhan suami-isteri membatalkan wudhuk? Dalilnya adalah QS. an-Nisaa` ayat 43:

… أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ …

Beliau berpendapat bahwa kata لامس artinya bersentuhan. Namun, banyak ulama yang menjelaskan bahwa kata لامس artinya bukan bersentuhan biasa melainkan berhubungan intim.

Ini juga yang ditafsirkan oleh Ibnu Abbas ra dan dipilih oleh Imam Ibnu Jarir ath-Thabari

Jadi, pendapat yang lebih kuat untuk makna لامس adalah berhubungan intim, bukan bersentuhan biasa.

Kalau ada yang berkata, “Siapa Anda untuk membantah Imam Syafi’i?”

Kita katakan, “Saya bukan siapa-siapa. Saya tidak merasa layak membantah ulama yang masih hidup saat ini, apalagi ulama dulu sekaliber Imam Syafi’i. Yang saya lakukan hanyalah mengkaji pendapat banyak ulama lalu memilih pendapat yang didukung banyak dalil, bahkan dikuatkan oleh hadits. Apakah ini salah?”

Tapi untuk lebih menguatkan, ada baiknya kita nukil pendapat ulama Syafi’iyyah sendiri; Imam Ibnu Shalah.

من وجد من الشافعية حديثا يخالف مذهبه نظر ، إن كملت له آلة الاجتهاد مطلقا أو فى ذلك الباب أو المسألة كان له الاستقلال بالعمل ، وإن لم يكمل وشق مخالفة الحديث بعد أن يبحث فلم يجد للمخالفة جوابا شافيا عنه فله العمل به إن كان عمل به إمام مستقل غير الشافعي ويكون هذا عذرا له فى ترك مذهب إمامه ههنا

Artinya:
“Siapa dari kalangan Syafi’iyyah yang mendapati hadits yang berbeda dengan mazhabnya, dilihat dulu; kalau ia memiliki perangkat untuk berijtihad, baik secara mutlak maupun dalam bab atau masalah ini saja, maka ia boleh untuk mengamalkan hadits itu secara mandiri.
Jika ia tidak memiliki perangkat untuk berijtihad tapi berat baginya untuk menyalahi hadits setelah ia berusaha mencari dan tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan terhadap perbedaan tersebut (maksudnya perbedaan mazhabnya dengan hadits) maka ia boleh mengamalkan hadits itu jika hadits tersebut diamalkan oleh imam selain Syafi’i yang independen, dan ini menjadi udzur baginya untuk meninggalkan mazhab imamnya dalam masalah ini.”

Imam Dihlawi setelah menukil penjelasan Imam Ibnu Shalah ini berkata,

“Penjelasan ini dinilai baik (حسنه) oleh Imam Nawawi dan dikokohkannya (قرره).”

Hal senada juga ditegaskan oleh Imam Ibnu Abidin dari kalangan Hanafiyah:

قال العلامة ابن عابدين : إذا صح الحديث وكان على خلاف المذهب عمل بالحديث ويكون ذلك مذهبه ولا يخرج مقلده عن كونه حنفيا بالعمل به

Artinya:

“Kalau ada hadits shahih dan berbeda dengan mazhab, maka ia (orang yang bermazhab Hanafiy) boleh mengamalkan hadits tersebut dan itulah mazhabnya. Ini tidak akan mengeluarkan seorang muqallid dari statusnya sebagai Hanafiy hanya dengan mengamalkan hadits tersebut.”

والله تعالى أعلم وأحكم

[]

Yendri Junaidi

Pengajar STIT Diniyah Putri Rahmah El Yunusiyah Padang Panjang. Pernah belajar di Al Azhar University, Cairo.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *