Berjiwa Sebagai Peneliti

 Berjiwa Sebagai Peneliti

Berjiwa Sebagai Peneliti (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Dari sekian banyak definisi yang dikemukan untuk “manusia” (al-insan), ada satu definisi yang cukup menarik, yaitu :

الإِنْسَانُ حَيَوَانٌ سَأّل (يَطْرَحُ السُّؤَالَ كَثِيْرًا)

Artinya: “Manusia adalah makhluk yang suka melontarkan pertanyaan.”

Malaikat juga melontarkan pertanyaan, tapi lebih dalam bentuk istifsar (minta penjelasan).

Adapun manusia maka pertanyaannya bisa berbentuk istibhats (menelisik), istinkar (ketidaksetujuan), ta’ajjub (tanda-tanya atau keheranan) dan sebagainya.

Ini sesungguhnya yang menjadi esensi dan modal utama dalam diri manusia, hasrat bertanya.

Bertanya bukan sekedar untuk bertanya. Bertanya untuk mendapatkan jawaban yang memuaskan. Bertanya untuk mendapatkan keyakinan. Bertanya untuk menghilangkan keraguan.

Pertanyaan muncul karena ada keraguan. Kalau tidak ada keraguan maka pertanyaan tidak akan muncul.

Yang muncul justeru penerimaan begitu saja (taslim mutlak) dan taqlid (ikut-ikutan).

Berarti, untuk menjadi manusia yang ‘suka’ bertanya, kita mesti punya keraguan (asy-syakk).

Keraguan ini yang akan melahirkan pertanyaan. Pertanyaan akan mendorong pencarian dan penelitian.

Penelitian mengantarkan pada jawaban. Terlepas dari apakah jawaban itu benar atau tidak.

Jiwa peneliti seperti ini sangat kita perlukan terutama di zaman yang semua orang bisa bicara apa saja tanpa memperhatikan kompetensi dan spesialisasi.

Apalagi kalau sang pembicara punya ‘nama’ atau pengikut. Atau penyampaiannya terkesan logis dan mudah dicerna.

Bagaimanapun juga jangan sampai kehilangan jiwa peneliti. Teliti dulu, setidaknya beberapa hal sebagai berikut:

Pertama, apakah ia punya latarbelakang keilmuan yang memadai untuk bicara tentang itu?

Kedua, apakah ia punya sumber atau rujukan yang jelas dan dapat dipercaya?

Ketiga, apakah ada tokoh yang sudah dikenal kepakarannya dalam bidang tersebut menyetujui pendapatnya?

Kalau ruh tasa`ul (روح التساؤل) ini tidak ada, seseorang akan mudah dipengaruhi oleh apapun pendapat dan penyampaikan yang sekilas terlihat masuk akal tapi sesungguhnya rapuh secara ilmiah.

Ruh tasa`ul akan membawa kita ke dunia keilmuan yang sangat luas, lebih luas dari apa yang coba digambarkan sebagian orang dengan mengatakan, “Sebenarnya hal ini sederhana saja…”.

Sederhana dalam pemikirannya yang juga sederhana, tapi tidak demikian bagi orang yang sudah cukup berpengalaman dalam dunia keilmuan.

Tak salah sebagian ulama berkata:

العلم ثلاثة أشبار فمن دخل فى الشبر الأول تكبر ومن دخل فى الشبر الثاني تواضع ومن دخل فى الشبر الثالث علم أنه لا يعلم

Artinya:

“Ilmu itu tiga jengkal. Siapa yang berada di jengkal pertama ia merasa jumawa. Siapa yang sampai di jengkal kedua ia akan lebih rendah hati. Dan siapa yang sampai di jengkal ketiga ia yakin bahwa ia tidak tahu apa-apa.”

Jadi, jangan mudah menerima begitu saja apapun penyampaian sebelum dikaji dan diteliti, termasuk tulisan ini.

(Sekedar naftsatu mashdur ketika mendengar video seorang ustadz yang penuh percaya diri mengatakan bahwa para ulama sepakat dalam penentuan 1 Dzulhijjah mesti mengikut Ahlu Makkah).

والله أعلم

[]

Yendri Junaidi

Pengajar STIT Diniyah Putri Rahmah El Yunusiyah Padang Panjang. Pernah belajar di Al Azhar University, Cairo.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *