Begini Detailnya Hukum Pernikahan Sesama Jenis
Jika menelaah peradaban manusia, sebenarnya fenomena penyimpangan seksual sudah terjadi jauh sebelum masa Nabi Muhammad saw, tepatnya pada masa Nabi Lûth yang diutus untuk kaum Sadoum. Hampir semua kitab tafsir mengabadikan kisah tersebut dengan menyingkap kandungan ayat-ayat yang berkaitan dengan kisah Nabi Lûth. Sebagaimana dapat dilihat dalam firman Allâh swt :
وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ أَئِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ وَتَقْطَعُونَ السَّبِيلَ وَتَأْتُونَ فِي نَادِيكُمُ الْمُنْكَرَ ۖ فَمَا كَانَ جَوَابَ قَوْمِهِ إِلَّا أَنْ قَالُوا ائْتِنَا بِعَذَابِ اللَّهِ إِنْ كُنْتَ مِنَ الصَّادِقِينَ
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Lûth berkata kepada kaumnya, “Sesungguhnya kamu benar-benar mengerjakan perbuatan yang amat keji yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun dari umat-umat sebelum kamu. Apakah sesungguhnya kamu patut mendatangi laki-laki, menyamun[3] dan mengerjakan kemungkaran di tempat-tempat pertemuanmu ?” Maka jawaban kaumnya tidak lain hanya mengatakan, “Datangkanlah kepada kami azab Allâh, jika kamu termasuk orang-orang yang benar.” [QS. al-‘Ankabût :28-29]
Mengenai perkawinan yang diakui oleh negara hanyalah perkawinan antara pria dan wanita juga dapat kita lihat dalam Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (“UU Adminduk”) beserta penjelasannya dan Pasal 45 ayat (1) Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta No. 2 Tahun 2011 tentang Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil (“Perda DKI Jakarta No. 2/2011”) beserta penjelasannya:
- Pasal 34 ayat (1) UU Adminduk:
Perkawinan yang sah berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana di tempat terjadinya perkawinan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal perkawinan.
Penjelasan Pasal 34 ayat (1) UU Adminduk:
Yang dimaksud dengan “perkawinan” adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
- Pasal 45 ayat (1) Perda DKI Jakarta No. 2/2011:
Setiap perkawinan di Daerah yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, wajib dilaporkan oleh yang bersangkutan kepada Dinas di tempat terjadinya perkawinan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal sahnya perkawinan.
Penjelasan Pasal 45 ayat (1) Perda DKI Jakarta No. 2/2011:
Yang dimaksud dengan “perkawinan” adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Kemudian, dari sisi agama Islam, perkawinan antara sesama jenis secara tegas dilarang. Hal ini dapat dilihat dalam Surah Al-A’raaf (7): 80-84, yang artinya sebagai berikut:
وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ (٨٠) إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ (٨١) وَمَا كَانَ جَوَابَ قَوْمِهِ إِلا أَنْ قَالُوا أَخْرِجُوهُمْ مِنْ قَرْيَتِكُمْ إِنَّهُمْ أُنَاسٌ يَتَطَهَّرُونَ (٨٢) فَأَنْجَيْنَاهُ وَأَهْلَهُ إِلا امْرَأَتَهُ كَانَتْ مِنَ الْغَابِرِينَ (٨٣) وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهِمْ مَطَرًا فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُجْرِمِينَ (٨٤
Artinya: “Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah (keji) itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu?” Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas. Jawab kaumnya tidak lain hanya mengatakan: “Usirlah mereka (Luth dan pengikut-pengikutnya) dari kotamu ini; sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri. Kemudian Kami selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya (yang beriman) kecuali istrinya (istri Nabi Luth); dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). Dan Kami turunkan kepada mereka hujan (batu); maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa itu.” (QS. Al-Araf : 80-84)
Selain itu, Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) juga secara tidak langsung hanya mengakui perkawinan antara pria dan wanita, yang dapat kita lihat dari beberapa pasal-pasalnya di bawah ini:
- Pasal 1 huruf a KHI:
Peminangan ialah kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita.
- Pasal 1 huruf d KHI:
Mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang, atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
- Pasal 29 ayat (3) KHI:
Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai pria diwakili, maka akad nikah tidak boleh dilangsungkan.
- Pasal 30 KHI:
Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita dengan jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak.
Adapun Hukuman Bagi Pelaku Hubungan Sejenis
Menurut sabda Nabi Muhammad saw sallam dalam hadits yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ وَجَدْتُمُوْهُ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوْطٍ فَاقْتُلُوْا الْفَاعِلَ وَالْمَفْعُوْلَ بِهِ
Artinya: “Dari Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma , ia berkara, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa saja yang kalian dapatkan melakukan perbuatan homoseksual, maka bunuhlah kedua pelakunya.” (HR. Abu Daud)
Akan tetapi para ulama berbeda pendapat mengenai jenis dan bentuk hukuman yang dikenakan kepada pelakunya. Timbulnya perbedaan ini karena perbedaan dalam menginterpretasi dalil-dalil yang bersumber dari al-Qur’ân, al-Hadits dan atsar (fakta sejarah sahabat). Mereka berbeda pendapat mengenai hukuman yang layak diberlakukan kepada para pelakunya.
Perbedaan yang muncul hanya menyangkut dua hal. Pertama, perbedaan sahabat dalam menentukan jenis hukuman. Kedua, perbedaan ulama dalam mengkategorikan perbuatan tersebut, apakah dikategorikan zina atau bukan? Perbedaan ini berimplikasi terhadap kadar atau jenis hukuman yang dikenakan. Dan di bawah ini pendapat beberapa ulama salaf.
- Imam Abu Hanifah (pendiri mazhab Hanafi) berpendapat:
“Praktek homoseksual tidak dikategorikan zina dengan alasan:
(1) karena tidak ada unsur (kriteria) kesamaan antara keduanya. Unsur menyia-nyiakan anak dan ketidakjelasan nasab (keturunan) tidak didapatkan dalam praktek homoseksual
(2) berbedanya jenis hukuman yang diberlakukan para sahabat”.
Berdasarkan kedua alasan ini, maka Abu Hanifah berpendapat bahwa hukuman terhadap pelaku homoseksual adalah ta’zir dihukum rajam (dilempari dengan batu sampai mati), dan kalau ghairi muhshan (bujang), maka dihukum cambuk dan diasingkan selama satu tahun.
- Imam Malik berpendapat:
“Praktek homoseksual dikategorikan zina, dan hukuman yang setimpal untuk pelakunya adalah dirajam (bila ia baligh, berakal, dan tidak dipaksa), baik pelakunya muhshan (sudah menikah) atau ghairi muhshan (perjaka)”.
- Sedangkan menurut Imam Syafi’i:
“Praktek homoseksual tidak dikategorikan zina, tetapi terdapat kesamaan; bahwa keduanya sama-sama merupakan hubungan seksual terlarang dalam Islam. Hukuman untuk pelakunya ialah: kalau pelakunya muhshan (sudah menikah), maka dihukum rajam; kalau ghairi muhshan (bujang), maka dihukum cambuk 100 kali dan diasingkan selama satu tahun”.
- Menurut Imam Hambali:
“Praktek homoseksual dikategorikan zina. Mengenai jenis hukuman yang dikenakan kepada pelakunya beliau mempunyai dua pendapat: (1) dihukum sama seperti pezina, kalau pelakunya muhshan (sudah menikah) maka dihukum rajam, dan alau pelakunya ghairi muhshan (bujang), maka dihukum cambuk 100 kali dan diasingkan selama satu tahun. Pendapat inilah yang paling kuat. (2) dibunuh dengan dirajam, baik pelakunya muhshan maupun ghairi muhshan”.
Sumber:
- Shahih Abu Daud
- Al-Hidâyah Syarhul Bidâyah Karya Fathul-Qadîr dan al-Mabsûth
- Kompilasi Hukum Islam
- Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (“UU Adminduk”)