Berawal dari Pertemanan, Mualaf Ini Mulai Mempelajari Islam

 Berawal dari Pertemanan, Mualaf Ini Mulai Mempelajari Islam

Pempuan Iran Diizinkan Menonton Pertandingan Sepak Bola, Setelah Tekanan dari FIFA (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – Pertemanan memiliki dampak besar dalam hidup seseorang. Oleh karenanya kita dianjurkan untuk memilih teman yang membawa kita pada kebaikan, seperti halnya dialami oleh seorang mualaf, Sari Sukma Dewi.

Mualaf keturunan Tionghoa ini merasakan betapa besarnya pengaruh pertemanan. Ia menjadi mualaf sejak tahun 1994 setelah menerima hidayah yang dihantarkan Allah SWT. melalui perantara teman.

Dahulu, pemilik nama Tionghoa Chung Sin Yin ini tertarik untuk mengenal Islam setelah berpisah dengan suaminya. Sebelum menjadi mualaf, Dewi menganggap agama hanyalah sekadar identitas. Hampir-hampir tidak pernah dirinya beribadah sehingga ia merasa tak memiliki pengalaman spiritual apa pun.

Dewi yang merupakan instruktur senam ini, pada tahun 199 mendapat tawaran untuk menjadi guru senam bagi  kelompok ibu-ibu. Singkat cerita, ia menjumpai salah seorang kelompok ibu-ibu yang senam dengannya itu sebagai seorang yang taat beribadah.

Setiap masuk waktu salat, ia selalu pamit untuk menunaikan kewajiban. Pada akhirnya, seluruh ibu-ibu itu rehat sejenak dari latihan senam setiap azan berkumandang dan salat berjemaah.    

Memperhatikan Gerakan Salat dan Bersyahadat

Dewi yang saat itu masih menganut agama non-Islam sering memperhatikan mereka diam-diam. Para ibu muda itu berwudhu, lalu salat bersama-sama. Entah mengapa, terpancar rasa damai dari mereka semua, terlebih ketika para perempuan itu bersujud ke arah yang sama.  

“Apalagi, saat saya melihat mereka bersujud, terasa sekali penghambaan diri manusia kepada Tuhan Yang Mahatinggi,” ujar dia dikutip dari Republika.

Dewi kemudian memberanikan diri untuk bertanya kepada seorang dari mereka karena akhirnya hafal gerakan-gerakan salat. Namun karena belum mengenal Islam, dirinya belum memahami bacaan yang diucapkan mereka saat salat  itu.

Sebagaimana dilansir dari Republika, wanita 59 tahun itu menceritakan bahwa dirinya bertanya makna dan maksud doa-doa yang diucapkan dalam salat. Setelah mendapat pemahaman panjang kali lebar, beberapa hari kemudian temannya itu kemudian meminjamkan sebuah buku tuntunan salat yang diterima Dewi dengan senang hati.

Dewi pelan-pelan mulai belajar salat dan bacaannya di rumah, kemudian ia juga meminta dicarikan ustaz dan belajar membaca Alquran. Pada April 1994, ia untuk pertama kalinya mengucapkan dua kalimat syahadat.

Memperdalam Keislaman di Pondok Pesantren

Bersama teman-temannya yang kelompok ibu-ibu yang menjadi muridnya saat senam itu, Dewi semakin semangat mempelajari Islam. Ia mulai aktif menghadiri beberapa majlis taklim, lalu berpikir untuk memperluas wawasan Islamnya di sebuah pondok pesantren, Manbaul Ulum, di Bogor, Jawa Barat.

Beruntungnya Dewi tidak mengalami konflik dalam keluarga yang pelik begitu mengetahui bahwa dirinya mantap berislam. Anak dan orangtuanya memiliki pemikiran yang terbuka, mereka berpendapat silakan menganut agama apa saja selama bertanggung jawab dengan agamanya.

Sang ayahnya yang masih belum berislam, bahkan selama hidupnya senang mengoleksi kaligrafi ayat-Ayat Alquran atau Asmaul Husna. Meski ia dan istrinya tidak bisa membaca tulisan berbahasa Arab tersebut.

Begitulah hidayah datang dari lingkaran pertemanan didukung keluarga yang penuh cinta dan kasih memberikan kebebasan dalam beragama. Ini menjadi pelajaran bagi kita bahwa memilih teman tidak sembarangan karena, mereka akan membawa kita pada kebaikan. Itu yang diharapkan.

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *