Beragama di era New Normal
Oleh: Ibn Ghifarie
HIDAYATUNA.COM – Hadirnya surat edaran Menteri Agama Nomor 15 Tahun 2020 terkait panduan ibadah saat new normal (kebiasaan normal) diterapkan dan ajakan enam tokoh agama-agama tentang tata hidup baru beragama dan berkeyakinan perlu kita dukungan secara bersama-sama dalam rangka meningkatkan keimanan, meneguhkan NKRI, memperkuat harmoni antarumat beragama.
Pasalnya, setiap ajaran agama-agama diperintahkan untuk menebar kebaikan, cinta, kasih sayang, perdamaian, membangun persaudaraan dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang kian hari semakin terlupakan.
Dengan dilaksanakan aktivitas keagamaan (shalat Jumat, misa Mingguan) yang menerapkan protokol kesehatan (menjaga jarak minimal satu meter, memakai masker, mencuci tangan, cek suhu tubuh, membawa sajadah, membatasi jemaah 50 persen dari kapasitas semula) ketat bagi jemaah dan pengurus. Ini menjadi bukti atas ikhtiar kita dalam mewujudkan tempat ibadah sebagai contoh terbaik “rumah bersama” untuk pencegahan dan penyebaran pandemi Covid-19.
Nir Kekerasan
Secara individual agama berfungsi sebagai kekuatan moral yang ampuh. Ajaran agama mendorong orang berbuat baik, menjauhkan diri dari kejahatan dan hawa nafsu, mengejar ketenteraman dan keselamatan di dunia-akhirat.
Mustahil agama dari dirinya sendiri mendorong orang untuk melakukan tindak kekerasan represif yang menyengsarakan orang lain. Justru keberadaan agama sangat memotivasi orang untuk mengamalkan kebaikan kepada sesama dalam semangat pengabdian kepada Yang Mahakuasa.
Secara sosial agama menjadi cermin bagi distorsi akhlak, budi pekerti dalam masyarakat. Korupsi, penindasan, kemaksiatan, dan tindakan-tindakan amoral lainnya menjadi abnormal berhadapan dengan nilai-nilai agama yang menjunjung tinggi keluhuran moral.
Ketika agama dipropagandakan bertentangan dengan kebaikan dan kesucian hidup, melawan fitrahnya sendiri, keluhurannya akan terdevaluasi. Ini terjadi dalam ranah sublimasi kekerasan. Devaluasi agama terjadi manakala kekerasan yang bertentangan dengan rasa kemanusiaan universal secara subtil dibenarkan dan dimuliakan.
Devaluasi agama pun terjadi bila politik meminjam tangan agama dan agama meminjam tangan politik untuk mencapai tujuan masing-masing. Agama keluar dari wilayah sakralnya, terjebak dalam kepentingan-kepentingan politik yang rumit, sesaat, dan duniawi. (Yonky Karman, 2010:17-18).
Nilai-Nilai Kemanusiaan
Ingat, beragama tidak hanya persoalan kita dengan Tuhan tetapi sangat terkait dengan pekedulian kita kepada lingkungan sekitar. Agama tidak hanya berbicara hubungan antara manusia dengan Tuhan, tapi bagaimana komitmen sosial kita dengan sesama manusia.
Nurcholish Madjid pernah menulis Islam adalah agama kemanusiaan terbuka, maka umat Islam harus kembali percaya sepenuhnya pada kemanusiaan. Ini berarti bahwa keimanan seseorang, harus diiringi dengan sikap dan komitmen bagi terwujudnya visi kemanusiaan. Pasalnya keimana tidak hanya berada dalam wilayah persoalan tapi juga menyentuh aspek kolektif.
Saking pentingnya menumbuhkan dan membumikan nilai-nilai kemanusiaan dalam agama itu, yang paling mendesak bagi umat Islam ialah meningkatkan dan menyebarluaskan pemahaman segi-segi ajaranya yang bersifat universal kemanusiaan. (Moh Asror Yusuf [ed], 2006:31, Nurcholish Madjid, 2009:59).
Dalam kontek Indonesia tampaknya lebih banyak memilih cara-cara kekerasan ketimbang dengan cara berdialog, negosiasi, kompromi lainya sebagai bagian terpenting dari demokrasi. Semua bentuk kekerasan yang dilakukan oleh umat beragama (Islam) sebenarnya tidak menjadikan semakin mulianya suatu agama, tapi malah sebaliknya, semakin mengkerdilkan agama.
Agama menjadi terpasung karena hanya dibungkus dalam tafsir kekerasan. Padahal kita tahu kekerasan bukanlah diajarkan oleh setiap agama, sebab sejatinya semua agama adalah rahmat bagi umat manusia.
Sungguh berbahaya ketika agama ditafsirkan sebagai “jalan kekerasan’ sebab yang tampak di mata umat beragama adalah semua yang berbeda dengan kelompoknya senantiasa akan dianggap musuh yang harus dilenyapkan. Pembungihangusan mereka ditafsirkan pula sebagai usaha melenyapkan “musuh agama” yang akan berbuah tiket menuju surga. (Zuly Qadar, 2009:8-9).
Seorang menusia yang telah memperdalam dan memperaktikan keagungan filsafat kemanusiaan adalah seorang yang mampu membentuk sejarah menuju perdamaian, kebenaran dan kemakmuran. Orang seperti itulah harta pusaka negara. Dengan arti ini, saya ingin menghormati dan memuji dengan kekaguman kepada Kakek, Ayahanda dan Gus Dur sebagai pusaka negara terbaik di Indonesia. (Abdurrahman Wahid & Daisaku Ikeda, 2010:53)
Dengan demikian, agama berserta pemuka agama dan umatnya harus tampil penuh rasa percaya diri, bijaksana dan arif yang menyadari fungsinya sebagai saksi dan juri atas keberadaan umat manusia ini.
Sejatinya, sikap antikekerasan sebagai wujud dari usaha menebar nilia-nilai kemanusiaan itu perlu menjadi bagian terpenting kita dalam menjalankan kehidupan sehari-hari sebagai warga masyarakat, bangsa dan bernegara.
Saatnya rumah ibadah menjadi media yang giat menebarkan cinta, kasih sayang, dan welas asih, niscaya hidup kita akan bahagia, damai, dan dapat hidup berdampingan tanpa melihat segala perbedaan agama. Inilah risalah beragama di era new normal yang terus berkomitmen membangun kehidupan umat beragama dan berkeyakinan untuk hidup rukun, damai, harmoni, adil dan sejahtera. Semoga.
IBN GHIFARIE, pegiat kajian agama dan media di Institute for Religion and Future Analysis (IRFANI) Bandung.