Benarkah Wayang Tradisi yang Berbenturan dengan Islam?
HIDAYATUNA.COM – Keberadaan wayang sudah ada sejak 1500 tahun yang lalu lahir dari kaum cendekiawan, mereka nenek moyang suku Jawa. Permulaan wayang dengan bentuk yang paling sederhana, hanya menggunakan rumput yang diikat sedemikian rupa yang. Biasanya dimainkan dalam ritual pemujaan roh atau dewa dalan upacara adat Jawa
Menurut Edward C. Van Ness, wayang berasal dari kata “Ma Hyang” yang mempunyai makna berjalan menuju yang Maha Tinggi, roh, dewa atau entitas yang dianggap luhur. Sedangkan makna alternatif lainnya adalah bayangan, terbukti ketika pegelaran ditampilkan dengan bayangan. (Edward C. Van Ness & Shita Prawirohardjo, Javanesse Wayang Kulit an Introduction)
Cerita yang disajikan pun semakin berkembang dengan adanya Punakawan: Semar, Gareng, Petruk dan Bagong ditambah masuknya agama Hindu dan Budha ke Jawa membawa dua cerita epos Mahabrata dan Ramayana. Kedua cerita itu merupakan cerita yang sering ditampilkan terus-menerus dalam kurun abad ke 10 M sampai abad ke 15 M.
Pada saat jatuhnya Majapahit tahun 1478, banyak daerah yang masuk Islam, terutama daerah Kesultanan Demak (1478-1548). Pada saat itu kekuasaan dipegang oleh Raden Patah dan ia memboyong semua atribut upacara Majapahit, termasuk wayang dan segala peralatannya.
Beberapa unsur yang ada di dalam wayang pada awalnya berbenturan dengan Islam. Bentuknya yang menyerupai manusia dan juga dianggap sebagai menyembah berhala karena menyerupai dewa-dewi kemudian diganti dengan wayang purwa atau wayang kulit.
Islam Terbagi Menjadi Dua
Dalam pro-kontra ini, kelompok Islam pun terbagi menjadi dua:
1. Islam Putihan
Islam Putihan yang menolak wayang yang dipimpin oleh Sunan Giri. Menolak karena memang mereka mempunyai karakteristik kaku dan tekstual, bisa dilihat dengan atribut yang dipakai oleh Sunan Giri.
2. Islam Abangan
Islam Abangan yang mengakomodir wayang dan dipimpin oleh Sunan Kalijaga. Karakter luwes bisa terlihat dalam kelompok ini karena berusaha menerima tradisi luar juga melihat atribut yang dipakai oleh Sunan Kalijaga yang sangat njawani.
Meskipun menurut Ricklefs, pengistilahan ini bermasalah karena tidak adanya bukti keberadaan Islam Abangan sebelum pertengahan abad ke-19. Sedangkan konflik ini muncul pada pertengahan abad ke-19. (Iiliek Adelina Suhardjono, Wayang Kulit and the Growth Islam in Java)
Perubahan yang diusung oleh Sunan Kalijaga tidak hanya berhenti sampai di situ. Lakon Batara Siwa yang dalam tradisi Hindu dirubah menjadi Batara Guru atau Pramesti Guru.
Kata Parama yang berarti penting, dan niat mulia dan Guru bermakna transfornasi baru, jadi transformasi baru dengan niat yang mulia. Ditambahkan juga atribut kain putih sebagai ikonigrafinya di mana menyesuaikan dengan statusnya yang menunjukkan kemuliaan.
Namun hal ini dikritik oleh Ulbricht yang menyatakan perubahan itu terkesan nanggung karena masih menyisakan tangan empat pada Batara Guru. Pun, masih menunggangi seekor sapi yang merupakan simbol Hindu. (H. Ulbricht, Wayang Purwa Shadows of the Past)
Islam dan Tradisi
‘Urf atau adat adalah sesuatu yang sudah dikenal dan sering dilakukan oleh masyarakat secara terus-menerus. Di dalam Surat Al-A’raf ayat 199 Allah berfirman:
حذ العفو وامر بالعرف واعرض عن الجاهلين
Ibn ‘Athiyah menafsirkan ‘urf dengan sesuatu yang telah diketahui oleh masyarakat dan tidak bertentangan dengan syariat.
Dalam hadis juga dikatakan: “sesuatu yang dilihat baik oleh orang-orang muslim berarti dianggap baik juga oleh Allah”.
Untuk melihat apakah wayang berbenturan dengan Islam kiranya perlu dicermati pembagian ‘urf atau tradisi oleh Abu Zahrah. Menurutnya ada dua jenis ‘urf:
(1) Shahih
Tradisi yang dianggap benar dan tidak bertentangan dengan syariat. Seperti mas kawin atau jual beli mu’thah (tanpa akad) dan itu dibiarkan dalam Islam.
(2) Fasid
kebalikan dari ‘urf shahih. Seperti minuman keras, kumpul kebo, dan sebagainya.
Di era Nabi pun pernah ada tradisi yang diadopsi atau diambil seperti suatu ketika Nabi berkhotbah hanya dengan pelepah kurma saja. Kemudian ada tukang kayu dari Romawi yang masuk Islam dan ia membuatkan mimbar untuk rasul berkhotbah.
Contoh yang lain, Salman al-Farisi membuat parit saat perang, di mana itu adalah strategi perang bangsa Persi. Akan tetapi rasul menerimanya selama itu untuk kemaslahatan umat Islam.
Para Imam mujtahid pun sebagian berhujjah dengan menggunakan ‘urf, seperti Imam Malik yang menggunakan amaliyah ahlul Madinah. Imam Hanafi yang menggunakan perbedaan adat untuk menentukan hukum dan Imam Syafi’i yang mempunyau qoul qadim di Baghdad dan qoul jadid di Mesir. Hal itu terjadi tidak lain karena berbedanya adat di antara kedua daerah tersebut.
Dengan demikian wayang tidak perlu dilarang atau bahkan dimusnahkan, seperti yang dikatakan oleh Ustaz Khalid Basalamah baru-baru ini—terlepas sudah diklarifikasi. Namun poinnya ia menganggap bahwa wayang itu tradisi tidak baik. Hal ini, saya kira salah satu alasannya karena menyerupai manusia dan berpotensi menjadi berhala (seperti patung).
Lagi-lagi, hal ini terjadi karena prinsip yang digunakan oleh Basalamah cenderung kaku dan tekstual sehingga seringkali menolak sesuatu diluar Islam. Selain itu juga berusaha melakukan pemurnian atau purifikasi (menghilangkan segala hal yang berpotensi menyekutukan Allah). Dalam hal ini bisa dikatakan sebagai Islam Puritan.
Wayang sudah mengalami perubahan atau pengkodisian yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga. Hal tersebut agar sesuai dengan syariat Islam dan termasuk dalam ‘urf shahih (tradisi yang benar sesuai syariat). Dengan demikian, maka eksistensinya perlu dijaga oleh kita sebagai indentitas dan jati diri Bangsa Indonesia.