Benarkah Teroris Itu Punya Agama?
HIDAYATUNA.COM – Siapa bilang radikalisme dan terorisme tidak memiliki agama? Atau kita sebagai kaum beragama ingin terus menyangkal. Bersikap tidak jujur dan terus menutupinya karena khawatir menjadikan citra agama menjadi buruk. Tentu jika benar demikian yang dilakukan, jelas merupakan perbuatan keliru.
Jika kita ingin mengobati sebuat penyakit kita tentu harus mengakui dulu kalau sedang sakit. Setelah itu akan dicarikan obat yang sesaui untuk penyakitnya. Jika terus menyangkal tentu akan sangat sulit menentukan obatnya. Kalau sudah begitu bukannya sembuh malah penyakitnya semakin meyebar, begitu juga dengan terorisme.
Perlu diingat bahwa agama bukanlah barang dagangan yang perlu dihias atau dipermak dan dijaga sedemikian rupa agar laku dijajakan. Agamai tanpa perlu dijaga, permak dan lain sebagainya akan tetap berada dalam posisi yang tinggi. Agama merupakan sebuah jalan hidup dan dalam mendekatkan diri kepada Tuhan.
Hanya orang berakallah yang menemukan Tuhan dan dapat beragama. Islam menyatakan itu secara jelas dimana orang berakal itulah yang mampu melihat tanda-tanda keagungan Allah swt. Bagaimana mungkin orang yang tidak berakal bisa mengkap dimensi keagungan Sang Pencipta.
Apakah Teroris Berakal?
Lalu apakah Para teroris itu berakal? Jelas mereka berakal tetapi akal mereka tersesat dan belum tuntas dalam memahami agama. Pemahaman keagamaan mereka belum sampai bab rahman rahimnya Allah. Oleh karenanya kita tidak boleh hanya berkilah dan menghindar dari kenyataan maraknya kasus terorisme dengan membawa-bawa agama.
Mereka pelaku teror melakukan pengeboman, memotong leher dan memerangi sesama muslim dengan meneriakkan “Allahu Akbar”. Kita juga tidak boleh tinggal diam ketika menyaksikan persekusi, ujaran kebencian dengan menggunkan dasar dan dalil-dalil agama sebagai pembenaran.
Harus disadari bersama bahwa ada yang salah dan perlu diluruskan dalam agama kita agar tidak melahirkan terorisme. Setidaknya ada pemahaman yang salah dari orang-orang yang melakukan teror dan persekusi dalam menafsiri Al-Qur’an dan Hadis. Kesalahan tafsir dan pemahaman ini seungguh membawa dampak serius. Kita harus berjuang menyebarkan faham dan memberi pemahaman yang lebih mendalam mengeani Islam.
Saya jadi teringat dengan apa yang dismapaikan oleh Ibnu Rusd “Jika ingin menguasai sesuatu orang bodoh, bungkus yang batil dengan agama”. Jangan-jangan memang ada pihak yang secara sengaja menyebarkan pemahaman agama yang salah dengan tujuan membuat kekacauan.
Satu fakta yang harus disadari oleh kita semua adalah pemahaman terhadap ilmu keagamaan secara tidak tuntas akan membawa petaka. Gus Baha dalam salah satu ceramahnya mengatakan orang punya niat baik bersedekah saja bisa menimbulkan masalah atau madharat jika tidak menguasai ilmunya.
Misalnya orang niat menyedekahi janda. Sementara orang berniat sedekah itu laki-laki beristi lalu mendatangi janda tersebut kemudian memberikan uang, beras atau bahan makanan pokok pasti akan menjadi masalah. Kalau tidak masalah dari anggapan dan persepsi orang, bisa jadi masalah dari niat laki-laki yang bersedekah tersebut.
Teks Al-Qur’an dan Hadis sebagai dua sumber otoritatif dalam agama Islam itu perlu ditafsiri. Hal ini karena tiap dalil dan hadis yang terkandung di dalamnya juga memuat konteks, kalau orang hanya melihat teksnya samara jelas keliru. Kalau sudah keliru akan membawa pada kesesatan.
Teroris dan radikalisme mengatasnamakan jihad karena logika mereka yang takut hidup, takut mengahdapi kehidupan. Maka mereka memilih mati sebagai pemenuhan terhadap utopisme pemahaman agama yang keliru.