Benarkah Mazhab Fikih Tidak Sesuai Hadis Nabi?
HIDAYATUNA.COM – Seorang doktor bidang Ilmu Ushul Fiqh lulusan Timur Tengah berkesimpulan seolah kita yang bermazhab di bidang Fikih bertentangan dengan hadis Nabi. Seolah mendahulukan pendapat Mazhab dari pada hadis, benarkah demikian?
Oleh karena saya bermazhab Syafi’i, dan khatam ngaji kitab Muhadzdzabnya Imam Syairazi, juga menelaah Syarahnya, Al-Majmu’ karya Imam Nawawi. Kemudian Syarah Minhajnya Syekh Al-Mahalli, Fathul Wahhabnya Syaikhul Islam Zakariya Al-Anshari.
Maka akan saya jelaskan contoh-contoh dasar untuk menjawab tuduhan di atas.
1. Mengusap Kepala Saat Wudhu’
Mazhab Syafi’i dalam mengusap kepala saat wudhu’ membolehkan beberapa helai rambut saja. Padahal di hadis berikut ini Nabi mengusap keseluruhannya:
َعَنْ عَلِيٍّ -فِي صِفَةِ وُضُوءِ اَلنَّبِيِّ صَلَّى اَللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- قَالَ: { وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ وَاحِدَةً. } أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُد
Dari Ali Radliyallaahu ‘anhu tentang cara berwudlu Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam, dia berkata: Beliau mengusap kepalanya satu kali. (Dikeluarkan oleh Abu Dawud)
Apakah pendapat Imam Syafi’i tidak sesuai hadis? Landasan Imam Syafi’i adalah hadis berikut:
ﻋﻦ اﻟﻤﻐﻴﺮﺓ ﺭﺿﻲ اﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ: ﺃﻥ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺗﻮﺿﺄ ﻓﻤﺴﺢ ﺑﻧﺎﺻﻴﺘﻪ ﻭﻋﻠﻰ اﻟﻌﻤﺎﻣﺔ.
Mughirah berkata bahwa ketika Nabi shalallahu alaihi wa sallam berwudhu’, mengusap ubun-ubunnya dan surbannya (HR Muslim).
Ternyata memiliki dalil hadis, ya?
2. Memegang Kemaluan Membatalkan Wudhu’
Mazhab Syafi’i menetapkan bahwa memegang kemaluan menyebabkan wudhu’ batal, ini bertentangan dengan hadis berikut:
وَعَنْ طَلْقِ بْنِ عَلِيٍّ – رضي الله عنه – قَالَ: – قَالَ رَجُلٌ: مَسَسْتُ ذَكَرِي أَوْ قَالَ اَلرَّجُلُ يَمَسُّ ذَكَرَهُ فِي اَلصَّلَاةِ, أَعَلَيْهِ وُضُوءٍ ? فَقَالَ اَلنَّبِيُّ – صلى الله عليه وسلم – “لَا, إِنَّمَا هُوَ بَضْعَةٌ مِنْكَ – أَخْرَجَهُ اَلْخَمْسَةُ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّان َ وَقَالَ اِبْنُ اَلْمَدِينِيِّ: هُوَ أَحْسَنُ مِنْ حَدِيثِ بُسْرَةَ.
Thalq Ibnu Ali Radliyallaahu ‘anhu berkata: Seorang laki-laki berkata: saya menyentuh kemaluanku, atau ia berkata: seseorang laki-laki menyentuh kemaluannya pada waktu salat, apakah ia wajib berwudlu? Nabi menjawab: “Tidak, karena ia hanya sepotong daging dari tubuhmu.” Dikeluarkan oleh Imam Lima dan shahih menurut Ibnu Hibban. Ibnul Madiny berkata: Hadis ini lebih baik daripada hadits Busrah.
Sebentar dulu. Pendapat Imam Syafi’i berdasarkan hadis:
وَعَنْ بُسْرَةَ بِنْتِ صَفْوَانَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا; – أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ: “مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ” – أَخْرَجَهُ اَلْخَمْسَةُ, وَصَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ, وَابْنُ حِبَّان
وَقَالَ اَلْبُخَارِيُّ: هُوَ أَصَحُّ شَيْءٍ فِي هَذَا اَلْبَابِ.
Dari Busrah binti Shofwan Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa menyentuh kemaluannya maka hendaklah ia berwudlu.” Dikeluarkan oleh Imam Lima dan hadits shahih menurut Tirmidzi dan Ibnu Hibban. Imam Bukhari menyatakan bahwa ia adalah hadits yang paling shahih dalam bab ini.
3. Hukum Mandi Jumat
Mazhab Syafi’i menghukumi mandi di hari Jumat adalah sunah. Padahal secara zahir hadis berikut adalah wajib:
وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ – رضي الله عنه – أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ: – غُسْلُ اَلْجُمُعَةِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ – أَخْرَجَهُ اَلسَّبْعَة ُ
Dari Abu Said Al-Khudry Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Mandi hari Jum’at itu wajib bagi setiap orang yang telah bermimpi (baligh.” Riwayat Imam Tujuh.
Kok bisa-bisanya Imam Syafi’i menyelisihi sunah? Jangan main vonis dulu sebelum banyak membaca kitab-kitab besar Mazhab Syafi’i. Dalil yang dipakai ulama Syafi’iyah adalah hadis berikut:
وَعَنْ سَمُرَةَ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – – مَنْ تَوَضَّأَ يَوْمَ اَلْجُمُعَةِ فَبِهَا وَنِعْمَتْ, وَمَنْ اِغْتَسَلَ فَالْغُسْلُ أَفْضَلُ – رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ, وَحَسَّنَهُ اَلتِّرْمِذِيّ
Dari Samurah Ibnu Jundab Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa yang berwudlu pada hari Jum’at berarti telah menjalankan sunnah dan sudah baik, dan barangsiapa yang mandi maka itu lebih utama.” Riwayat Imam Tujuh dan dinilai hasan oleh Tirmidzi.
4. Hukum Salat Witir
Witir adalah sunah menurut ulama Syafi’iyah. Tapi zahir hadis ini menunjukkan wajib:
وَعَنْ أَبِي أَيُّوبَ اَلْأَنْصَارِيِّ – رضي الله عنه – أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ : – اَلْوِتْرُ حَقٌّ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
Dari Abu Ayyub al-Anshory bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Witir itu hak bagi setiap muslim.” (HR Muslim)
Mazhab Syafi’i menyimpulkan sunah berdasarkan riwayat berikut:
وَعَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ – رضي الله عنه – قَالَ : – لَيْسَ اَلْوِتْرُ بِحَتْمٍ كَهَيْئَةِ اَلْمَكْتُوبَةِ , وَلَكِنْ سُنَّةٌ سَنَّهَا رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – – رَوَاهُ النَّسَائِيُّ وَاَلتِّرْمِذِيُّ وَحَسَّنَهُ وَالْحَاكِمُ وَصَحَّحَهُ
Ali Ibnu Abu Thalib Radliyallaahu ‘anhu berkata: Witir itu tidaklah wajib sebagaimana sholat fardlu, tapi ia hanyalah sunah yang dilakukan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam. (Hadis diriwayatkan oleh Tirmidzi, Nasa’i dan Hakim).
Hasan menurut Tirmidzi dan shahih menurut Hakim. Mending menyelesaikan kuliah Ushul Fiqh di Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah Situbondo.
5…. 6…. 7…. 8…. -> 1000….
Kesimpulan
Saya heran saja lulusan S3 di bidang Ushul Fiqh tapi banyak mengeluarkan statemen seolah ulama Fikih berseberangan dengan hadis Nabi. Padahal para ulama Fikih saat tidak mengamalkan hadis sahih boleh jadi karena sudah dimansukh (dihapus hukumnya).
Bisa juga dalilnya masih umum dan ditemukan dalil yang spesifik atau khushushiyah bagi Nabi, atau terjadi kontradiksi. Dengan begitu, seorang imam Mazhab mentarjih salah satunya dan faktor-faktor lain yang terdapat dalam Ilmu Ushul Fiqh, yang semestinya doktor tersebut telah melaluinya.
Jumlah hadis ada ratusan ribu. Kami yang mengikuti Mazhab sependapat dengan ulama ahli hadis Syekh Waki’, beliau berkata:
حَدِيثٌ يَتَدَاوَلُهُ الفُقَهَاءُ خَيْرٌ مِنْ حَدِيثٍ يَتَدَاوَلُهُ الشُّيُوخُ.
“Hadis yang diriwayatkan dan dibahas oleh ahli fikih lebih baik dari pada hadis yang dikaji oleh ulama ahli hadis.” (Al-Hafidz Ibnu Katsir, Al-Baits Al-Hatsits, 1/22)
Ulama ahli hadis lainnya juga memperkuat:
عَنْ عَلِيِّ بْنِ المَدِينِيِّ قَالَ: كَانَ حَدِيثُ الفُقَهَاءِ أَحَبَّ إِلَيْهِمْ مِنْ حَدِيثِ المَشْيَخَةِ
Ali bin Al-Madini berkata: “Hadis yang dikaji ulama ahli fikih lebih mereka suka dari pada hadis para ahli hadis” (Ibnu Abi Hatim, Al-Jarh wa Ta’dil, 2/25)