Benarkah Malas Pertanda Sakit Mental? Begini Penjelasannya

 Benarkah Malas Pertanda Sakit Mental? Begini Penjelasannya

Membaca Konsepsi Fikih Minoritas (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – Malas dalam Islam adalah hal yang sangat tidak disukai karena merupakan sifat setan. Sejak pendidikan dasar kita sering mendengar guru-guru memberi nasihat kepada kita agar tidak malas karena ‘rajin pangkal pandai’. Apakah dengan begitu mereka yang gagal dalam hidupnya adalah orang-orang yang pemalas?

Hal itu menjadi dasar bahwa keberhasilan sesorang tergantung dengan usahanya. Ibarat kata, orang yang bersungguh-sungguh saja di masa depan akan merasa menyesal. Apalagi orang yang setiap harinya hanya diisi dengan rebahan daan memnajakkan badan setiap harinya.

Lalu mengapa kita tetap melakukan dan memanjakan diri kita dengan sesuatu yang kurang berarti? Padahal kita tahu itu salah dan selalu menunda-nunda pekerjaan. Hal kecil misalnya, tugas sekolah atau kuliah yang baru dikerjakan saat hari terakhir dari batas waktu yang ditetapkan. Dikerjakannya pun dengan sistem SKS (Sistem Kebut Semalam).

Seseorang yang sadar bahwa dia sedang malas merupakan manusia yang masih memiliki akal rasional yang aktif. Sebagain besar dari kita sebenarnya menyadari bahwa kita sedang malas, dan malas itu merupakan hal yang tidak baik. Kita tahu konsenkuensi dari sifat malas, lalu kenapa ita masih bermalas-malasan?

Hal yang membuat sifat malas menjadi sangat spesial bagi kita adalah sifat ini meminta jatah 24 jam dari waktu kita. Ini berarti sifat mals itu senantiasa menghantui kita setiap detiknya.

Berbeda dengan sifat lainnya seperti halnya sifat sombong. Sifat ini akan datang apabila ada yang dapat kita banggakan dalam hidup kita, sedangkan malas merupakan racun paling mematikan dalam diri seorang manusia. Malas membuat hidup kita berhenti untuk maju dan enggan keluar dari zona nyaman.

Berhubungan dengan Masalah Mental

Bisa dikatakan perasaan malas dekat dengan masalah mental depresi. Penderita depresi akan mendapatkan kekosongan dalam diri mereka sehingga mereka enggan melakukan aktivitas apa pun. Pandangan hidup yang kalut membuat mereka merasa malas menyelesaikan kegiatan, entah itu pekerjaan maupun tugas sekolah.

Lambat laun mereka akan kehilangan minat untuk melakukan aktivitas sehari-hari, semua akan terbengkalai. Mulai dari menata kamar, merapikan baju atau membersihkan rumah, bahkan mandi pun akan terasa berat sekali bagi penderita depersi dalam hidupnya.

Terdapat beberapa kasus, penderita depersi bahkan akan malas mengurus diri sendiri. Tidak jarang penderita depresi terlihat kacau dalam penampilan dan lesu di raut wajahnya. Perasaan malas selain suka menunda, dia juga suka mengabaikan. Malas memberi kita alasan yang seakan-akan logis dan rasional bagi otak kita.

Hal itu memberikan stimulasi kepada otak pengambil keputusan untuk memerintah tubuh agar benar-benar istirahat saja. Kemudian memunculkan pikiran-pikiran yang mengarahkan kita untuk menunda pekerjaan karena satu dan lain hal remeh.

Mendapatkan Dorongan sebagai Solusi Keluar dari Zona Nyaman

Pada dasarnya otak manusia memang selalu bisa terbentuk melalui pengalaman, meskipun kita sudah menjadi pribadi yang berumur. Tapi kita masih bisa membentuk otak kita dengan pengulangan-pengulangan perilaku.

Daniel Goleman pernah mengatakan, “Pemikiran rasional dan emosional merupakan sirkuit otak manusia yang saling melengkapi meskipun mereka mempunyai sirkuit sendiri. Peran pemikiran rasonal adalah memproses dan memberikan keputusan mutlak dari informasi-informasi yang diajukan oleh pemikiran emosional”.

Ketika akal dan rasional tidak berjalan dengan kemauan kita, maka tubuh kita akan merespon dengan meningkatkan kecemasan dalam diri. Sayang kecemasan akan mengganggu kemampuan kognitif dan meningkatkan perasaan terancam. Kembali lagi, bagaimana pengalaman yang lebih menonjol bagi otak pengambil kepurusan bekerja.

Sifat malas tahu sekali hal-hal manis apa saja yang bisa kita daptkan jika kita menurutinya. Sekali kita berkenalan dengan mencoba sekali saja untuk menuda pekerjaan, saat itu juga perasaan malas berkeliaran mencari sensor apa yang bisa mengendalikan otak emosional untuk membajak mereka. Saat itulah mengapa kita sedikit memelukan usaha untuk keluar dari jeratan rasa malas yang sudah mengenal kelemahan diri kita.

Motivasi terbesar dalam kehidupan dan supaya menjadi manusia yang lebih bermakna dan keluar dari rasa malas adalah dari diri sendiri. Sebab sebuah petuah-petuah atau motivasi dari para motivator itu tidak seutuhnya mampu menggerakkan kita. Ia hanya berpengaruh berapa persen saja untuk diri manusia.

Untuk dapat mengubah sifat malas, biasanya kita perlu pemicu atau dorongan. Dorongan itu bisa dari luar diri kita, seperti mendapat ejekan atau diremehkan sesorang.  Hal itu akan memunculkan perasaan tidak terima. Sebab tidak terima itu, akhirnya kita bersemangat untuk menunjukkan bahwa akan berhasil, dan membuktikan bahwa omongan itu salah.

Kholil Chusyairi

https://hidayatuna.com

Mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta dan Reporter di Intis Pers

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *