Benarkah Laki-laki Pemimpin bagi Perempuan?

Budaya patriarki mendapat sorotan feminis muslim (Ilustrasi/Hidayatuna)
HIDAYATUNA.COM — Setelah laki-laki mengucapkan ijab qabul di depan wali perempuan, sejak saat ini pula seorang perempuan dan laki-laki sah menjadi suami istri.
Pernikahan merupakan fenomena sakral yang akan membawa keduanya kepada kehidupan manis atau pahit. Semua ini bergantung pada sejauh mana masing-masing suami dan istri menjalankan kewajiban dan mendapatkan haknya.
Barangkali beberapa orang beranggapan bahwa pernikahan hanya seputar kebahagiaan saja. Artinya, setelah menikah ia akan selalu merasa bahagia dan jauh dari penderitaan.
Anggapan ini bisa saja terjadi karena pada saat ta’aruf ia merasakan yang manis-manis atau segala permasalahan didalam rumah tangga sering kali tidak terekploitasi oleh orang lain, kecuali hanya suami dan istri.
Untuk itu, sangat urgen diberikan pemahaman kepada laki-laki dan perempuan tentang kewajiban dan haknya sebelum mereka melakukan pernikahan. Hal ini, dilakukan untuk menghindari hal-hal negatif di dalam rumah tangga. Terutama yang lazim terjadi kekerasan dan ketidakadilan bagi perempuan.
Memahami Arti Pemimpin
Definisi pemimpin atau kepemimpinan secara bahasa dipahami sebagai seseorang yang memengaruhi orang lain. Dalam artian, seorang pemimpin mempengaruhi atau mengajak orang lain kepada kebaikan sehingga mencapai kebahagiaan.
Dalam pengertian lain, pemimpin merupakan seseorang yang mengatur segala sumber daya sehingga dapat bermanfaat secara optimal untuk mencapai tujuan.
Pemimpin dalam proses kepemimpinannya tidak akan sukses jika tidak mendapat dukungan dari yang dipimpin. Kerja sama dan sama kerja keduanya atau lebih merupakan kunci untuk mencapai kesuksesan.
Makna Laki-laki sebagai Pemimpin Bagi Perempuan
Beberapa waktu lalu pada akhir sesi diskusi mata kuliah studi Alquran dan Hadis tematik, dosen saya menjelaskan. Kata “arrijaalu qawwanuna ‘alan nisaa’” yang artinya seorang laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan, tidak serta merta dipahami bahwa laki-laki (suami) membuat aturan dan harus diikuti oleh perempuan (istri).
Kata qawwanun adalah bentuk jamak dari qawwam, berasal dari akar kata qama yang berarti melaksanakan sehingga, suami melaksanakan kewajibannya. Dengan memenuhi segala kebutuhan istri baik nafkah lahir dan batin.
Sepenggal ayat Alquran surat an-Nisaa’ di atas banyak sekali dijadikan bahan dasar laki-laki (suami) terhadap istrinya. Suami tanpa memahami makna yang sebenarnya arti ayat tersebut dengan semena-mena mengatakan bahwa pemimpin bagi perempuan itu yang berhak memerintah, mengatur, dan menjadikan apapun perempuan. Bahkan lebih hina dari seorang pelacur.
Akibatnya, di dalam rumah tangga istri layaknya robot yang dimainkan oleh suaminya sebagai remot kontrol. Mirisnya, ketika istri mencoba memberikan pemahaman atas ketidakadilan perilaku suaminya, ia malah dikatakan sebagai istri durhaka, tidak baik, dan berbagai macam kata kotor dilontarkan kepadanya.
Pemahaman yang tidak tepat tentang kata qawwamun karena memang beberapa tokoh ketika mendemonstrasikan tidak dijelaskan secara utuh. Para suami pun memahaminya dengan salah. Tetapi bisa juga, karena seorang suami tidak mempelajarinya lebih mendalam.
Bagaimana Suami dan Istri yang Seharusnya?
Baik suami maupun istri memiliki kewajiban dan hak masing-masing. Namun, untuk menciptakan keharmonisan dalam rumah tangga maka harus terjalin kemitraan atau kerja sama antara keduanya.
Kemitraan ini diartikan sebagai persamaan tingkat, derajat, hak, kewajiban, peranan dan kesempatan yang sama dalam berbagai bidang. Selama hal itu tidak melebihi kapasitasnya sebagai laki-laki dan perempuan.
Di antara beberapa hak istri terhadap suaminya ialah tersedianya dan kesediaannya yang mencakup kebutuhan materi dan non materi. Sedangkan fenomena akhir-akhir ini baik suami maupun istri sama-sama bekerja. Alih-alih seorang istri mencari nafkah untuk membantu meringankan beban nafkah suaminya.
Namun beberapa suami malah tidak menghilangkan stigma bahwa istri tetap harus mengurus seluruh hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan keluarga. Misalnya saja, istri dituntut untuk memasak, mencuci, dan membersihkan rumah setelah ia pulang bekerja.
Seyogyanya, ketika istri memilih bekerja untuk membantu meringankan beban suami, maka suami juga memberikan perhatian lebih kepada istrinya. Misalnya membantu istri membersihkan rumah.
Dengan begitu, paradigma bahwa beban laki-laki lebih berat dari istri, akan justru dua kali jauh lebih berat beban istri. Terutama ketika istri bekerja mencari nafkah pun harus mengurus rumah tangganya.
Jadi, mari laki-laki (suami) terutama dan perempuan (istri) selalu berusaha memperbaiki diri dengan memahami kewajiban dan hak masing-masing. Agar terjalin kerja sama dan tercipta keharmonisan rumah tangga.