Benarkah Kembali Suci saat Hari Raya Idul Fitri?
HIDAYATUNA.COM – Kata “id” makna awalnya adalah “berulang lagi”. Hari raya disebut sebagai hari id sebab kebahagiaan dan kemeriahannya terencana dan diulang-ulang setiap tahun.
Kata “Idul Fitri” berarti “Hari Raya Sarapan”. Disebut demikian sebab di hari tersebut kaum muslimin bisa sarapan lagi setelah satu bulan berpuasa. Jadi, artinya bukan kembali suci atau kembali ke fitrah sebagaimana disalahpahami sebagian orang.
Tapi kembali ke fitrah atau kembali ke suci, kan? Sebenarnya, sih, tergantung pada perbuatannya. Mungkin ada yang bisa “kembali suci” lagi bila bersungguh-sungguh di bulan Ramadan dan tidak punya tanggungan haqqul adami (salah ke manusia), tapi sepertinya sedikit yang bisa demikian.
Muslim yang tidak puasa itu banyak, yang bolong-bolong juga banyak. Itu dosa yang teramat sangat besar bila dilakukan tanpa uzur. Akhir Ramadan tinggal ditotal, kira-kira berapa banyak dosanya.
Demikian juga yang berpuasa tetapi cuma hanya dapat lapar dan haus jangan ditanya ada berapa, Nabi Muhammad pun sejak awal mengatakan jumlahnya banyak. Sebab itu, jangan kepedean dulu.
Makna Ucapam “Taqabbalallahu minna wa minka”
Secara fisik kita memang bahagia dan sewajarnya berbahagia sebab bisa sarapan lagi dan bersilaturahmi. Tapi secara ruhani seharusnya cemas jangan-jangan malah numpuk dosa dan jangan-jangan malah ibadah kita tidak diterima.
Sebab itu, ucapan para sahabat Nabi dulu saat berhari raya tidak neko-neko:
كان أصحاب رسول اللَّه إذا التقوا يوم العيد يقول بعضهم لبعض: تقبل الله منا ومنك
“Sahabat Nabi apabila saling bertemu di hari raya, mereka berkata satu sama lain: Taqabbalallahu minna wa minka (Semoga Allah menerima ibadah kami dan ibadah anda)” ~ Ibnu Hajar, Fathul Bari.
Sebagian pengikut sahabat, yakni ulama salaf, saking khawatirnya bahkan menghabiskan enam bulan pasca Ramadan berdoa agar ibadah Ramadan mereka diterima.
كان يدعون الله ستة أشهر أن يبلغهم شهر رمضان ثم يدعون الله ستة أشهر أن يتقبله منهم
“Sebagian ulama salaf berdoa pada Allah selama enam bulan agar bisa sampai pada bulan Ramadan. Kemudian mereka berdoa enam bulan setelahnya agar ibadahnya diterima.” ~ Ibnu Rajab, Latha’if al-Ma’arif