Benarkah Imsak Perkara yang Berlebih-lebihan?
HIDAYATUNA.COM – Pertanyaan yang menyebar di kanal media sosial “apakah Imsak ada dalil yang mendukung sunah atau tidak?” mungkin akan muncul setiap tahun. Ledakan pertanyaan yang terus mengiringi setiap Ramadhan sebelumnya.
Menukil jawaban yang terlontar dari salah satu akun instagram dakwah yang benang merah jawaban yang dihasilkan adalah bid’ah. Menurutnya, mengutip dalam pernyataan Syaikh Muhammad Ibn Shalil al-Utsaimin, imsak tidak memiliki pijakan sunah.
Sembari membubuhkan ayat suci Alquran sebagai dasarnya, yakni QS. Al – Baqarah: 187 dengan mengutip hadis berikut:
إن بلالاً يؤذن بليل، فكلوا واشربوا حتى تسمعوا أذان ابن أم مكتوم، فإنه لا يؤذن حتى يطلع الفجر
“Sesungguhnya Bilal mengumandangkan azan di waktu malam, maka makan dan minumlah hingga kalian mendengar azan Ibnu Ummi Maktum karena ia tidaklah mengumandangkan azan kecuali bila fajar telah terbit.”
“Waktu imsak yang dibuat-buat oleh sebagian manusia itu adalah tambahan dari apa yang Allah tetapkan sebagai sesuatu yang nol. Bahkan hal itu termasuk dari sikap tamattu’ (berlebih-lebihan/memberat-beratkan diri) dalam beragama kepada Allah,” lanjut penjelasan dari pertanyaan ikhwal imsak di atas.
Ijtihad Ulama Nusantara dalam Berhati-hati Saat Puasa
Alquran begitu sharih nan teramat jelas dalam menjelaskan batas waktu diperbolehkannya makan dan minum. Alquran memberikan tanda “hingga jelas bagimu perbedaan antara benang putih dan benang hitam yaitu fajar”. Namun, fajar sendiri tidak mampu dilihat secara langsung dengan mata telanjang, harus dilengkapi dengan instrumen pendukung untuk mencapai itu.
Ulama juga tidak mempermasalahkan hadis Nabi yang dijadikan pijakan. Namun, dalam beberapa wilayah di Nusantara, tidak semua mengamalkan azan dua kali yakni menjelang subuh dan azan subuh itu sendiri.
Permasalahannya, imsak dianggap sebagai “pertanyaan sesat” dan “dipahami dengan sikap tamattu” untuk menjawabnya. Saya sepakat jika imsak adalah perkara bid’ah karena pengamalannya memang tidak dilakukan sejak zaman nabi.
Dalam literatur fiqih pun juga tidak ditemukan. Namun, bukan berarti pengamalan imsak tidak memiliki pijakan dan tumpuan dalil yang sharih dalam kedua sumber utama Islam.
Imsak adalah usaha sungguh-sungguh para ulama nusantara. Di Arab tidak mengamalkan ini mungkin salah satu sebabnya karena faktor fatwa yang lahir dari syaikh Utsaimin tadi yang dianggap bid’ah dan perkara yang batil.
Pengingat Waktu Subuh
Imsak memiliki arti menahan, dengan maksud menahan dari segala bentuk hal-hal yang membatalkan puasa. Pada umumnya waktu imsak di negara kita tercinta ini memiliki selisih sepuluh hingga lima belas menit dari waktu subuh.
Jadwal imsak dan salat oleh lembaga falak & hisab umumnya ditentukan tiga hingga empat menit lebih lambat dari hitungan yang sebenarnya. Hal ini untuk memastikan bahwa benar-benar telah masuk waktu salat.
Kehadiran imsak memiliki tujuan sebagai pengingat akan datangnya waktu subuh sehingga umat Islam segera bersiap-siap ibadah. Jadi imsak sebagai upaya kehati-hatian dalam menjalankan ibadah puasa agar tidak melakukan segala bentuk perbuatan yang membatalkan saat fajar tiba.
Imsak juga merujuk pada dalil yang sama, yakni al-Baqarah: 187. Memang benar secara tegas di ayat tersebut menunjukkan batas akhir untuk menahan segala bentuk yang membatalkan puasa.
Namun, ulama nusantara berijtihad sebagai bentuk kehati-hatian karena menyadari keterbatasan manusia. Tidak kuasa untuk melihat batas antara fajar palsu (kadzib) dan fajar asli (shadiq) dengan mata telanjang, kecuali dengan berpatokan pada waktu subuh dan perkembangan teknologi termutakhir.
Kehati-hatian Bukan Berlebih-lebihan
Mengakhiri makan, minum dan segala bentuk yang membatalkan niat puasa dengan mengandalkan azan subuh adalah perkara yang tidak mudah. Dalam kondisi ini umat Islam membutuhkan jeda waktu untuk berhati-hati, bukan untuk berlebih-lebihan dalam beribadah.
Adapun tujuannya agar terhindar dari perbuatan yang membatalkan puasa bukan di waktu yang seharusnya. Imsak memang perkara yang tidak dilakukan langsung oleh Rasulullah SAW dan secara khusus diberi nama dengan imsak.
Namun, dalam redaksi hadis menyebutkan sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari yang diambil dari jalur Anas Ibn Malik dari Zaid Ibn Tsabit ra berkata:
عن زيد بن ثابت رضي الله عنه قال : تَسَحَّرْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ قُلْتُ كَمْ كَانَ بَيْنَ الأَذَانِ وَالسُّحُوْرِ ؟ قَالَ قَدْرُ خَمْسِيْنَ آيَةً
Sahabat Zaid bin Tsabit ra berkata, “kami sahur bersama Rasulullah saw, kemudian beberapa saat beliau salat (subuh).” Aku berkata, “berapa lama jeda waktu antara azan dan sahur?” Beliau berkata, “Kira-kira rentang waktu membaca 50 ayat.”
Jeda waktu dalam membaca 50 ayat di sini adalah dalil sharih yang menunjukkan adanya pemisahan antara waktu sahur dan subuh. Pemilihan kata imsak yang dilakukan ulama kita adalah pilihan yang tepat sebagai waktu awal puasa dan mulai berhenti melakukan tindakan yang membatalkan puasa. Wallahu a’lam bi al-Shawab.