Benarkah Harta Istri adalah Harta Suami?
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Beredar lagi screenshoot “hadis” di bawah ini dengan caption bahwa harta istri adalah harta suami sehingga kalau suaminya punya hutang pada istrinya, maka jangan ditagih.
Entah penulisnya serius atau bercanda (saya sebenarnya melihatnya lebih sebagai status candaan), tapi kesimpulan di caption itu sensitif.
Sehingga bisa membuat salah paham yang serius bagi orang awam yang membacanya.
Terlebih memang banyak tipe suami buruk yang mengklaim begitu saja harta istrinya.
Jadi, tulisan tersebut perlu dibahas agak serius agar tidak menjadi wacana liar yang ujungnya bisa mengesankan seolah Nabi Muhammad tidak adil.
Dalam fikih, harta Istri bukan milik suami dan sebaliknya harta suami juga bukan milik istri.
Pernikahan tidak membuat hak kepemilikan itu menjadi berpindah secara otomatis.
Screenshoot ini memuat “hadis” yang tidak jelas sumbernya dari mana dan apa sanadnya sehingga sama sekali tidak punya nilai sebagai dalil.
Isinya tentang seorang istri yang memiliki kekayaan seperti Nabi Sulaiman yang mana suaminya ikut makan dari harta istrinya, maka bila kemudian si istri bilang “mana hartaku yang telah kamu makan?”, maka hanguslah amal si istri selama 40 tahun.
Andai saja benar bahwa itu adalah hadis Nabi, maka maksudnya adalah seorang istri kaya raya yang telah memberikan sebagian hartanya untuk dimakan oleh suaminya, maka dia tidak berhak mengambil kembali pemberiannya itu atau mengungkit-ungkitnya di kemudian hari.
Maksudnya sama sekali bukan harta istri otomatis menjadi harta suami.
Sudah maklum dalam fikih bahwa pemberian tidak boleh ditarik kembali kecuali pemberian orang tua pada anaknya dengan syarat tertentu.
Apalagi kasusnya adalah memberikan bantuan makanan kepada orang yang tidak mampu kemudian berkata di kemudian hari: “mana kembalikan hartaku yang telah kamu makan selama ini.”
Tentu perkataan ini sangat menyakitkan sehingga terlarang dan menyebabkan hangusnya kebaikan yang telah dilakukannya itu.
Terkait ini Allah berfirman:
یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ لَا تُبۡطِلُوا۟ صَدَقَـٰتِكُم بِٱلۡمَنِّ وَٱلۡأَذَىٰ كَٱلَّذِی یُنفِقُ مَالَهُۥ رِئَاۤءَ ٱلنَّاسِ وَلَا یُؤۡمِنُ بِٱللَّهِ وَٱلۡیَوۡمِ ٱلۡـَٔاخِرِۖ فَمَثَلُهُۥ كَمَثَلِ صَفۡوَانٍ عَلَیۡهِ تُرَابࣱ فَأَصَابَهُۥ وَابِلࣱ فَتَرَكَهُۥ صَلۡدࣰاۖ لَّا یَقۡدِرُونَ عَلَىٰ شَیۡءࣲ مِّمَّا كَسَبُوا۟ۗ وَٱللَّهُ لَا یَهۡدِی ٱلۡقَوۡمَ ٱلۡكَـٰفِرِینَ
Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu merusak sedekah kamu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima),
Seperti orang yang menginfakkan hartanya karena ria (pamer) kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari akhir.
Perumpamaannya (orang itu) seperti batu yang licin yang di atasnya ada debu, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, maka tinggallah batu itu licin lagi.
Mereka tidak memperoleh sesuatu apa pun dari apa yang mereka kerjakan. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir.” (Q.S. Surat Al-Baqarah ayat 264)
Semoga bermanfaat. []