Benarkah Diterima Tidaknya Puasa Ramadhan Tergantung Zakat Fitrah?
HIDAYATUNA.COM – Tema yang sering dibicarakn dan dibawakan oleh para pengkatib maupun penceramah agama di akhir Ramadhan adalah tema mengenai sepuluh malam terakhir, lailatul qadar dan juga tentang zakat fitrah.
Ada sebuah Riwayat yang cukup mashur dan cukup sering disebut-sebut dipenghujung Ramadhan-ramadhan tiap tahunnya. Riwayat tersebut mengenai diterima tidaknya ibadah Ramadhan seseorang tergantung zakat fitrah yang dikeluarkan, riwayat demikian ini dapat dipahami sebagai upaya para penceramah untuk melecut para jamaahnya dalam menunaikan zakat fitrah.
Namun yang menjadi masalah adalah memotivasi seseorang dengan mengatasnamakan riwayat yang diterima dari Nabi, sedangkan pada kenyataanya riwayat tersebut bisa jadi tidak dikenal (majhul) perawinya. Sebagaimana hadits yang dinukil oleh Imam Suyuti dalam kitabnya al-jami al-Shaghir
شَهْرُ رَمَضَانَ مُعَلَّقٌ بَيْنَ السّمَاءِ وَالأَرْضِ وَلاَيُرْفَعُ إِلَى الَّلهِ إِلاَّ بِزَكاَةِ الْفِطْرِ
“Ibadah bulan Ramadhan itu tergantung antara langit dan bumi, dan tidak akan diangkat kepada Allah kecuali dengan mengeluarkan zakat fitrah”
Imam Suyuti mengatakan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ibnu Syahin dalam kitabnya al-Targhib dan Imam al-Dhiya, dari Jabrir. Imam al_suyuti menilai hadis diatas berkualitas dhaif, sekalipun tidak menyebutkan alasannya.
Mengomentari Jami al-Shaghir, Imam al-Minawi dalam kitabnya Faidh al_qadir menuturkan bahwa didalam sanad hadis di atas terdapat seorang periwayat yang bernama Muhammad bin Ubaid bal-Bashri, seseorang yang tidak dikenal identitasnya.
Menurut Ibnu Jauzi, ada dua buah hadis mengenai zakat fitrah ini, satu hadis sebagaimana yang tertera di atas, satu hadis lagi diriwayatkan oleh Anas bin Malik dengan redaksi sedikit berbeda. Namun Ibnu Jauzi mengatakan dua buah hadis itu bukankah hadis yang shahih, hadis diatas ada periwayat yang tidak dikenal bernama Muhammad bin Ubaid.
Sedangkan hadis yang berasal dari Anas bin Malik terdapat periwayat yang bernama Abd al-Rahman bin Utsman. Menurut ulama-ulama ahli hadis semisal Imam Ahmad bin Hambal, Ibnu Hibban dll. Abd al-Rahman bin Utsman tidak dapat dijadikan pegangan.
Imam al-Mundziri dalam kitabnya al-Targhib wa al-Tarhib menuturkan bahwa hadis di atas diriwayatkan dari Jarir oleh Ibnu Syahin, dan Ibnu Syahin mengatakan hadis ini gharib namun secara sanad bagus. Menurut Syeikh al-Albani, sekiranya apa yang disebutkan Ibnu Syahin itu shahih, dalam artian hadis tersebut sanadnya bagus, maka hal itu menunjukan Ibnu Syahin tasyahul (mempermudah) dalam menilai kualitas suatu hadis.
Akan menjadi pertanyaan adalah bagaimana bisa dinilai suatu hadis bersanad bagus jika seorang perowinya saja tidak dikenal. Kesimpulannya sanad hadis diatas tidak dapat dinilai karena adanya seorang perawi yang tidak dikenal.
Hadis di atas juga sekiranya tidak perlu di jadikan hujah (patokan hukum keagamaan) karena selain perawinya majhul (tidak dikenali) juga secara substansi isi redaksi ada kemusykilan. Yaitu diterima tidaknya puasa Ramadhan tidak pernah berkaitan dengan zakat fitrah.
Zakat fitrah hanya dijelaskan keterangan waktu pengeluarannya pada bulan Ramadhan, bukan puasa Ramadhan diterima hanya bila seseorang sudah mengeluarkan zakat fitrah, Syeikh Albani mengatakan ia tidak mengetahui ada seorang ulama yang berpendapat. Bahwa ibadah puasa Ramadhan itu tidak akan diterima oleh Allah sampai yang bersangkutan menunaikan zakat fitrahnya. Wallahu A’lam.