Belajar Ikhlas dari Seorang Uda di Kampung

 Belajar Ikhlas dari Seorang Uda di Kampung

Teladan Imam Syafi’i tentang Keikhlasan dan Ketulusan

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Selesai rapat Surau Gadang malam tadi di kampung, seorang Uda mendekati saya. Ia berkata, “Yen, bisa tolong berikan motivasi pada anak-anak ngaji di Surau Leghoang?”

Saya kaget. Setahu saya, Surau Leghoang itu surau tua yang biasanya hanya digunakan untuk shalat tarawih di bulan Ramadhan saja. Itupun jamaahnya sudah pada sepuh.

“Memang ada anak ngaji di Surau Leghoang, Da?” tanya saya. “Ada”, jawabnya.

“Berapa orang?” tanya saya lagi.

“Lebih 40 orang.” Saya tambah kaget bercampur haru.

Di surau yang sudah seperti ‘surau mati’ itu Uda ini bisa menghidupkan kegiatan belajar mengaji untuk anak-anak dengan jumlah yang cukup fantastis untuk kelas surau kampung.

“Sejak kapan Uda memulai kegiatan mengaji untuk anak-anak ini?”

“Lebih kurang sudah setahun yang lalu.”

“Kenapa tidak Uda ekspos agar banyak orang tahu dan bisa menjadi pintu masuk infak, sedekah dan donatur untuk kegiatan Surau?”

“Uda takut, Yen…”

“Takut apa?”

“Takut akan merusak ini…” lalu ia menunjuk ke dadanya.

Saya tertegun. Uda ini orang biasa. Sehari-hari ia bertani. Tapi ia melakukan sesuatu yang tidak mampu dilakukan oleh banyak orang berpendidikan dan berkemampuan.

Yang lebih spesial, ia berusaha menjaga agar perjuangannya ini ikhlas karena Allah Swt.

Ia menceritakan bahwa anak-anak yang mengaji di Surau yang ia bina itu tidak dipungut biaya apapun.

Tapi orang tua anak-anak itu justeru tidak mau kalau Uda itu saja yang ‘memborong’ pahala sendiri. Mereka juga ikut menyumbang semampu mereka.

Tidak hanya wali murid, masyarakat sekitar yang tahu perjuangan Uda ini turut membantu sesuai dengan kesanggupan masing-masing.

“Anak-anak tidak kita patok harus hafal berapa, Yen. Biarlah mereka menghafal sesuai kemampuan mereka saja. Jadwal mengaji hanya hari Jumat dan Sabtu. Malam Minggu mereka mabit di Surau. Alhamdulillah mereka sangat senang. Bahkan mereka minta ditambah hari belajar,” jelasnya.

“Di awal-awal mulai mengaji, kita punya masalah. Anak-anak sangat sulit disuruh azan karena tidak berani dan masih grogi. Sekarang muncul masalah baru. Mereka berebut untuk azan dan tampil ke depan. Meskipun sudah ditentukan siapa yang azan tapi yang lain juga ingin untuk tampil,” ceritanya dengan mata berbinar-binar bahagia.

Setelah sampai di rumah saya ceritakan hal itu pada Amak.

Amak berkata, “Ya, memang ia yang menggerakkan kegiatan mengaji di Surau itu. Bahkan, untuk gaji guru dan semua keperluan anak-anak ia yang menanggung sendiri meskipun ia hanya seorang petani.”

Tentu ini tidak bermaksud mendiskreditkan berbagai tempat mengaji, rumah tahfizh dan sebagainya yang biasa mengeskpos kegiatan yang sebagian tujuannya untuk mencari dana. Tidak ada yang salah dengan hal ini.

Yang menjadi fokus disini adalah usaha seorang pemuda tani menghidupkan kegiatan mengaji di kampung dengan kemampuan finansial seadanya dan usahanya agar semua yang dilakukannya tidak dirusak oleh riya dan sum’ah.

Kalimat terakhir yang menyimpulkan hasil yang sudah tampak saat ini di Surau tersebut adalah: “Semangat Uda, Yen, yang penting mulai saja dulu…”.

Semangat ini yang sangat diperlukan oleh banyak orang yang punya berbagai rencana, planning, blue print, master plan, dan sebagainya, tapi tidak kunjung memulai.

Lisan hal mereka, “Kalau tidak ada dana bagaimana bergerak.”

Sementara lisan hal Uda ini, “Bergerak saja dulu, insya Allah dana akan datang.”

بارك الله فيه وكثر الله من أمثاله

والله تعالى أعلم وأحكم

[]

Yendri Junaidi

Pengajar STIT Diniyah Putri Rahmah El Yunusiyah Padang Panjang. Pernah belajar di Al Azhar University, Cairo.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *