Belajar dari Kasus Venna Melinda: Pentingnya Memahami Sexual Consent dalam Hubungan Suami dan Istri
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Baru-baru ini media sosial tengah digemparkan dengan berita kasus KDRT yang dilakukan oleh Ferry Irawan terhadap istrinya, Venna Melinda.
Dalam beberapa berita disebutkan bahwa salah satu faktor penyebab KDRT tersebut adalah Venna menolak ajakan Ferry untuk berhubungan seksual karena dalam keadaan lelah.
Hal ini juga sempat disampaikan oleh Venna dalam salah satu podcast bahwa suaminya kerapkali marah jika dia menolak untuk berhubungan seksual. Baik karena dia lelah, tidak mood atau sedang banyak pekerjaan.
Sebenarnya kasus yang dialami oleh Venna bukan satu-satunya, di sekitar kita banyak perempuan yang mengalami KDRT akibat menolak ajakan suaminya untuk berhubungan seksual.
Hal ini terjadi karena masyarakat umum masih menganggap bahwa salah satu kewajiban seorang istri adalah melayani keinginan seksual suaminya kapan pun dan di mana pun.
Di sisi lain, banyak juga yang menganggap bahwa hubungan seksual dalam pernikahan adalah halal, maka dalam kondisi apa pun tak perlu mendapat persetujuan.
Cara pandang seperti ini seringkali merugikan perempuan karena kebanyakan laki-laki tak mampu menahan nafsunya sedang perempuan dituntut untuk melayani. Dan jika menolak, maka dia akan mendapatkan kekerasan.
Hal ini juga diperkuat dengan sebuah hadis Nabi yang mengatakan bahwa:
“Apabila seorang suami mengajak istrinya baik-baik untuk naik ke ranjang (berhubungan intim), lalu ia menolak (tanpa alasan), kemudian suaminya marah sepanjang malam, maka malaikat melaknatnya sampai pagi.” (Shahih Bukhari, No. 3273)
Husein Muhammad dalam buku Fiqh Perempuan menjelaskan bahwa hadis ini tidak bisa ditafsirkan begitu saja.
Sebab ada beberapa pensyarah hadis yang menjelaskan bahwa kewajiban istri memenuhi keinginan seksual suaminya ditujukan kepada istri yang memang tidak mempunyai alasan apapun untuk menolaknya.
Sedangkan dalam kasus Venna, dia menolak karena memang kondisi tubuhnya sedang dalam keadaan lelah dan banyak pekerjaan.
Dengan begitu, suami yang memaksa istrinya untuk berhubungan seksual, tanpa memperhatikan kondisi istrinya, sama sekali tidak bisa dibenarkan walaupun memakai dalil-dalil keagamaan.
Sejalan dengan itu, dalam Islam persetujuan seksual dalam pernikahan juga merupakan salah satu prinsip untuk meningkatkan kualitas relasi seksual yang membahagiakan kedua belah pihak.
Dengan begitu suami dan isttri harus sama-sama memperlakukan pasangannya dengan baik, termasuk dalam relasi hubungan seksual.
Pentingnya Memahami Sexual Consent
Sexual consent adalah persetujuan kedua belah pihak dalam melakukan hubungan seksual secara rela, tanpa paksaan dan ketakutan.
Banyak orang yang menganggap bahwa konsep ini mendorong pada kampanye “seks bebas.”
Padahal seperti yang disampaikan oleh Dea Safira bahwa sexual consent dapat melindungi martabat perempuan sebagai istri dalam kehidupan rumah tangga.
Dengan begitu, perempuan menjadi berdaya sehingga dia bisa menolak hal yang tidak diinginkan, termasuk ajakan suami untuk berhubungan seksual ketika istri sedang lelah atau lainnya.
Di samping itu, Kiai Faqihuddin Abdul Kodir dalam Buku Perempuan (Bukan) Makhluk Domestik juga menyampaikan bahwa setidaknya ada lima konsep dasar sexual consent ini sangat sejalan dengan Islam.
Pertama, konsep persetujuan seksual adalah baik dan sesuai dengan ajaran Islam sebagai dasar bagi kesehatan relasi suami istri.
Dalam Al-Qur’an, pernikahan adalah media untuk menjalin cinta kasih yang saling membahagiakan antara suami dan istri (Q.S. Ar-Rum, 30; 21).
Jalinan ini hanya mungkin jika semua fase relasi pasutri basisnya kerelaan bersama, kesalingan dan kebahagiaan keduanya.
Kedua, dalam kaidah hukum Islam, semua relasi antara dua pihak itu basisnya kerelaan mereka berdua (al-ashlu fi al-mubadalah mabniyyun ‘ala at-taradhi).
Hubungan intim atau seksual, antara suami dan istri, hanya mungkin dipahami sebagai hubungan, jika keduanya rela, setuju, dan saling menikmati satu sama lain.
Artinya, keduanya adalah subyek.
Ketiga, dalam surat Al-Baqarah (Q.S. 2: 187) seks antara suami istri diibaratkan sebagai pakaian, yang saling menutupi, melengkapi, dan menghangatkan.
Suami adalah pakaian bagi istri, begitupun istri pakaian bagi suami (hunna libasun lakum wa antum libasun lahunn).
Artinya, seks adalah hak keduanya, sehingga yang satu tidak boleh memaksa yang lain. Melainkan, dilakukannya bersama dengan penuh kenyamanan untuk kebahagiaan keduanya.
Hal ini hanya mungkin melalui persetujuan dan kerelaan.
Keempat, hubungan seks pasutri dalam hadis dianggap sebagai kebaikan atau sedekah.
Sesuatu yang baik, atau sedekah sekalipun, harus dilakukan juga dengan cara-cara yang baik (Q.S. Al-Baqarah, 2: 262-263).
Kelima, prinsip kunci dari keempat poin di atas adalah persetujuan dan kerelaan. Ini hanya bisa dipraktikkan pasangan suami istri, jika keduanya, sebelumnya telah dididik dan dibiasakan untuk berbuat baik, tidak memaksa, dan selalu meminta persetujuan atau kerelaan.
Sehingga pendidikan bahwa hubungan seks itu basisnya persetujuan harus diajarkan jauh hari sebelum pernikahan berlangsung.
Agar dalam hubungan seksual suami dan istri bisa saling memperlakukan pasangannya dengan cara ma’ruf, mubadalah (kesalingan) dan thayyib.
Karena hubungan seksual yang suci seharusnya tidak hanya menyangkut halal saja, namun juga harus ma’ruf dan thayyib. []